bc

Mempelai Kedaluwarsa

book_age16+
18
IKUTI
1K
BACA
time-travel
kickass heroine
drama
bxg
biker
regency
tricky
like
intro-logo
Uraian

Kontes Menulis Innovel II - The Girl Power

Menikah adalah impian semua orang. Namun waktu yang tak segera menghadirkan sosok untuk mengisi hati, menjadikan hari sepi dan tiada arti. Desas-desus tentang cemoohan tetangga pun seakan mengiringi.

“Kapan kamu akan menikah?”

Kata-kata teramat pedas dan menyakitkan. Bila saja jodoh itu bisa diciptakan sendiri, pastinya Enggar tak akan merasa sedih berkepanjangan. Namun tak hanya itu, bau badannya membuat semua laki-laki seolah tak bisa menjalani sebuah hubungan dengannya.

Lalu adakah kekuatan yang bisa membuat Enggar menaklukkan laki-laki untuk menjadi suaminya?

chap-preview
Pratinjau gratis
Part 1 - Jodohku kemana?
Ingin rasanya pergi ke pantai atau gunung yang tinggi. Mengeluarkan segala keluh kesah yang menyerbak sesak di d**a. Menjerit dengan keras, supaya tak ada satu pun sisa sedih yang tetap bersemayam. Aku tertegun dengan perkataan mak yang terus saja membuatku bosan. “Sampai kapan kamu mau jadi perawan terus, umurmu semakin lama semakin bertambah.” Ah, aku tak sanggup mengingatnya, tercabik hati. “Semua temanmu sudah menikah,bahkan sudah punya anak.” Kembali lagi seuntai kata yang membuatku kembali ingin meludahkan sisa-sisa ratap. Tapi aku tak segampang itu menyerah. Bapakku memberikan nama Enggar padaku, yang artinya bahagia. Aku akan buktikan pada semesta, meski saat ini dunia telah mempermainkanku, namun aku harus tetap bahagia. Jodoh tak ada yang tahu. Seperti halnya kematian. Tak ada satu pun yang bisa menentukan kapan dia akan datang. Misteri yang akan tetap menjadi misteri. Jika semua orang bilang aku perawan tua, perawan lapuk bahkan perawan tak laku, aku hanya bisa diam. “Sepertinya jodoh Enggar sudah mati.” “Mana ada yang mau dengan perempuan dengan bau badan begitu.” “Iya, apa lagi miskin, sepertinya tak ada yang bisa dibanggakan dari wanita itu” “Dia wanita yang sudah lebih dari kepala tiga, kalau gak laku nikah bagaimana, ya.” Aku hanya bisa terpaku dalam kediaman. Melewati sekumpulan tetangga yang tengah memilih sayuran. Aku sangat jelas mendengar celoteh itu. Guntur yang keras pun tak sekeras cibiran para tetanggaku. Ya, memang hidup itu kejam. Apa lagi jika untuk seorang wanita miskin dan bahkan banyak yang bilang aku bau badan, menjadikan sebuahkesulitan bagiku. Pelik sudah rasa dalam dadaku. *** Air hujan yang jatuh dari langit seperti air mataku yang jatuh membasahi pipiku. Malam ini Mak menggigil kedinginan. Aku menyelimutinya dengan selimut hangat, namun badannya kupegang terasa sangat panas. Kesekian kalinya Mak sakit begini. Aku bisa sangat hapal. Pasti ini karena pikiran  tabu yang mengganggunya. “Mak, Enggar buatkan jamu, ya.” “Tidak perlu, duduklah bersama Mak di sini.” Tak ada penolakan dariku. Aku pun duduk di samping mak. Sembari tanganku menjalar untuk memijit betisnya. Mak menatapku lenggang. Wajahnya yang sayu membuatku harus siap untuk menghadapi kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. “Nduk, kapan kamu menikah?” Aku sudah sangat hapal. Pasti kata-kata itu pertama keluar dari mulut Mak. Seperti biasa aku tak banyak bicara. Mengatupkan mulutku dan pandanganku tetap saja fokus pada kedua matanya yag sudah memerah dan basah. “Kamu sudah tiga puluh lima tahun, Mak merasa umur Mak tak lama lagi, apa Mak tak bisa melihatmu menikah?” Hatiku kembali tersayat. Kutimang-timang setiap kata yang mak ucapkan padaku, namun aku tetap mengunci mulutku. Beban ini pun hanya kupikul sendiri. Mak tak boleh berpikir terlalu dalam. Tentang jodoh yang kunanti, tentang jodoh yang dipersiapkan Tuhan. “Enggar, jodoh itu dicari, cobalah kamu membuka pertemanan yang banyak, siapa tahu dari situ jodohmu akan datang.” Andai kata mak tahu rasaku, bukan aku tak mau mencari teman. Tapi usaha itu selalu gagal kulakukan. Mereka tak ada yang betah dekat denganku, jangankan menjalin pertemanan. Bertemu atau berpapasan denganku saja seolah musibah bagi mereka. Aku menunduk, tapi aku tetap berusaha tegar, setegar karang yang diterjag ombak di lautan. Aku tak mau mak melihatku sedih. Cukup diriku dan Tuhanku yang tahu. Aku mengernyitkan dahi sembari kuhadirkan senyum simpul di hadapan mak. “Mak, tenang saja, jodoh itu sudah diatur, sabar saja, Mak.” “Tapi mau sampai kapan dirimu menjalani kehidupan sendiri tanpa pasangan?!” “Sudahlah, Mak. Jangan berpikir keras untuk jodohku. Mak istirahat saja.” “Enggar....” “Mak, Enggar akan berusaha sekuat tenaga untuk kebahagiaan, Mak.” Aku kembali membenarkan posisi selimut Mak. Kukecup keningnya. Lalu aku pun beranjak untuk keluar. Menutup pintu dengan pelan. Aku segera menuju kamarku. Kutumpahkan segala penat dan keriuhan jiwaku. Ingin rasanya aku menjerit keras, di antara ribuan air hujan yang turun membasahi bumi. Aku tak pernah meminta, agar air mataku hadir. Aku sangat ingin menyembunyikannya. Aku harus tegar, akau harus bahagia seperti almarhum bapakku yang memberikan nama Enggar padaku. Aku tak boleh terus mengeluh dan menyerah dengan kondisi yang mencabik diriku. Jodoh... aku tak pernah melarangmu untuk hadir Jodoh...aku juga tak pernah mengutukmu untuk bersembunyi selama ini Jodoh... aku ingin bertemu Sudah lama aku beharap tentang kehadiranmu Setiap malam, aku buka jendela kamarku karena merindukanmu Setiap pagi, aku buka pintu rumahku karena menunggu kedatangmu Jodoh...kamu dimana? Jodoh... selama ini kah kamu kesasar tak tahu jalan menuju rumahku Lekaslah datang Ada hati yang ingin dibahagiakan Ada hati yang ingin dimiliki Ada hati yang selalu menyebut namamu Kututup buku bergaris merah itu. Sembari air mata yang terus saja menghiasi. Kuusap dengan cepat. Aku harus meyakinkan diriku sendiri. Jodohku tak lama, jodohku akan segera hadir dalam hidupku. Ini hanya masalah waktu. Namun, hati kecilku seakan meronta. Melihat kondisi mak yang semakin tak bisa mengatur kesehatannya sendiri. Aku bisa memprediski, bila mak memkikirkan jodohku terlalu keras pasti ia akan jatuh sakit. Aku seperti menyiksa makku sendiri, dengan segala pikiran yang tak pernah kuinginkan. Mak, satu-satunya wanita yang kini kupunya. Tak ada siapa-siapa lagi selain dirinya. Bapakku telah meninggalkan kami, saat binatang buas di hutan mencengkeramnya. Hanya kaos putih bersimbah darah yang menjadi kenangan terakhir, yang kami kuburkan tanpa jasadnya. Aku tak mau kehilangan Mak. Aku harus mencari jodohku, tapi aku pun tak sanggup pergi jauh dari Makku. Aku meyakini, laki-laki seisi kampung ini tak ada satu pun yang tertarik padaku. Lalu apa aku harus tetap menunggu dan berdiam diri di tempat ini. Ah, pikiranku terasa ingin pecah. Semua terasa sangat menyiksaku. Lembaran memoriku berputar. Saat usia masih kepala dua. Aku tak pernah sebingung ini. Aku percaya jodohku pasti akan tiba. Lambat laun, setelah angka tiga puluh menjadi patokan usiaku, Mak sering mengingatkanku. “Cepat cari jodoh.” Itu kata-kata yang selalu diucapkan padaku setiap malam, saat aku akan melepas malamku. Sekarang, aku merasa ini adalah masalah besar di hidupku. Betapa tidak, mak harus kembali tak punya daya, terbaring lemah. Aku tahu, itu hanya karena memikirkanku yang tak kunjung menikah. Aku melepas napasku sekencang mungkin. Sembari menikmati rintihan hujan yang masih saja hadir menemani gundah laraku. Kakiku melangkah bergeser. Kulihat wajahku di cermin. Padanya, dia seakan berbicara padaku, terlihat tanda penuaan itu menghantamku.  Mata panda yang semakin menghitam, bintik-bintik seperti bintang pun terlihat jelas, meski dari jauh pasti samar, aku sudah semakin tua. Pipiku sudah tak kenyal, bahkan terasa sangat kering saat dipegang. Cahaya mataku yang seakan tak sejernih dulu. Tiga puluh lima tahun, jerit mengiris saat aku pun membenarkan bahwa aku sudah masuk ke tahap perawan tua. Sampai detik ini aku pun masih mengiba, jodohku kemana?.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
115.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
202.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook