"Itu nanti belok kanan, Mas." Airin memberitahu arah jalan ke kosnya.
"Oke," jawab Erlangga sambil membelokkan sepedanya ke arah yang dikatakan Airin.
Ketika sepeda berbelok dan melaju lagi sekitar 20 meter lebih, ada sepasang mata yang bengong ketika melihat kedua orang yang bersepeda itu. Empunya mata itu adalah Bramasta Yanuardi, salah satu anggota genk-nya Airin. Dia sedang main di kos temannya dan sedang main kartu di teras depan kos.
Bramasta kaget bukan main karena melihat Airin, gadis yang dia suka ternyata pulang jam selarut ini dan diboncengkan lelaki lain, pula! Terlebih lagi, itu dia kenali sebagai lelaki yang dihebohkan banyak gadis akhir-akhir ini di Sae Fastfood.
Darah Bramasta mendidih tak terima. Cemburunya berkobar-kobar seperti lidah api yang membakar hatinya. Pikiran keruh dia sudah berkeliaran di semua sel-sel otaknya. Mulai dari membayangkan bahwa Airin baru pulang berkencan dengan si pria ngetop dari Sae, atau bisa saja Airin seperti gadis gatal lainnya yang sengaja mendekam di Sae demi bisa berlama-lama memandangi Erlangga.
Duhai, pikiran Bramasta sudah amboi melantur kemana-mana. Tanpa pikir panjang, dia langsung letakkan kartu di tangan dia dan bangkit dari duduknya, hendak pergi.
"Heh! Heh! Mau ke mana kau, Bram?!" Salah satu teman main kartunya berseru mencegah Bramasta pergi, bahkan memegangi ujung bawah kaos oblongnya.
"Bentar, aku ada urusan penting, bro!" Bramasta melepaskan diri dari tangan temannya dan bergegas mencari sandalnya.
"Hoi, Bram! Mentang-mentang bakalan kalah, main pergi gitu saja kau!" Teman lainnya berseru. "Bayar dulu kalahmu, hoi!"
"Iya, iya, nanti, b******k! Duit aja kau pikirkan! Aku ada gawat darurat, nih! Bye!" Setelah menemukan sandalnya, Bramasta segera menghambur keluar dan berlari menuju ke kos Airin. Dia tak sempat mengambil motornya karena saking ingin cepat sampai. Toh dekat dari situ.
Sesampainya di dekat kos Airin, dia melihat di depan gerbang kosnya masih ada Airin dan si famous Erlangga. Larinya kian dipacu meski napas sudah ngos-ngosan hendak putus. Mungkin dia harus mengurangi rokok setelah ini.
"Ehh, Bram?" Airin menoleh ke arah teman satu genk-nya. "Kok lari-lari begitu?"
"R-Rinh!" Bramasta sampai merah mukanya habis berlari. "Kenapah ... hmhh ... kenapah kamuh ... diantar diaahh?" Sengalan napasnya membuat dia menambahkan H pada setiap kata yang diucapkan.
"Ohh, ini? Mas Elang mengantar aku karena tadi aku sempat diganggu preman waktu mau pulang ke kos. Yah, ditolong Mbak Sus dulu, sih, lalu diantar Mas Elang." Airin menjelaskan secara singkat.
Mata membara Bramasta beralih ke Erlangga, tatapan sengit langsung tercipta pada sang anak konglomerat. Sedangkan bagi Erlangga, sikap bermusuhan Bramasta sama sekali tidak bisa mengintimidasi dia.
"Ai, aku pulang dulu, yah! Bye." Erlangga enggan meladeni Bramasta dan memilih pamit pergi.
"Iya, Mas. Terima kasih sudah diantar. Dan sampaikan terima kasih ke Mbak Sus juga, yah!" Airin berkata.
"Oke." Lalu tanpa memandang ke Bramasta, Erlangga langsung memutar sepedanya dan mengayuh cepat. Dia sudah ingin lekas sampai ke apartemen dia. Apalagi sebentar lagi ada siaran langsung sepak bola di Yutub. Dia tak boleh ketinggalan.
Bramasta menatap sebentar punggung Erlangga yang semakin menjauh dari pandangan dan akhirnya menghilang di balik tikungan. Ia kemudian mengalihkan tatapan ke Airin. "Rin, kenapa harus diantar dia, sih?"
"Yah, memangnya kenapa, Bram?" Airin malah heran dengan pertanyaan teman satu genk-nya ini. Memangnya sebuah dosa kalau diantar oleh Erlangga?
"Kau kan bisa hubungi aku, chat atau telepon untuk aku jemput kamu dan antar kamu pulang." Bramasta terlihat kesal. Di mata Airin, tingkah Bramasta ini malah aneh.
"Lah, Bram, begitu saja kenapa harus dipermasalahkan, sih? Tadi juga kebetulan saja dan nggak sempat mikir lainnya, apalagi untuk pilih-pilih siapa yang harus mengantar pulang." Airin tersenyum. "Aku ke dalam dulu, yah Bram, sudah mulai mengantuk, nih!"
Mendengus menahan emosi, Bramasta pun mengalah. "Ya sudah, sana tidurlah dan lain kali ingat-ingat aku saja kalau butuh ada yang menemani agar tidak diganggu siapapun di jalan. Yah!"
"Hu-um, kalau aku ingat, yah! He he ..." Airin lalu balik badan dan masuk ke dalam.
Di depan gerbang kos Airin, Bramasta masih kesal, ingin mencabik-cabik Erlangga. Tadi lelaki itu tampak meremehkan Bramasta, dia bisa merasakan tatapan remeh Erlangga pada dirinya. Sialan! Awas saja!
Yang juga menyulut api di hatinya makin berkobar, Airin memanggil Erlangga dengan MAS, padahal dia yang lebih tua dari Airin saja tidak pernah dipanggil seperti itu. Kenapa Erlangga dipanggil mas dan dia tidak?!
Bramasta kian terbakar cemburu.
-0-0-0-0-
Siang itu, seperti biasanya, satu genk sudah duduk santai di Sae Fastfood dan salah satu sudah berdiri untuk memesan mewakili teman-temannya. Itu adalah Lintang Anjayani, si bontot di genk itu yang kerap disuruh-suruh oleh Frea dan dua pria lainnya di genk.
Di genk itu hanya ada 6 orang saja sebagai anggota. Ini sebenarnya tidak bisa disebut genk juga, hanya teman kumpul-kumpul mengobrol atau bersantai di Sae seperti sekarang. Tapi Frea bersikeras harus disebut genk agar terkesan gahar dan elit.
"Kak Rin dan Kak Ran mau pesan apa?" tanya Lintang ke Airin dan Nirana yang sedang melihat-lihat majalah remaja.
Airin mendongak dan berkata, "Aku belum ingin pesan apa-apa, Lin. Nanti aku akan pesan sendiri kalau sudah kepingin."
"Aku juga nanti dulu, deh!" Nirana ikut menjawab senada seperti Airin.
Akhirnya Lintang pun mengangguk dan pergi ke bagian pemesanan sekaligus membayarnya. Tentu saja dengan uang dia sendiri. Sudah biasa jika Frea, Bramasta dan Lukito selalu membebankan biaya makan minum mereka di Sae pada Lintang.
Hanya Airin dan Nirana saja yang akan membayar sendiri makan dan minum mereka, tidak ingin merepotkan Lintang yang penurut. Mereka pun mengobrol sendiri-sendiri dan Lintang sudah kembali dari memesan.
Ketika Airin dan Nirana sedang asik membahas sesuatu di majalah yang dipinjam Nirana dari teman kelasnya tadi, Erlangga ternyata sudah naik pangkat ke level pelayan. Rupanya makanan dan minuman yang dipesan Lintang tadi diantarkan oleh Erlangga.
Melihat adanya Airin di meja yang hendak dia tuju, mengakibatkan debaran jantung tersendiri bagi Erlangga. Langkahnya berusaha dia mantapkan. Jangan gemetar, jangan hilang fokus, tetaplah profesional sebagai pelayan. Ini adalah pekerjaan mudah dan biasa dia lakukan ketika di luar negeri.
Ketika Erlangga sudah hampir berada di sebelah meja tempat Airin berada, tiba-tiba Bramasta yang duduk di paling ujung dekat dengan arah Erlangga, menjulurkan kakinya. Erlangga tidak sempat melihat gerakan tiba-tiba dari Bramasta.
Pyukk! Bruak!
Dua bunyi itu sudah memberikan tanda ada yang terjatuh.
Ya, makanan dan minuman yang dipegang Erlangga dalam sebuah baki limbung karena Erlangga tersandung kaki Bramasta dan gagal menyeimbangkan dirinya.
"ADUH! SIALAN!" teriakan kencang berasal dari arah Frea sambil dia berdiri dan mengibas-kibaskan tangan pada kemeja putih garis-garis biru dia yang terkena spageti berikut bumbu sausnya. Rok mini jins dia juga terkena siraman jus alpukat.
Mata Frea mendadak menyala galak pada Erlangga, bagai siap menelan bulat-bulat. "PELAYAN KERE! Kamu sudah bikin baju mahal aku kotor!" teriaknya penuh amarah.