Perkara Malam Pertama

1745 Kata
Pria gagah dengan wajah tampan rupawan tak henti-hentinya memberenggut saat berjalan menuju kamar mandi. Kepalanya menunduk, menatap gadis mungil yang tak ingin melepaskan pegangan tangannya. Ucapan lembut sudah dilontarkan, sentakan kesal juga dilakukan, namun karena kelewat batu. Gadis itu sama sekali tak mengindahkan ucapan Bara yang terganggu akan tingkah lakunya. "Lepas, Ca." "Enggak mau." Andai Bara tak mengingat statusnya sebagai kepala keluarga yang harus mengayomi istri. Sudah dari tadi dia menendang istri keras kepalanya ini dari jendela kamar menuju kebun belakang rumah. Untung saja akal sehat masih bersama, bisikan setan akhirnya bisa dia tahan walaupun wajah tegasnya sudah berkerut karena kesal setengah mati. "Saya gak bisa jalan leluasa kalau kamu pegangin saya terus, Ca. Lagipula saya gak kemana-mana, saya juga udah janji temenin kamu jalan-jalan hari ini." "Om malu Caca pegangin?" "Bukan gitu---" ucapan Bara terpotong oleh celetukan yang tak mau mengalah. "Terus apa? Om suami gak mau Caca pegangin, artinya om suami malu deket-deket sama Caca. Padahal ini juga di rumah, gak ada yang liatin." Wajah gadis 19 tahun itu menekuk, Bara kembali menghela nafas kasar untuk kesekian kali. "Saya bukannya gak mau kamu pegangin, Ca. Tapi kalau yang kamu pegangin kaki saya, gelendotan di sana saya susah geraknya." Bara mulai frustasi, semoga diumurnya yang sudah 34 tahun dia bisa bersabar dan memaklumi tingkah ajaib istrinya. Jangan sampai pembuluh darahnya pecah karena tak kuat melihat kelakuan Caca yang diluar nalar. "Bangun, Ca. Saya mau pipis. Kamu mau mulutmu kena air mancur kalau di bawa saya terus?" tanya Bara dengan kesabaran yang mulai menipis, wajah memerah dengan urat leher tercetak jelas. "Iya deh." "Udah sana, keluar dulu. Saya mau pipis." Bara urung menurunkan resleting celana melihat sang istri malah bersandar pada tembok menunggu apa yang dia lakukan. "Caca penasaran pengen liatin om pipis." "Caca!!" Bara kembali frustasi. "Om suami kenapa sih. Kita kan udah suami istri, jadi gak apa-apa Caca temenin om pipis. Caca juga cuma liatin, gak pegang-pegang kok." Penjelasan itu membuat Bara bergidik ngeri. Seumur-umur tak ada yang pernah melihatnya mengeluarkan pancuran air di dalam kamar mandi. Bahkan jika mereka suami istri sekalipun Bara tentu malu. "Masalahnya Joni saya introvert, kalau kamu liatin saya, pipisnya nanti gak keluar-keluar. Kamu keluar dulu. Jangan keras kepala, saya batalin temenin kamu jalan-jalan kalau gak mau keluar juga." "Iya-iya, om gak asik. Sukanya ngancem-ngancem." Caca menghentak-hentakkan kakinya. Walaupun cukup dongkol, dia tetap mengikuti perintah itu. 'Sabar Bara, sabar. Ingat dia masih anak-anak. Belum lulus kuliah.' Batin Bara dramatis. Hampir putus asa. *** "Caca mau ini, Om." Sepatu putih bergambar boneka membuat Caca tertarik. Bukan cuma itu, bahkan bando pink dan juga kalung couple dengan liontin hati dia ambil begitu saja. Menjadi istri pria kaya yang tak habis tujuh turunan, tujuh tanjakan dan tujuh belokan. Caca di wanti-wanti oleh kedua orang tua agar tak sungkan menghabiskan uang suami agar memudahkan pihak bank menampung kekayaan dengan jumlah fantastis. "Gak apa-apa kan kalau Caca belinya banyak?" Caca kembali memastikan setelah mereka masuk ke dalam mobil. Walaupun tau jawaban apa yang keluar, Caca tetap bertanya sebagai formalitas. "Gak apa-apa, hitung-hitung kamu bantuin saya habisin duit." Bara terlahir sebagai anak konglomerat, belum lagi kesuksesan mengikuti jejak orang tua membuatnya tak pernah merasakan yang namanya kekurangan. Mendengar suara token listrik yang akan habis dia belum pernah, memakai baju yang sama kedua kali belum pernah, mengambil kembalian saat parkir belum pernah, bahkan makan dipinggiran jalan pun dia belum pernah. Bukan Bara yang mencari uang, tapi uanglah yang mencarinya. Mungkin itulah perumpamaan yang cocok untuknya. "Benar juga, kata Daddy gak apa-apa kalau Caca mintanya banyak-banyak. Om suami kan orang kaya." Senyum Caca merekah. "Sekarang kamu mau kemana lagi? Mumpung saya libur hari ini." "Kemana ya? Langsung pulang aja deh, Caca mau tidur siang." "Oke." *** "Caca tidur, Mom. Kalau gitu Bara tutup teleponnya dulu." Panggilan yang terhubung kemudian diputus, setelahnya Bara kembali melanjutkan pekerjaan yang sengaja ditunda karena menemani istrinya jalan-jalan. Bisa dikatakan Bara adalah pria yang gila kerja, tak ada yang membuatnya tertarik selain bekerja dan menghasilkan uang. Walaupun sudah kaya sejak lahir, itu tak membuat Bara menjadi pria pemalas. "Om suami!" panggil Caca tiba-tiba, kaki yang dibaluti sendal berbulu berjalan ke arah Bara membawa sebuah boneka Babi berwarna merah muda. "Udah tidurnya?" tanya Bara basa-basi, pandangannya masih menatap laptop yang sudah menyala menampilkan pesan Email yang baru dikirimkan sekretarisnya. "Udah, Caca laper." "Kalau laper turun makan, di bawah ada bibi. Kamu minta tolong sama bibi." Saat jalan-jalan mereka memang lupa untuk makan di restoran. Bara tak terlalu memperhatikan isi perut, bahkan dia bisa tak makan selama setengah hari karena terlena dengan perkejaan yang digeluti. "Caca mau ditemenin makan." Bara menghentikan kegiatannya beberapa saat. "Di bawa ada bibi, nanti bibi temenin kamu makan. Saya banyak kerjaan, gak punya waktu temenin kamu." "Enggak mau, Caca mau ditemenin sama om suami makan." Nampaknya Caca juga tak mau kalah, keinginan yang selalu dikabulkan orangtua sebelum menikah membuat Caca memiliki sifat keras kepala. "Saya sibuk, Ca." "Tadi katanya libur." "Maunya gitu, tapi ternyata libur gak semudah yang saya bayangkan. Saya ternyata gak bisa jadi pengangguran walaupun cuma sehari. Banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan." Bara benar-benar suka menjalani pekerjaannya ini. Jadi walapun lelah, dia tetap senang. Menjadi pebisnis sudah menjadi cita-citanya sejak umur lima tahun, disaat anak-anak yang seusianya bermain petak umpet, Bara justru mengekori ayahnya ke kantor karena penasaran dengan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang untuk membeli mainan. "Tapi Caca mau ditemenin makan sama om suami. Caca laper..." Bara tau Caca anak yang manja, segala sesuatu yang dia inginkan harus dipenuhi. Jadi tak heran jika sikap memaksa akan keluar, untung saja Bara juga sudah terbiasa. Sudah terhitung 1 minggu mereka menjalani kehidupan sebagai pasangan suami istri, dan hampir setiap harinya Bara direcoki oleh keinginan Caca yang tak boleh ditolak. Karena Bara kadang malas berdebat, akhirnya dia mengalah agar istrinya istrinya senang. "Yaudah tunggu, saya selesaiin kerjaan saya dulu baru temenin kamu makan." "Oke." Pekerjaan tak bisa ditinggalkan, banyak orang yang bertahan hidup pada perusahaannya. Sebagai pemimpin yang baik, Bara tentunya tak boleh lalai. Bahkan setelah ini dia juga ingin membuka cabang dibeberapa kota lagi. Keinginannya itu karena mau membantu membuka lowongan pekerjaan. Walaupun cukup ketat dalam memilih karyawan karena menginginkan orang yang kompoten, namun Bara tak sejahat itu sampai membuat kebijakan menguasai lima elemen; bumi, air, tanah, udara dan api. Sebenarnya bahkan orang yang baru lulus kuliah pun ada peluang diterima. Bara tak membuat kebijakan harus mempunyai pengalaman kerja. Namun disamping itu juga, ada beberapa faktor yang akan dinilai sebelum menerima karyawan. Setidaknya Bara membuka lowongan pekerjaan dengan cukup manusiawi. "Om." "Hm." "Kita kan udah suami istri." Alis Bara terangkat. "Terus?" Untuk beberapa saat dia mencoba memikirkan maksud dan tujuan istri kecilnya mengatakan hubungan mereka. "Kenapa kita gak pernah malam pertama?" "Kamu mabuk ya, Ca? Malamnya setelah kita sah jadi suami istri itu namanya malam pertama. Bukan malam kedua." "Bukan gitu, maksud Caca tuh kenapa om gak pegang-pegang Caca. Padahal Caca udah siap kok, Caca udah besar." Bara menulikan pendengarannya. Entah angin apa yang menyebabkan Caca berkata demikian padahal ini sudah berlalu sejak satu minggu lalu. Harusnya ini cukup terlambat, bahkan Bara tak pernah menginginkan berhubungan badan dengan anak dibawah umur. Setidaknya untuk saat ini, entah kalau nanti. "Caca gak apa-apa kok kalau om suami ituin Caca. Kan udah sah." penjelasan dari Caca membuat tubuh Bara panas dingin. Bulu kuduknya merinding, antara ikut bergejolak ataukah bergidik ngeri jika dia benar-benar melakukan hal itu pada tubuh yang bisa dikatakan tidak berkembang karena terlihat pendek. Bara meneguk ludahnya seketika. "Caca gak cantik ya om?" 'Enggak, kamu cantik kok kayak Selena Gomez.' Bara hanya mampu menjawab dalam hati, dia gengsi mengutarakan secara langsung. Istrinya memang masih enak dipandang, disamping kekurangannya karena tidak mempunyai badan bohai seperti gitar spanyol. Wajah Caca terlihat cantik bak boneka porselen yang indah dan memukau. "Jadi Caca gak cantik ya, Om? Caca gak seksi? Gak menggoda juga?" pertanyaan beruntun itu membuat Bara berdehem pelan, entah bagaimana memutus pembicaraan absurd ini. Bara takut lepas kendali padahal kondisinya belum memungkinkan untuk melakukan hubungan badan. "Bukan, Ca." "Bukan apa?" Bara berdehem pelan. "Kamu cantik." "Terus kenapa om suami gak mau pegang-pegang Caca? Cuma Caca yang pegang-pegang om suami?" tanya Caca sekali lagi, kepalanya mendongak menatap Bara yang terlihat canggung bahkan tak fokus pada pekerjaan. "Takutnya saya keenakan kalau pegang-pegang kamu, Ca." "Gak apa-apa, kan udah suami istri." "Kamu gak ngerti." "Caca ngerti, om suami gak suka Caca kan? Om suami juga gak mau Caca pegang-pegang..." caca menyodorkan tangannya untuk menyentuh sosok di sampingnya. "Nih Caca coba." "Caca!!!" Bara menepis tangan Caca. "Tuh kan. Om gak mau Caca pegang-pegang. Sama om Bayu aja gak marah, giliran Caca yang pegang om suami marah-marah. Ini gak adil!!" Wajah Caca memerah, bibirnya ditekuk dengan sorot mata kesal. Tangan yang terkena tepisan dia lipat ke depan. Bara memijat pelipis pelan. "Kamu megangnya area terlarang, Ca. Lagian kapan Bayu pernah pegang Joni saya? Bayu pegang saya kalau saya nyuruh pijitin pundak doang." Nafas Bara memburu, mencoba mengendalikan diri setelah menyingkirkan tangan Caca yang memegang gundukan ditengah-tengah kakinya. Bisa dipastikan itu sudah berdiri, terbukti rasa sesak tiba-tiba hadir karena ruang yang tiba-tiba menyempit. "Sama aja, om suami gak marah kalau om Bayu yang pegang-pegang. Jangan-jangan om suami sukanya sama om Bayu lagi. Makanya om suami gak mau Caca pegang-pegang." selidik Caca. Pemikiran macam apa itu? "Ngawur kamu." "Om suami suka cowok?" "Heh, jangan ngelantur, Ca." "Atau jangan-jangan om suami cowok jadi-jadian?" Caca bergidik ngeri, sedikit menjauh dari posisi Bara. Pandangannya memindah wajah tegas yang membuatnya terpana saat pertama kali bertemu untuk membahas perjodohan. "Ngigo kamu. Masa saya yang gagah berani ini kamu bilang cewek. Gak liat kamu sama tubuh seksi menggoda iman ini? Otot-otot tangan yang menyembul menandakan saya cowok tulen!" tanya Bara, memamerkan tangan berototnya yang terbentuk karena rajin berolahraga. Mendengar itu Caca kembali memepetkan tubuhnya pada Bara. "Jadi om suami cowok kan? Bukan orang jadi-jadian?" "Ya iyalah." "Terus kenapa om suami gak mau sama Caca. Kata Daddy Caca cantik kok. Mommy juga bilang gitu. Papa sama Mama juga bilang Caca cantik." Demi negara tercinta yang terlepas dari penjajahan, Bara bukannya tak menyukai Caca yang paripurna ini. Hanya saja dia gundah gulana mengatakan yang sebenarnya. Dia bingung harus memulai dari mana sebuah fakta yang berusaha disembunyikan rapat-rapat. Bahkan satu orang pun tak mengetahui rahasianya kecuali sang pencipta tentunya. "Kenapa Om suami gak mau malam pertama sama Caca?" tanya Caca menuntut dengan wajah serius. 'Maaf, Ca. Saya yang tampan ini belum disunat.' kalimat itu hanya mampu diutarakan Bara dalam hati, dia terlalu malu. Apa yang orang lain fikirkan jika pria berusia 34 tahun belum disunat? Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN