9 - Mengantar Pujaan Hati

980 Kata
Airin masih belum bisa bereaksi ketika tangannya begitu saja ditarik dan badannya diseret paksa masuk ke Sae. "Pesan air mineral sambil mainan laptop saja, Mbak. Bawa laptop, kan? Nanti kalau bosan, Mbak bisa liat Yutub, sambil menunggu Sae tutup. Tenang saja, Mbak, ada banyak yang begitu di Sae. Nanti aku traktir es teh kalau air putih es gratisnya sudah habis Mbak minum." Susanti begitu santai memberikan jadwal kegiatan kepada Airin. Lah yang punya badan memangnya siapa, sih?   Tapi, meski bingung, Airin masih juga patuh dan membiarkan Susanti menarik dia masuk ke Sae Fastfood. Dia didudukkan di bangku paling sudut yang sekiranya tidak membuat orang ingin tau atau sekedar melirik penasaran.  Sesuai janji Susanti, dia membawakan segelas air putih dingin untuk Airin. "Kalau habis, nanti aku traktir es teh, Mbak." Karena memang kos Airin tidak ada jam malam, dan juga dia tak tau harus melakukan apa ketika dia sedang suntuk tapi belum mengantuk, maka dia pun setuju saja ke Sae. Lumayan, bisa menonton Yutub seperti saran Susanti tadi.  Kebetulan besok dia kuliah siang. Tak apalah kalau memang harus bergadang sebentar di Sae. Di sini juga sejuk dan nyaman.  "Ohh, Mbak Sus, aku pesan kentang goreng bumbu rujak, yah!" Airin tidak ingin hanya sekedar menumpang duduk untuk menghabiskan waktu. "Tenang saja, Mbak Sus, nanti aku bayar sendiri, kok! Dan juga wedang uwuh juga, yah!" Dia menyebutkan sebuah menu minuman tradisional yang ada di Sae. Lumayan bisa untuk menghangatkan perut di gempuran AC ruangan ini.  Maklum, Airin ini cah ndeso yang jarang kena pendingin ruangan seperti AC. Makanya kalau terlalu lama di tempat sesejuk Sae, dia bisa-bisa kembung dan gawat kalau sampai sering kentut. Itu kan memalukan.  Susanti pun mengangguk saja dan mengingat pesanan Airin. Tapi, kemudian dia menoleh lagi ke Airin dan bertanya, "Kok mbaknya ini tau nama saya, yah?" Airin sampai bengong mendapat pertanyaan tadi. "L-Lah, bukannya tadi si Mas yang tadi yang panggil mbaknya dengan nama Sus, kan?" "Ohh ..." Susanti pun mengangguk secara dramastis ala-ala di drama. "kupikir aku ini sangat terkenal sampai siapapun tau namaku. Oke, kentang goreng bumbu rujak dan wedang uwuh." Lalu dia pun pergi melenggang dari hadapan Airin.  Kini, tinggal Airin yang terkekeh antara geli dan bingung dengan tingkah polah Susanti tadi. Setelah menggeleng-gelengkan kepala selama sekian detik, dia mengeluarkan laptop hasil ibunya menjual gelang emas terakhir Beliau.  Laptop warna merah itu sangat dirawat Airin agar tidak rusak, atau gawat karena tak bisa beli yang baru. Dia mulai menyalakan laptop ketika Erlangga masuk kembali ke Sae usai membuang sampah. Lelaki itu melirik ke Airin tanpa gadis itu ketahui karena Airin sedang fokus pada layar laptop-nya.  Tak berapa lama, Erlangga mendatangi Airin sembari membawakan apa yang tadi dipesan oleh Airin pada Susanti. "Silahkan, Mbak." Ia menghidangkan kentang goreng bumbu rujak dan wedang uwuh ke hadapan Airin.  "Ohh, iya, Mas, terima kasih, yah!" Airin menyunggingkan senyum manis dia, tidak bermaksud menggoda Erlangga sama sekali karena memang pada dasarnya dia ini gadis ramah pada siapapun yang sopan padanya.  Ucapan Airin hanya dijawab anggukan kepala sekali oleh Erlangga dan dia lekas menurunkan topinya lagi setelah berlalu dari meja Airin, kembali ke tempat dia di dekat kasir sambil melihat sekitar, mencari kira-kira mana yang butuh dibersihkan.  . . "Maaf, yah Mas, aku malah merepotkan Mas pakai diantar begini segala." Airin berpegangan erat-erat pada besi di belakang boncengan sepeda Erlangga menggunakan satu tangan karena posisi memboncengnya miring. Dia pakai rok panjang, makanya tak bisa membonceng pose mengangkang. Dia juga tidak mengira bahwa dia akan diantarkan oleh Erlangga pakai sepeda. Kata Erlangga sih agar lekas sampai di kosan dan meminimalkan bahaya yang bisa saja menghadang di jalanan jika hanya berjalan kaki.  "Ohh, nggak masalah, Mbak. Namanya lelaki kan memang harus melindungi perempuan, apalagi yang pulangnya semalam begini." Erlangga menyahut tanpa menoleh, tetap fokus pada setang dan jalanan di depan yang gelap.  "Apa masnya ini biasa mengantar perempuan yang masih belum pulang di dekat Sae di jam segini, yah?" Pertanyaan polos dari Airin ini tulus diucapkan tanpa tendensi apapun, selain hanya ingin tau. Tapi Erlangga malah jadi seperti tersodok. Jelas-jelas bohong sekali kalau dia bersikap bagai hero yang mengantar perempuan mana saja di sekitar Sae bila mereka pulang kemalaman. "O-ohh, enggak, sih! Kebetulan jiwa sok pahlawan saya sedang keluar." Dia menyahut dengan kalimat nyeleneh.  Dua alis Airin sempat naik mendengar jawaban aneh Erlangga, tapi dia tidak mendesak lebih jauh. "Oh ya, maaf kalau sampai ini aku belum tau nama Mas. Aku Airin." Erlangga rasanya ingin tertawa karena dia sudah tau nama gadis yang sedang dia bonceng ini. "Aku Erlangga. Panggil Erlang juga tak masalah, seperti yang lainnya." Erlangga mulai melonggarkan kekakuan bahasanya dan menggunakan aku-kamu.  "Kalau aku panggil Elang, boleh?" tanya Airin. "Soalnya aku kurang ... umm ... kurang fasih mengucapkan huruf R. Bisa samar, begitu." Bahu Erlangga terangkat acuh tak acuh. "Terserah kamu saja, Mbak Airin." "Ehh, jangan pakai mbak, dong. Kesannya aku kok lebih tua sekali dari kamu." Airin merasa risih kalau dipanggil mbak oleh yang sudah berkenalan. "Panggil apa, yah? Ai, boleh?" Erlangga menoleh sedikit meski tidak bermaksud mempertemukan pandangan dia dengan Airin di belakang sana.  "Ai?" Airin terdiam sejenak. Belum pernah ada yang memanggil dia dengan panggilan seperti itu. Biasanya orang-orang akan memanggil Rin atau Ririn. "Um, ya enggak apa-apa, sih." "Kalau nggak boleh, aku ganti yang lain." Erlangga memancing.  "Ehh, jangan. Ai juga tidak apa-apa, kok! Belum pernah ada yang manggil pakai sebutan itu." Dengan lugunya, Airin membeberkan itu, sesuai harapan Erlangga.  "Pacarmu tak pernah panggil kamu Ai?" Erlangga mulai berani memberikan umpan lebih besar.  "Pfftt!" Airin malah menahan tawa di belakang Erlangga.  "Loh, kok malah tertawa gitu? Kenapa?" tanya Erlangga, berdebar-debar, jangan-jangan Airin sudah punya pacar. Kalau benar gadis itu sudah punya kekasih, maka dia akan omeli tim CIA dia.  "Yah, lucu saja, sih! Karena enggak punya pacar, Mas." Airin menjawab.  "Bohong pasti, ya kan?" Erlangga makin menggali dengan siasatnya.  "Bohong bagaimana, Mas?" "Bohong kalau tidak punya pacar. Cewek yang nggak secantik kamu saja udah punya mantan bejibun, masa sih kamu malah belum ada pacar satupun?" "Yah, terserah Mas Elang sih mau percaya atau tidak, pokoknya aku udah ngomong apa adanya." Airin agak cemberut karena dituduh berbohong.  Erlangga tersenyum di depan sana tanpa bisa dilihat Airin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN