Part 2 - Daun Pendatang Jodoh

1107 Kata
Betapa riuhnya hati Enggar. Saat usianya sudah mulai bertambah. Digunjingkan tetangga. Bahkan ia harus menerima kondisi maknya yang mengalami ganggunan kesehatan. Kini masih terbaring lemah dengan fisiknya yang sudah renta. Lima puluh delapan tahun.Di benak hati mak Tinah, tak banyak yang diminta. Ia hanya ingin melihat anak satu-satunya itu menikah. Punya kehidupan keluarga dengan suami dan juga anak. Menjalani suka duka kehidupan dengan pasangan. Mak masih sangat begitu memikirkan nasib anaknya. Sayup-sayup langkah kaki seseorang terdengar lirih, memasuki halaman rumah Enggar. Ternyata bu RT datang untuk menjenguk si Mak. Enggar yang duduk di teras rumah pun mempersilakan, dengan mengantarkan bu RT menuju ke kamar mak Tinah. “Sakit apa Mak Tinah?” tanya bu RT sembari meletakkan sedikit buah apel di atas meja. “Hanya lelah saja, Bu RT,” jawab mak lemas. Enggar berkutat di dapur. Membuatkan minuman untuk bu RT. Secangkir teh itu sudah menghiasi tangannya. Enggar pun segera menyajikan minuman itu untuk tamu si maknya. “Diminum, Bu.” “Iya, terima kasih.” Enggar melenggang ke luar kamar. Bu RT tiba-tiba langsung menutup hidungnya. Seperti ada sesuatu yang sangat mengganggu penciumannya itu. Mak Tinah pun melihat jempol dan telunjuk bu RT memencet hidungnya hingga ke dalam. Si Mak hanya membatin dalam hatinya. “Baunya kenapa begini,” ucap bu RT dalam hati. Tak ayal, sepagi ini Enggar memang belum membersihkan tubuhnya. Dia yang sedari subuh sudah pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Membantu maknya saat kondisinya sakit begini. Enggar baru menyelesaikan pekerjaannya. Dia baru saja duduk di teras dan menyambut kedatangan bu RT. Alih-alih bau keringatnya pun seolah seperti dikalikan dua. Bu RT tak berlama-lama. Minuman yang disuguhkan itu pun tak dijamahnya. Dia merasa kepalanya pening. Setelah aksinya menutup hidung dengan dua jari kanannya. “Mak, cepat sembuh, ya.” “Terima kasih, Bu RT.” “Saya pamit dulu.” Si Mak tersenyum tipis. Pandangannya terhalang dinding kamar. Tak bisa mengantarkan bu RT hingga ke depan rumah. Pikiran mak Tinah melayang. Tentang apa yang tadi dirasakan dan dilihatnya dengan mata telanjang. Enggar bersiul, menikmati udara pagi yang sangat segar. Bu RT pun membuang senyum padanya. Lalu beranjak pergi dan seolah ingin cepat berlalu dari pandangan Enggar. Mata Enggar terasa tak ingin dibohongi. Tingkah bu RT pun tercium di benanya. Ia sangat meyakini. Ini karena bau badannya sendiri. Enggar menggerutu dan menuju ke kamar mandi. Membersihkan tubuhnya segera. “Apa semua orang akan melakukan ini padaku?” tanya Enggar dengan menatap ke langit-langit. *** Enggar tak begitu jago memasak. Selepas mandi, ia pun segera menuju ke dapur untuk sekadar menyiapkan sarapan pagi untuk mak Tinah. Telor mata sapi dan nasi putih itu pun disiapkannya. Tak ada makanan mewah untuk keluarga kecilnya. “Mak, ayo makan dulu,” seru Enggar. “Nduk, Mak minta sekarang juga kamu pergi ke hutan.” “Aku baru pulang, Mak. Kayunya sudah aku taruh di halaman belakang.” “Bukan itu, carilah daun beluntas sebanyak mungkin.” Enggar mengernyitkan dahinya. Mencoba membaca pikiran si mak. Namun tak bisa diraihnya. Ia sama sekali tak mengerti akan perintah itu. Namun bagi Enggar tak ada yang tak bisa diwujudkan untuk wanita satu-satunya yang dimiliki, selain satu hal. Jodoh yang tak kunjung didapatnya. Enggar segera menuruti perintah si mak. Ia membawa karung putih dan juga sabit. Berjalan memasuki hutan. Hal biasa yang sering Enggar lakukan. Seakan hutan adalah rumah keduanya. Meski sedikit trauma selalu menari-nari dalam pikirannya. Tentang sebuah kematian yang merenggut nyawa bapaknya, di tanah luas dan penuh dengan pepohonan. Ular, harimau dan beberapa jenis hewan lainnya seakan sudah menjadi teman bagi Enggar. Ia cukup berani. Langkahnya pelan. Menikmati kesejukan angin yang berhembus mesra. Menjalar pada pori-pori kulitnya. Mata Enggar melirik, daun yang dicarinya sudah terlihat di pelupuk mata. Dengan cepat Enggar pun segera mengambil sabit dan memotong daun beluntas itu. Hampir setengah karung Enggar mengambilnya. Enggar tak mengerti kenapa Maknya menyuruh untuk mengambil daun beluntas. NamunEnggar seolah tak mau berpikir terlalu dalam. Mungkin saja si mak akan membuat jamu agar kondisinya segera membaik. Pikirnya mencoba menepis. *** “Mak, daun beluntas sudah kutaruh di dapur, mau dibuat apa? Mak dengan batuk-batuk kecil, mencoba melihat Enggar dengan sedikit mendongakkan kepalanya. “Rebus daunnya, lalu minumlah air rebusannya itu!” Mata Enggar berotasi. Mencoba mencerna setiap kata dari mak Tinah. Merasa bingung dengan air rebusan yang diminta untuk diminumnya. “Aku yang minum, Mak?” “Iya, kamu harus meminumnya pagi dan menjelang tidur malam.” Enggar masih tak mengerti dengan jawaban mak Tinah. Ia tak segera beranjak. Tetap berdiri dengan pertanyaan yang hinggap di benaknya. “Ramuan itu untukmu, kamu harus sering-sering meminumnya, supaya kamu cepat dapat jodoh.” Lagi-lagi Enggar merasa bibirnya kelu untuk berkata. Ia pun berbalik badan dan kembali ke dapur. Melihat karung berisi daun beluntas itu seolah tak ingin dijamahnya. Sedikit sesak menyelimuti. Enggar hanya menatap karung itu tanpa lepas. Enggar menjatuhkan pantatnya di kursi kayu yang hampir reot. Ia tak segera melakukan perintah yang mengganjal dalam batinnya. Pikiranya jauh melayang, menerka dengan sejuta argumentasi yang menelisik jiwanya. *** “Sudah kamu minum ramuannya?” Pertanyaan mak melengking, saat Enggar membawakan semangkok bubur untuk mak Tinah. Enggar mengunci mulutnya. Mengalihkan pertanyaan yang dilontarkan padanya. “Makan dulu, Mak.” “Kamu suda minum air rebusan daun beluntas?” “I-ya.” “Jangan bohong Enggar, Mak tahu kamu belum meminumnya.” Gerakan mata Enggar seolah mengisyarakat sebuah kebohongan. Mak sangatlah tahu, gerak-gerik Enggar tak pernah bisa membohonginya. Mak pun berbalut senyum, mencoba terus meminta Enggar agar segera meminum air itu. “Cepat minum, Mak tak akan meracunimu.” Enggar tetap terdiam. Tak pernah terbesit dalam hatinya. Bila mak tercintanya akan meracuninya, bahkan sedikit perasaan itu tak pernah hinggap dalam pikirannya. Bagaimana mungkin, wanita yang berjuang bertaruh nyawa agar sang anak bisa hadir di dunia, berkorban di tengah panas dan hujan, agar sang anak bisa mendapatkan sebuah kehidupan yang baik. Cahaya mata mak Tinah seolah penuh pengharapan. Permintaannya itu memang tak sulit untuk diwujudkan. Tapi Enggar tak antusias untuk segera melakukan apa yang disuruh mak Tinah padanya. “Tunggu apa lagi, cepat minum air itu Enggar!” “Iya, Mak.” Enggar berlalu. Melangkahkan kakinya kembali ke dapur. Daun berwarna hijau terang dan mengeluarkan aroma yang khas bila diremas itu, dan rasanya getir, menghiasi isi karung berwarna putih. Enggar menatapnya tajam. Mengingat permintaan sang mak agar cepat meminum air rebusan daun beluntas. Enggar berdiri sangat lama. Daun-daun itu masih tetap di tempatnya, tak berubah. Enggar tak segera merebusnya. Dalam benaknya masih tersimpan beberapa pertanyaan yang belum bisa dimengerti olehnya. “Apa hubungan daun dengan jodoh? Apa dengan minum air rebusannya jodohku bisa segera datang? Apa daun itu pendatang jodoh?” pertanyaan itu bejibun di pikiran Enggar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN