Om Suami Gak Peka

1180 Kata
"Menurut om suami Caca gimana?" Saat ini mereka berada di kamar sembari melakukan aktivitas masing-masing, Bara yang bersiap-siap memakai kemeja kantornya, sedangkan Caca bermain game POU di atas kasur dengan tenang. "Gimana apanya?" tanya Bara tak mengerti, kepalanya menoleh sekilas, namun tetap memasangkan dasi hitam pada kerah lehernya. Bara cukup perfeksionis, dia selalu ingin menjadi sempurna, mau itu dari segi otak atau penampilan sekalipun harus perfect. Bahkan fisikpun dia jaga kebugarannya. Itu sebabnya walaupun pekerja kantoran, Bara tetap mempunyai badan ideal idaman para wanita. Sepatutnya Caca bersyukur karena memilikinya kan? Jika wanita lain hanya bisa mengagumi, Caca lebih unggul karena sudah memiliki. "Ya gitu om." "Gitu apanya, Ca?" Bingung Bara. "Menurut om suami aja, Caca itu orangnya kayak gimana?" tanya Caca sekali lagi, kali ini dia fokus pada suami yang umurnya berbeda jauh dengannya. Pria itu tampak dewasa, sedangkan Caca bisa dikatakan masih remaja karena masih duduk dibangku kuliah. "Saya gak bisa jawab karena saya gak tau konteks pertanyaan kamu itu mau dibawa kemana. Kamu tanya pendapat saya soal apanya? Fisik, sikap atau otak?" tanya Bara memastikan setelah dasi selesai dipasang, kali ini dia fokus pada rambut yang terlihat berantakan. Tak lupa memberikan parfum dengan aroma maskulin sebagai sentuhan akhir. "Semuanya." posisi Caca kini berpindah tempat, jika tadi dia duduk di atas kasur sembari mengayun-ngayunkan kaki, kali ini dia duduk di atas sofa di samping lemari tempat Bara bercermin. "Kamu gak jelek, lumayanlah." ucap Bara, setelah meneliti penampilan Caca dari atas sampai bawah. Walaupun tubuh Caca jauh dari kata ideal, namun wajah Caca berhasil sebagai penolong. Sebenarnya Bara juga tak pernah tau bentuk tubuh istri mungilnya itu. Tapi dengan melihat saja, harusnya dia sudah tau kan? Caca itu pendek, terlihat kurus juga, artinya dia tak punya lekuk tubuh yang sempurna. "Jadi Caca cantik?" Senyum Caca merekah, bibir yang dipolesi liptint itu tertarik membentuk senyum manis. Senyum polos yang kembali menyadarkan Bara betapa jauhnya umur mereka. Harusnya Caca menjadi adiknya, atau mungkin anak, bukan istri. Entah apa yang difikirkan orang tua mereka, Caca masih remaja tapi malah dijodohkan dengan pria dewasa berumur 34 tahun. "Iya, kamu gak jelek." "Artinya cantik kan?" tanya Caca sekali lagi, kedua matanya berbinar menatap Bara dengan wajah berseri dan pipi merona sempurna. Khas remaja yang sedang salah tingkah karena ucapan manis kekasih. "Iya, ca." "Udah Caca duga." Kembali Caca menatap Bara, kali ini pria itu memasukkan laptop pada tas kerja. Ponsel ke dalam saku celana, kemudian memakai kaos kaki dan sepatu kantor berwarna hitam. Hari ini Bara memakai jas hitam dan celana hitam. Hanya kemeja saja yang berwarna putih. "Kalau sikap Caca gimana? Baik?" "Baik." jawab Bara ala kadarnya. Mungkin hanya sedikit kekanakan dan keras kepala, tapi Caca tergolong perempuan yang baik. Baik karena tak pernah ke diskotik, tak pernah mengkonsumsi minuman keras, dan tak pernah berbuat kurang ajar. "Alhamdulillah." Caca mengucap syukur. Setelah itu Caca tak bertanya lebih lanjut, hanya keheningan yang membuat Bara penasaran kenapa remaja di sampingnya tak lagi membuka suara. "Kalau masalah otak, kamu gak mau tanya sama saya?" Bara mencoba bertanya, melanjutkan pembicaraan agar suasana tak terlalu canggung. Caca menggeleng pelan. "Enggak deh, kata Papa otak Caca gak bisa diselamatkan. Caca gak bisa jadi orang pintar, katanya Caca emang cocoknya jadi istri om suami aja. Jadi kalau udah lulus cita-cita Caca jadi ibu rumah tangga." "Kasian banget." "Om suami gak usah kasihanin Caca, lagian Caca juga suka tinggal di rumah. Kalau lulus kuliah Caca bisa makan, tidur sama nonton aja tiap hari. Bahagianya." Bara berdehem pelan. "Saya bukan kasihan sama kamu, Ca. Tapi saya kasian sama anak kita." Istri adalah madrasah pertama untuk anaknya, Bara benar-benar prihatin jika Caca hanya mengajarkan bermain boneka babi pada anak mereka. "Kenapa kasian? Caca kan cantik, anaknya nanti pasti cantik. Kalau laki-laki pasti ganteng kayak om suami." ujar Caca sedikit membanggakan diri dengan rambut yang sengaja dikibaskan. "Percuma cantik kalau otak kosong." "Om suami nyindir Caca?" Wajah Caca memerah, alis ditekuk dengan bibir mengerucut. "Otak Caca gak kosong tau, emang Caca kayak dompet Rio yang selalu kosong? Enggak lah." "Saya gak sebut nama loh, Ca." "Tapi tadi..." "Kamu aja yang baperan." "Ah, Caca berangkat kuliah diantar Mang supri aja. Caca gak mau tungguin om suami." Setelah turun dari sofa, Caca sengaja menghentak-hentakkan kaki. Hingga terdengar bunyi sepatu yang bertabrakan pada lantai saat dia jalan. "Oh oke." Bara mengangguk seadanya. "Ih kesel banget, harusnya om tahan Caca. Bujuk Caca supaya gak marah. Om suami gak peka banget, gak sama kayak suaminya tante Lilis." Caca urung keluar kamar, langkahnya terhenti tepat di depan pintu kayu berwarna coklat. "Beda orang beda sifat, Ca." Caca semakin kesal, tak ingin melanjutkan perdebatan remaja 19 tahun itu akhirnya memilih menyambar tasnya, keluar dari kamar dengan perasaan dongkol. "Kesel deh." gerutunya. *** Tiga sekawan yang salah satunya adalah pria saat ini sibuk mendengarkan kedua teman perempuannya berbicara. "Nanti kalau Amel nikah jangan kayak om suaminya Caca ya. Kayak suami tante Lilis aja." bisik Caca, tak ingin ada seorang pun yang tau tentang statusnya. "Justru om Bara ada dilist suami idaman gue, Ca. Kalau gue gak dapet Jeno, jaehyung dan Jaemin. Setidaknya kayak om Bara yang udah kaya tujuh turunan." "Jangan Amel, Om suami Caca gak peka. Gak romantis sama... pokoknya banyak enggaknya deh. Mending kayak suaminya tante Lilis, baik banget." Caca mencoba menasehati, memberi pengertian tentang betapa tidak mengenakkannya menjadi istri pria dewasa itu. Walaupun tak bisa menampik kalau sebenarnya Caca juga agak senang, wajah tampan karena punya darah blasteran berhasil membuat Caca bersabar dengan kondisinya. "Yah, masalahnya gue tuh cari suami yang enak buat diliat tiap hari, bisa dipamerin sama yang lain, yang paling penting kalau beli apa-apa gak perlu nyicil karena bisa bayarin. Tapi kalau yang terakhir bisa dibicarakan lagi. Pokoknya yang paling penting ganteng. Uang bisa dicari, tapi wajah ganteng harus dari lahir untuk memperbaiki keturunan." "Tapi suaminya tante Lilis baik kok." "Emang tante Lilis tante Lilis itu siapa sih, Ca. Gue kenal gak?" tanya Rio, ikut menimpali kedua teman karibnya ini. "Tetangga baru Caca, orangnya juga baik banget. Baru pindah dua hari yang lalu." "Pantes gue gak tau." monolog Rio, mengingat-ngingat tak pernah sekalipun melihat sosok yang dimaksud padahal dia sesekali ke rumah Caca untuk menghabiskan isi kulkas. "Pokoknya kalau Amel nikah nanti jangan kayak om suami Caca ya?" Sekali lagi Caca menyerukan topik yang dibahas. Harus mencari suami yang peka dan pengertian agar hati senang. "Liat nanti aja, Ca. siapa tau gue juga dapatnya Jeno versi ustadz, atau kayak jaehyung, jaemin versi halal. Kalau beneran dapat kayak mereka nih, gak akan gue biarin suami gue kerja, nanti gua yang cari nafkah. Mereka masak aja di rumah." "Lo yakin gak biarin suami lo kerja kalau kayak mereka?" tanya Rio penasaran. Sedikit tertarik mendengar ucapan Amel yang membangkitkan jiwa pemalasnya. "Iya dong, gue yang akan nafkahin hidupnya." bangga Amel, menepuk bahu beberap kali dengan senyum merekah. Bayangan menjadi istri idol dari asal korea itu membuat Amel terkikik beberapa kali. "Walaupun bukan mereka asli, tapi kalau mirip, lo tetep mau?" tanya Rio sekali lagi. "Gak ada asli kw pun jadi." Rio manggut-manggut. "Emang kenapa Rio?" tanya Caca. "Gue mau operasi plastik supaya Amel nikahin gue dan biayain hidup gue." Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN