Selama mak sakit, Enggar menggantikan profesi maknya. Mencari kayu bakar di hutan, untuk dijual kembali. Hasilnya digunakan untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Sekadar bisa mengisi perut. Yang terpenting bisa membeli beras, kalau lauknya Enggar dan mak Tinah bisa memanfaatkan tumbuhan hijau yang tumbuh liar di hutan.Sudah tiga hari kondisi kesehatan mak kurang baik. Enggar harus berjuang untuk memberikan makan pada mak Tinah. Dia pun kembali pergi ke hutan, mencari kayu bakar.
Enggar dan hutan sudah seperti sahabat. Ia tak pernah menebang pohon di hutan. Ia rela berjalan kaki mengiringi tanah yang sangat luas itu. Mencari kayu-kayu yang tergeletak. Bekas ranting atau bahkan pohon yang sudah tak berfungsi lagi atau mati.
Tumpukan kayu itu segera digendong dengan kain di punggungnya. Enggar berjalan penuh tenaga. Sebelum mentari muncul, Enggar harus sudah berada di pasar. Menjajakan kayu bakar hasil pencariannya.
“Kayu...kayu...”
Suara Enggar menawarkan. Sembari diusapnya peluh yang menghiasi dahinya. Pasar tempat para pedagang berkumpul, pun tempat pembeli saling mengisi satu sama lain.
“Aku beli kayunya.”
Mata Enggar berbinar. Pembeli pertama yang datang ke lapaknya. Wanita cantik dengan menggandeng anak perempuan yang sangat lucu menggemaskan.
“Silakan, Mbak.”
“Saya bayar dulu, nanti kayunya diambil suami saya, Mbak.”
“Boleh.”
Enggar tak berkedip. Memandang pembeli itu. Sepertinya wajahnya tak asing. Wanita itu pun demikian. Setelah membayar uang kayu. Ia memandang wajah Enggar dengan tatapan penuh.
“Apa kamu Enggar?” tanya pembeli dengan senyum merekah.
“Kamu Erna, kan?” sahut Enggar menimpali.
“Ya ampun, bisa ketemu di sini. Anak kamu sudah berapa Enggar?” tukas Erna, pembeli sekaligus teman Enggar.
Enggar tersenyum simpul. Memandang teman sekolahnya saat SMP dulu. Lalu memalingkan wajahnya pada anak cantik yang digenggam tangannya oleh Erna. Mengatur napas untuk sekadar menjawab sepatah pertanyaan yang terasa hambar dilidahnya.
“Aku belum menikah,” jawab Enggar lemas.
“Nikah itu enak, kenapa gak cepat menikah? Apalagi kalau sudah punya anak, nano-nano pokoknya.”
Enggar tak menjawab. Berusaha berlaku sebiasa mungkin. Enggar sengaja membuang wajahnya pada gadis kecil yang juga memandangnya itu. Enggar memainkan tangan gadis itu, sejurus gadis kecil itu pun menenggelamkan diri di belakang tubuh ibunya, ia takut dengan orang asing yang baru dilihatnya.
“Ya sudah, aku doakan cepat nikah ya, nitip dulu kayunya, sebentar lagi suamiku yang akan mengambilnya”
Enggar menangguk tanda mengerti. Ia hanya terdiam sembari pandangannya tetap tertancap pada teman sekolahnya itu. Betapa bahagianya, menikah punya anak dan suami. Enggar seolah hanya gigit jari.
“Saya mau ambil kayu yang tadi dibeli istri saya.”
Enggar tersentak. Terkejut dengan ucapan laki-laki yang menghampirinya. Ia gugup. Baru kali ini Enggar berpandang dengan laki-laki sedekat ini. Meski ia tahu bahwa laki-laki itu adalah suami dari temannya sendiri.
Tampan dan santun. Enggar melamun, pikirannya menari-nari, mengajak untuk berhalusinasi. Andai saja ia punya suami setampan dan sebaik suami Erna. Enggar pasti bahagia. Belum lagi hadirnya peri kecil membuat nilai kebahagiaan itu bertambah. Ah, Enggar hanya bisa membayangkan, nyatanya ia masih sendiri dan tak ada satu pun lelaki yang mau dekat dengannya.
“Kamu jadi penjual kayu bakar!”
Suara itu kembali membuat Enggar berpindah pandang. Dilihatnya Elis dengan tawa seolah mengejeknya. Wajah yang tak bersahabat itu menatap Enggar tajam.
“Kamu itu harusnya jual diri supaya laku, bukan jual kayu bakar.”
“Tutup mulutmu, Elis!”
“Mana mungkin ada laki-laki yang mau dengan perempuan tua sepertimu?!”
“Kamu bisa diam!”
“Tua, bau badan lagi!”
Wanita bernama Elis itu pun berlalu. Enggar merasa geram. Elis tetangganya, tak pernah bisa berlaku manis. Setiap apa yang dilakukan Enggar, Elis selalu mencaci. Tak tahu apa yang membuat Elis sebenci itu padanya.
Kehidupan Elis yang sempurnya, sebenarnya sangat membuat hati Enggar merasa iri. Tapi Enggar sadar diri. Dia tak pernah mengusik sedikit pun kehidupan tetangganya itu. Namun sampai detik ini, Elis seperti musuh dalam lobang yang sama.
Kulit yang terasa panas karena terpanggang di bawah sinar matahari. Enggar berjalan menyusuri jalan setapak. Menuju pulang ke rumahnya, membawa sedikit uang, hasil menjual kayu bakar. Di ujung jalan, wajah Elis kembali terpampang di depannya.
“Enggar, kalau kamu ingin cepat laku, rubah penampilanmu, jangan seperti laki-laki begitu, apalagi bau badanmu itu, mengganggu sekali!”
“Elis, aku tidak pernah mengurusi urusanmu, jadi jangan kamu urusi hidupku!”
“Sudah jadi perawan tua, sombong lagi!”
“Cukup Elis!”
“Kalau mau dapat jodoh itu ada usahanya, gak seperti kamu, dekil!”
Elis kembali menyalakan mesin sepeda motornya. Arahnya seperti akan pulang ke rumahnya. Enggar kembali melanjutkan langkah kakinya. Tak masalah bila Elis tak mengajaknya pulang dengan mesin roda dua itu. Hanya saja Enggar merasa enggan, mendengar cibiran demi cibiran dari mulut Elis. Wanita yang membuat hatinya berdenyar.
***
“Mak, Enggar belikan buah untuk, Mak.”
“Enggar, apa kamu sudah minum air rebusan daun beluntas kemarin?”
“I-ya, sudah.”
Enggar menepi dari hadapan si mak. Ia tak mau kebohongannya itu tercium. Sampai saat ini daun-daun itu masih berada di dalam karung. Enggar tak menyentuhnya sama sekali.
“Enggar.....”
Suara mak kembali membuyarkan pikiran Enggar. Ia menatap wajah mak Tinah yang sudah keriput. Penuh hangat cinta yang tertuju pada tatap matanya.
“Kenapa Mak?”
“Jangan lupa diminum air daun beluntas itu!”
“Iya.”
“Mandilah sekarang!”
Enggar menjawab lesu. Ia sudah tahu bila bau keringatnya itu mengganggu hidung mak Tinah. Apalagi Enggar telah berpanas-panasan dengan terik sinar matahari di luar sana. Enggar menuju ke kamar mandi.
***
Wajah Elis dan Erna berkelibat dalam pikirnya. Dua waita yang seumuran dengannya. Enggar berpangku dagu, dengan pikiran yang melayang, memilah satu persatu tentang hidup dua wanita yang dikenalnya itu.
Elis, gadis desa yang sudah berumah tangga, punya dua anak kembar yang lucu. Suaminya berprofesi sebagai pelayar. Jarang sekali pulang, bahkan Enggar sendiri tak pernah tahu wajah suami Elis. Dulunya Enggar ingat betul, kehidupan Elis sebelum menikah. Serba kekurangan dan pas-pasan. Dia anak yatim piatu, sejak kecil diasuh pamannya.
Setelah menikah, kehidupan Elis berubah tiga ratus enam puluh derajat. Dulunya pas-pasan, kini Elis punya segalanya. Rumah besar, mobil mewah dan ditambah lagi wajahnya yang rutin dirawat di klinik kecantikan itu pun menjadikan rupanya makin cantik.
Lalu Erna, wanita yang dulu pernah satu bangku dengannya, meski hanya beberapa minggu. Karena ia harus pindah sekolah karena satu kasus. Kini hidup Erna sepertinya juga bahagia. Punya suami tampan dan anak yang menggemaskan.
Enggar merasa dua wanita yang ada dalam pikirannya itu merasa beruntung. Nasibnya sangat baik. Tak seperti dirinya. Di usia yang sudah lebih dari matang. Enggar tak punya apa-apa untuk di banggakan. Rumah yang ditempatinya pun jika dilihat tak begitu layak, dunia percintaan pun seakan ia tak mengenalnya, sampai sekarang tak pernah Enggar merasakan apa itu cinta. Parahnya lagi Enggar tak punya teman, tak ada yang betah berteman dengannya, kecuali mak Tinah. Hanya mak Tinahlah yang mengerti isi hati anaknya.
Tangan kanan Enggar terjatuh dari daguhnya. Menghancurkan lamunannya. Menarik napas panjang penuh dengan beban yang bersemayam. Dia inginkan kehidupan seperti dua temannya itu, tapi Enggar berkecil hati, seolah keinginannya itu teramat sulit untuk diwujudkannya.
Manik matanya pun basah. kembali membuka buku berwarna merah. Sebuah buku yang berisi tentang keluh kesahnya.
Tuhan....
Kenapa kehidupanku tak seperti teman-temanku
Jika Engkau Maha Adil
Kenapa tak memberikan keadilan itu padaku
Apa engkau ciptakan aku sebagai perawan tua?
Tak kasihankah engkau denganku
Aku sudah lelah
Menjalani semua garis hidup darimu
Jika aku boleh meminta
Lenyapkan saja aku dari muka bumi ini
Agar tak ada semburat kesedihan di wajah makku
Enggar menghentikan coretan di kertas putih, ia membuang pena itu ke lantai. Tak bisa membendung hatinya yang riuh. Manik mata itu pun berkata dalam tangis yang menganak sungai di aliran pipinya.