Merk Sejuta Umat

1588 Kata
PSD 06 "Malam ini ...." Milly menatap Rahagi dengan mata membola, menunggu pria itu menuntaskan kalimat dengan gugup. "Kita berkemah di sini," ungkap pria berparas tampan itu seraya mengembangkan senyuman. "Kemah?" Milly mengerutkan dahi. "Hu um, saya udah lama gak camping. Temenin, ya." Rahagi menatap Milly dengan sorot mata sendu. "Ehm ... oke. Tapi Om yakin mau satu tenda sama om Didi?" "Kok saya dengan Didi? Sama kamulah." "Kan kita nggak boleh tidur deketan, Om. Ingat perjanjian!" "Tapi nanti saya digangguin dia!" "Dilawanlah." "Kamu ikhlas suamimu ini dipegang-pegang manusia jadi-jadian itu?" Milly menggigit bibir bawah. Sementara Rahagi bergidik, ngeri membayangkan bila dirinya harus berduaan dengan asistennya Prita itu. "Ya udah, tendanya bikin tiga aja. Aku sama Eri. Om sendirian. Om Didi sama kunti." "Emang ada kunti?" "Tadi nenek bilang gitu kan. Hati-hati sama penunggu pohon itu." Milly menunjuk pada pohon besar di sudut kiri pekarangan yang berbatasan dengan pagar bambu. "Kamu dibohongin nenek." "Iyakah?" Sudut bibir Rahagi terangkat membentuk sebuah senyuman yang makin lama makin lebar. Kemudian tawanya menguar hingga bahu ikut berguncang. Hal itu tak urung membuat Milly juga melakukan hal yang sama. Pasangan itu tidak menyadari bila Jamilah memandangi mereka dari jendela dapur. Perempuan itu berdoa setulus hati, agar pernikahan kedua bagi keponakannya itu bisa langgeng. Meskipun Jamilah tahu bila Rahagi harus ekstra hati-hati dalam menjaga Milly, sekaligus harus sabar untuk menghadapi sikap manja gadis itu, tetapi Jamilah yakin bila Rahagi bisa diandalkan untuk melakukan hal tersebut. "Mil." "Ehm." "Berat." "Om yang maksa mangku!" "Lupa kalau kamu sudah besar." Milly mendelik. Berusaha untuk bangkit tetapi malah kehilangan keseimbangan. Rahagi mencoba untuk menahan tubuh Milly, tetapi dirinya pun akhirnya tak bisa mempertahankan posisi. Byyuurr! Keduanya sukses terjun ke kolam ikan. Dalamnya kolam itu tak jadi masalah buat Milly, tetapi airnya yang kotor dan cokelat gelap itu membuatnya jijik hingga langsung menjerit-jerit setelah tubuhnya muncul di permukaan. Rahagi mencoba menenangkan Milly yang panik menjauhkan kotoran dari rambutnya. Pria itu mengguncang bahu Milly hingga akhirnya berhenti menjerit, kemudian mengalungkan tangan ke leher Milly. Mengarahkan dagu gadis itu ke atas agar bisa bernapas. Lalu menyeret tubuh Milly ke pinggir kolam. Eri dan Didi yang tiba setelah diteriaki oleh Jamilah, segera membantu pasangan tersebut naik ke bagian undakan kolam. Rahagi duduk dengan bertumpu pada lutut, menarik Milly mendekat dan menepuk-nepuk punggung gadis itu agar memuntahkan air kolam yang sempat tertelan. "Meni teu romantis pisan. Honeymoon tapi nyebur ke kolam ikan!" desis Didi sambil membuka kaus kesayangan dan membantu mengusap wajah Milly yang kotor dengan benda itu. Karena panik, Didi dan Eri tidak sempat menyambar handuk tadi. "Om tuh, nggak sigap nangkap aku," sahut Milly, sebelum dia bersin-bersin hingga hidung memerah. "Kamunya gerak-gerak mulu, malah nyalahin saya!" seru Rahagi. Pria itu membaringkan diri, tak peduli tubuhnya yang basah akan terkena tanah. "Udah, nggak usah berantem. Kan sama-sama kecebur, jadi impas," sela Eri. "Ayo, Mil, kita ke kamar mandi. Badanmu bau pelet ikan," sambungnya sembari mengernyitkan hidung. Milly beranjak berdiri, jalan hati-hati dengan bantuan Eri yang menuntunnya dengan pelan. Belum juga tiba di pintu dapur di mana Jamilah telah menunggu, Milly membalikkan badan dan berseru," Om, sandalku hilang sebelah. Cariin!" Rahagi menoleh dan balas berteriak," Males nyari. Kamu beli aja di warung!" Milly segera ditarik Jamilah ke dapur, dia tidak mau melihat pasangan itu bertengkar hanya karena hal sepele seperti sandal. "Emang di warung ada sandal merk yang sama?" tanya Didi yang masih berjongkok di dekat Rahagi. "Nggak ada sih. Tapi merk lain pasti ada." "Merk apaan?" "Swallow." Didi mengerutkan dahi, sesaat kemudian dia terbahak. "Nona Milly yang selalu fashionable make sandal jepit?" ucapnya di sela-sela tawa. Rahagi menyunggingkan senyum. Dia juga tidak bisa membayangkan bila gadis kaya tersebut mengenakan sandal sejuta umat itu ke mana-mana. * * Sesuai janji, selepas Isya, Rahagi dan ketiga orang tersebut membangun tenda di bagian terdekat dengan dapur. Hal ini dilakukan agar para perempuan bisa bolak-balik tanpa rasa takut melewati jalan yang gelap di seputar tempat itu. Selesai dengan tenda, Rahagi mengajak mereka untuk bermain tebak-tebakan, mengisi waktu luang dengan bersantai dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan memegang ponsel. Mereka benar-benar harus fokus pada permainan. Karena bila kalah, maka akan menjalani hukuman yang diberikan ketiga orang lainnya. "Oke, sekarang kita suit. Siapa duluan yang ngajuin tebakan," ajak Eri. Keempat orang tersebut tampak serius mengatur strategi untuk mengeluarkan jari terbaik agar menang. Pada kesempatan pertama, Didi yang menang dan langsung mengajukan pertanyaan. "Judul cerita Author yang pertama kali tayang di Innovel, harus lengkap dengan nama tiga tokoh pendukungnya yang unik," tukas Didi. "Yaelah, Om. Susah amat sih!" sungut Eri. "Makanya rajin baca! Bukan ngupil!" balas Didi. "Aku tahu!" seru Milly. "Judulnya Tergoda Pria Six Bag. Tokoh pendukung yang namanya unik ... ehm ... APS. Aku lupa nama aslinya siapa. Cuma tau nama sebutan dari Author yang selalu berubah-ubah," imbuhnya. "Sebutin aja nama palsunya," timpal Didi. "Agak Pikun Sedikit!' Milly bertepuk tangan kegirangan kala Didi mengacungkan jempol. "Nama tokoh yang lain, ayo, Mas Ra, Eri. Tadi Milly udah nyebutin judul dan satu nama." Didi mengedarkan pandangan ke arah Rahagi dan Eri yang tengah berpikir keras. "Ehm, dulu sih pernah baca. Kalau nggak salah namanya mirip-mirip elektronik," sahut Rahagi. "Nah udah bener itu clue-nya. Ayo, Mas, lanjut." Didi menyemangati dengan melebarkan senyuman yang lebih mirip seringaian. "Maspion?" tebak Rahagi. "Bukan," jawab Didi. "Samsul?" "Mana ada merk itu!" "Toyib?" Eri cekikikan. Sementara Milly menepuk dahi berulang kali dengan gemas. Sedangkan Didi mencebik. "San Diego?" "Kenapa jadi nama kota!" jerit Didi. "Saya kan lagi usaha ngingat-ngingat," timpal Rahagi. "Ehm ... Philip. Ya, Philip. Bener kan?" tebaknya. "Kurang lengkap, belakangnya merk elektronik juga," imbuh Didi. "Philip ... ahh, iya. Philip Panasonic!" Rahagi tampak sangat senang telah bisa menjawab. Bibirnya melengkungkan senyuman ketika Didi mengacungkan dua jempol ke arahnya. "Eri, tinggal kamu nih yang belum jawab." Didi memandangi wajah Eri yang membalas dengan senyuman manis. "Aku tau kok, dan dia paling ganteng di cerita itu. Author katanya mau bikin spin off tentang dia, tapi nggak nongol-nongol ceritanya," jawab Eri. "Malah ngoceh, buruan jawab!" Didi mulai kesal. "Oke, namanya adalah ... Adelard Hompimpah!" "Sip, udah terjawab semua. Tapi karena Milly yang jawab pertama, berarti dia yang ngajuin pertanyaan sekarang. Mangga, Neng Milly," ujar Didi. Milly mengulaskan senyuman, memandangi ketiga orang di hadapan yang tampak serius menunggu pertanyaan darinya. "Pertanyaan dariku nggak susah. Duluan mana antara ayam dengan telur?" Ketiga orang tersebut saling beradu pandang, sesaat kemudian Rahagi yang pertama kali menjawab pertanyaan Milly. "Tentu saja ayam lebih dulu. Sesuai yang ada di kitab suci kita, bahwa semua makhluk hidup itu diciptakan Tuhan, berarti termasuk juga ayam. Karena telur bukan makhluk hidup, baru bisa dikatakan hidup setelah menetas," jelas Rahagi. "Om pinter amat," puji Eri. "Mas Ra sayangku kan memang jenius. Makanya diakui sebagai anak oleh pak Gandhi yang terhormat," seloroh Didi. "Dan satu lagi, setiap makhluk hidup itu diciptakan berpasang-pasangan. Kayak saya dan Milly. Mungkin sejak masih dalam kandungan mbak Prita, Milly itu udah dipasangin dengan saya," imbuh Rahagi yang membuat Didi dan Eri tergelak. "Ngimpi!" desis Milly. "Tapi kayaknya emang bener sih, Mil. Dari kecil kamu udah ngintilin saya ke mana-mana." "Itu kan karena dijanjiin cokelat atau es krim!" "Oh ya? Bukan karena kamu nge-fans ama saya?" "Ngayal!" Milly mendengkus dan membuang pandangan ke arah Eri dan Didi yang masih belum puas mentertawakan dirinya. * * Malam makin larut. Suasana sekitar tempat tinggal Aldan dan Prita pun tampak sepi. Dua orang penjaga keamanan yang bertugas di depan rumah, tampak terkantuk-kantuk terkena embusan angin lembut. Sementara itu di gardu depan komplek perumahan mewah itu, beberapa petugas keamanan memulai patroli dengan menggunakan sepeda motor. Luasnya area permukiman tersebut serta lahan yang besar-besar membuat petugas lambat mengitari. Kedelapan orang yang menumpang di empat motor itu berpencar ketika melewati bundaran air mancur di bagian tengah kompleks, yang menjadi pemisah antara cluster. Aziz dan Panji yang kebetulan memilih jalur di blok kediaman Aldan, menyusuri jalan sepi dengan hati-hati. Meskipun daerah di sekitar tempat itu tampak terang, tetapi karena jarak antara rumah itu berjauhan, kemungkinan bisa menjadi tempat persembunyian orang-orang yang berniat tidak baik. "Ziz, lihat deh," ujar Panji. "Apaan?" tanya Aziz yang berada di bagian depan. "Itu." Panji mengarahkan tangan kanan ke atas. Aziz mengerem kendaraan dan ikut memandangi langit. Sepasang matanya membola dan mulut menganga kala menyaksikan benda serupa bola dengan pijar api itu bergerak melintas dari kiri ke kanan. "Kejar, Ziz!" pekik Panji. Aziz segera menarik gas dan memacu motor dengan kencang. Panji terus mengawasi benda itu yang tampak bergerak turun. Tiba-tiba benda itu berputar beberapa kali sebelum menukik tajam dan jatuh tepat di atas atap kediaman Aldan. Brrruuukkk! Suara keras sesuatu membentur atap membangunkan Mikail yang memang baru terlelap setelah sebelumnya bergadang menonton film. Pria itu menyibak selimut dan lari ke luar. Jantung Mikail memompa darah lebih kencang kala dirinya berlari menuruni anak tangga dan menggedor pintu kamar orang tuanya yang berada di lantai satu. Aldan yang membuka pintu dengan wajah bantal dan rambut acak-acakan memandangi wajah sang putra yang nyaris serupa dengan dirinya itu sambil mengerjap-ngerjap. "Apa, Mik?" tanyanya di sela-sela menguap. "Pa ... ada yang jatuh ... di atap," jawab Mikail yang tengah mengatur napas sambil bercekak pinggang. "Jatuh? Apaan sih?" Belum sempat Mikail meneruskan ucapan, suara ribut-ribut dari depan rumah membuat perhatian Aldan teralihkan. Pria dewasa bertubuh tinggi besar itu melangkah cepat menuju pintu depan. Mikail mengekori. Disusul Prita yang wajahnya masih mengenakan masker kuning. "Ada apa, Pak Mat?" tanya Aldan pada penjaga rumah yang tampak tergopoh-gopoh mendatanginya di teras. "Itu, Pak. Kata satpam kompleks, ada bola api jatuh ke atap rumah," jelas Mamat. * * Sedikit menyelipkan unsur misteri supranatural, ya. Moga-moga nggak takut ^-^ Sampai ketemu lagi di hari Sabtu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN