PSD 05
*
[текст песни “da da da”]
[интро]
ой, ёй, ёй! ой, ёй, ёй!
ой, ёй, ёй, ёй, ёй
[припев]
между нами провода – da, da, da, города – da, da, da
я сказал – “иди сюда” и ты сказала – “da, da, da”
между нами провода, города – da, da, da
я сказал – “иди сюда” и ты сказала – “da, da, da”
между нами провода – da, da, da, города – da, da, da
я сказал – “иди сюда” и ты сказала – “da, da, da”
между нами провода, города – da, da, da
я сказал – “иди сюда” и ты сказала – “da, da, da”
da, da!
Song by Tanir & Tyomcha
*
*
"Kamu nyanyi lagu apa sih?" tanya Rahagi sambil melirik sekilas ke Milly yang duduk di sebelah kiri.
"Ha? Apa, Om?" Milly balas bertanya sembari menggeser tubuhnya mendekat.
Rahagi menarik kabel headset hingga benda itu terlepas dari telinga kanan Milly. "Kamu nyanyi lagu apa?" ulangnya dengan suara yang lebih dikeraskan.
"Oh, ini lagu penyanyi Rusia. Enak deh, bawaannya pengen nge-dance," sahut Milly. Perempuan itu memasangkan headset yang sebelah lagi ke telinga kiri Rahagi.
Pria berparas tampan tersebut mengerutkan dahi, berusaha mengikuti irama musik yang awalnya aneh, tetapi kemudian bisa dinikmati. Milly mengulaskan senyuman kala melihat kepala Rahagi mulai manggut-manggut sesuai ketukan lagu sambil terus mengemudi.
Milly sendiri menggerak-gerakkan bahu dan bibirnya menggumamkan lirik lagu dengan gaya penghayatan yang tinggi. Padahal sebenarnya kalimat yang diucapkannya itu tidak tepat.
Rahagi kembali melirik pada Milly, kemudian mengulum senyum melihat tingkah ceria sang istri yang sangat menghibur baginya. Rahagi tahu bahwa perempuan berstatus istri sekaligus keponakannya tersebut memang periang, persis seperti Prita.
Pria berambut tebal itu masih ingat masa-masa awal kehidupannya yang terbiasa ikut mengasuh Mikail dan Milly. Bahkan, dia masih menyimpan kenangan saat melatih kedua bersaudara itu naik sepeda.
Rahagi merasa bersyukur, baik Prita maupun Aldan sangat menerima kehadirannya di kehidupan mereka. Masih terbayang jelas adegan adu tinju Aldan dengan para preman yang pernah hendak memalak Rahagi yang baru pulang sekolah.
Kala itu dia masih berseragam putih merah, dihadang sekelompok preman yang memaksa Rahagi untuk menyerahkan sepeda, jam tangan dan uang. Mereka mengira Rahagi adalah anak bungsu Ghandi dan pastinya banyak uang.
Rahagi yang baru berusia delapan tahun mencoba melawan, tetapi tubuh kecilnya malah didorong hingga terjatuh di jalanan beraspal. Aldan yang kebetulan tengah melintas segera menolong Rahagi dan berantem dengan para preman itu dengan dibantu beberapa pengendara lainnya.
Rahagi kecil menangis sesenggukan dalam pelukan Aldan. Semenjak saat itu Aldan memasukkan Rahagi ke tempat latihan beladiri, tempat di mana dia dulu pernah ikut berlatih.
Kala Rahagi beranjak remaja, Aldan tak ragu-ragu untuk menjadikan adik angkat istrinya itu sebagai sparing partner. Tanpa peduli jeritan Prita bila salah satu dari mereka terkena tendangan atau pukulan ala karate, Rahagi dan Aldan malah sangat menikmati acara berlatih bersama tersebut meskipun wajah bonyok.
Saat Mikail berusia delapan tahun dan Milly berusia lima tahun, giliran Rahagi yang menjadi pelatih sekaligus pengasuh mereka. Sama sekali tidak terlintas di pikiran Rahagi, bila gadis kecil yang dulu sering meminta dibelikan cokelat itu akan menjadi istrinya.
"Senyum-senyum mulu, Om," ucap Milly yang memutus lamunan Rahagi.
"Ehm ... iya," jawab Rahagi seraya menyunggingkan senyuman canggung karena tertangkap basah sedang melamun. Rahagi pun baru sadar bila musik telah berhenti dan kabel headset sudah terlepas dari telinga. Benda putih itu kini tergeletak di pangkuan Milly yang tengah mengunyah croissant.
"Mau?" Milly mengangkat croissant di tangan, dan tanpa ragu-ragu menyuapkannya ke Rahagi yang menerima dengan mulut membuka sedikit.
Milly cekikikan ketika melihat Rahagi menumpahkan serpihan croissant dan jatuh ke kaus biru tua yang dikenakan. Dengan cekatan Milly membersihkannya tanpa menyadari bila sentuhan tangannya di dadaa Rahagi membuat hati pria tersebut berdesir.
"Cih! Suap-suapan. Nggak mikir kami yang jadi penonton ini!" seru Eri dari kursi belakang mobil. Sementara Didi yang berada di sebelahnya hanya mesem-mesem.
"Kalian ngapain juga maksain ngikut? Ganggu orang lagi ...." Milly tidak melanjutkan ucapannya karena melihat Rahagi tengah tersenyum penuh arti ke arahnya.
"Justru harus dijagain, biar Sayangku Mas Ra nggak lecet!" tukas Didi.
"Om ini, ya, terus aja manggil Om Ra dengan Sayangku!" protes Milly.
"Loh, kena-why? Mas Ra memang pantas disayang. Ganteng, gagah, absolutely perfect!" Sepasang mata Didi tampak berbinar-binar saat mengucapkan itu. Sementara Rahagi menggeleng pelan.
"Udah ahh, berisik kalian berdua ini," sungut Eri. "Om ehh, Mas, kapan nyampenya sih?" tanyanya sembari memajukan tubuh ke bagian tengah kursi sopir dan penumpang depan.
"Masih jauh ini, baru juga masuk tol. Kenapa?" Rahagi balas bertanya tanpa menoleh.
"Aku lapar." Eri memegangi perutnya yang berlipat.
"Perasaan baru juga satu jam yang lalu kita sarapan, Ri. Kok udah lapar lagi sih?" Milly menoleh ke belakang dan menatap wajah sahabatnya itu dengan tatapan sadis.
"Tadi itu perut bagian kanan, Mil, yang keisi. Yang kiri belum." Eri melebarkan senyuman, tak peduli bila Milly memutar bola mata dengan kesal.
"Dasar perut karet!" desis Didi.
"Daripada situ, ceking!" balas Eri.
"Eits, sembarangan. Aku ini ramping, bukan ceking!"
"Udah mirip tengkorak gitu, ramping dari mana!"
Rahagi dan Milly saling beradu pandang sesaat, kemudian kembali mengarahkan pandangan ke depan, mengabaikan kedua orang di belakang yang tengah cakar-cakaran dan saling jambak.
*
*
Setibanya di tempat tujuan, Milly turun dari mobil dan langsung menuju ke bagian belakang. Membuka pintu bagasi dan menarik tasnya keluar. Membetulkan posisi pegangan dan menariknya dengan menggunakan tenaga lebih.
"Mil, bawaanmu banyak amat?" Rahagi memandangi Milly yang masih berusaha keras menarik tas.
"Namanya perempuan itu bawaannya pasti banyak, Om. Tuh, Eri juga sama." Milly menunjuk ke tas travel besar yang nyaris serupa dengan miliknya hanya berbeda warna, yang masih berada di bagasi.
"Kalau ini punya siapa? Gede juga." Rahagi menunjuk ke tas travel ungu di bagian tengah bagasi.
"That's mine, Honey," sahut Didi yang telah berdiri di belakang Rahagi. "Turunin dong," pintanya dengan manja.
"Turunin sendiri!" Rahagi menyambar ransel besarnya dan berlalu dari tempat itu.
"Darling! Wait for me!" seru Didi yang tengah berusaha menurunkan tasnya yang tertindih tas milik Eri.
Rahagi menyambar tangan kiri Milly dan mempercepat langkah. Tak mengindahkan protes Milly yang kerepotan mengikuti langkahnya sambil menggeret tas.
Rahagi berhenti di depan sebuah rumah berukuran sedang yang mempunyai banyak kenangan baginya. Tatapannya memindai sekitar seraya tersenyum lebar. Kemudian meneruskan langkah menuju teras rumah yang sangat bersih tersebut.
Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang perempuan tua menyambut kedatangan Rahagi dengan pelukan hangat. Perempuan itu mengucapkan sesuatu dalam bahasa Sunda yang sangat fasih dan dijawab Rahagi dengan bahasa Indonesia.
Ketiga orang lainnya memandangi adegan penuh haru itu dengan berbagai ekspresi. Kala perempuan tua itu menghampiri dengan langkah tertatih dan dituntun oleh Rahagi, Milly segera mendekat dan menyalami dengan takzim.
"Ini teh Neng Milly?" tanya perempuan tua itu yang Milly kenal sebagai adik kandung almarhumah ibunya Rahagi yang dipanggil dengan nama Jamilah.
"Iya, Nek, ini Milly," jawab Milly sambil memeluk Jamilah yang bertubuh kecil itu dengan erat.
"Meni geulis, dan mirip sama neng Prita muda."
Jamilah mengalihkan pandangan pada kedua orang di belakang Milly yang memandanginya dengan senyuman mengembang. Eri mencium punggung tangannya dengan takzim, sementara Didi sok akrab beradu pipi dengan perempuan tua yang seketika mengusap bekasnya sambil berkata," meni waas." (deg-degan)
Didi mengerucutkan bibir tanda merajuk. Bertambah kesal karena keempat orang tersebut jalan menuju rumah tanpa basa-basi mengajaknya. Akhirnya Didi mengangkat tas dan jalan cepat menyusul. Lupa untuk berjalan dengan gemulai, dan malah memperlihatkan gaya jalan laki-laki.
Dua jam kemudian, Rahagi mengajak Milly ke bagian samping kanan rumah. Halaman luas yang asri dengan banyaknya pepohonan rindang. Terdapat dua buah kolam ikan serta sebuah bangunan kecil di bagian sudut kanan.
Rahagi duduk di pinggir kolam dengan santai dan mulai menyiapkan peralatan memancing milik almarhum pamannya. Milly mengedarkan pandangan ke sekeliling, bingung hendak duduk di mana karena tidak ada bangku atau kursi di tempat itu.
"Om, aku di rumah nenek aja, ya," pinta Milly.
"Nggak, duduk sini, temani saya," jawab Rahagi sambil menepuk-nepuk rumput di sebelah kanan.
"Nggak ada kursi atau bangku gitu?"
"Duduk di sini aja, bersih kok."
Milly meringis.
"Atau mau duduk di pangkuan saya?"
"Dasar mesumm!" desis Milly sambil memelototi Rahagi yang memasang raut wajah datar.
"Dari dulu juga senangnya dipangku."
"Itu kan waktu aku kecil, Om."
"Saya nggak keberatan kalau kamu masih mau dipangku."
Milly memutar bola mata, bertambah kesal ketika mendengar suara tawa kecil Rahagi. Dengan separuh hati akhirnya Milly menurut dan duduk bersila di sebelah kanan. Memperhatikan sekeliling yang tampak sunyi dan sepi.
Lokasi rumah itu memang menjorok ke dalam. Dengan kanan kirinya yang berupa kebun, sehingga menyebabkan tempat itu terpisah dari rumah-rumah penduduk yang lain dan agak terpencil.
"Mil."
"Hmm?"
"Pijitin pundak saya dong."
"Pijat sendiri!"
"Oh, nolak? Oke."
Tiba-tiba Rahagi memajukan tubuh dan mengecup pipi kiri Milly yang seketika membeku.
"Masih mau nolak?" tanya Rahagi sambil menjauhkan tubuh. "Saya cium lagi nih!" ancamnya.
Milly langsung berpindah ke belakang Rahagi dan memijat pundak pria yang telah sah menjadi suaminya itu sambil menggerutu dalam hati.
"Aduh! Jangan sambil nyubit dong!" protes Rahagi.
"Om-nya nyebelin!" omel Milly.
"Ikhlas nggak?"
"Kagak!"
"Saya cium lagi nih!"
"Au ah!"
Milly hendak beranjak, tetapi gerakannya terhambat karena tangannya ditarik Rahagi dan tiba-tiba saja tubuh Milly sudah berada di pangkuan Rahagi.
Sepersekian detik waktu seolah-olah berhenti. Kedua pasang mata itu saling menatap dan mengunci. Jantung mereka bergemuruh seakan-akan hendak lepas dari tempatnya.
"Mil."
"Ya?"
"Malam ini ...."
Milly menatap Rahagi dengan mata membola, menunggu pria itu menuntaskan kalimat dengan gugup.
To Be Continued
*
*