Part 4

2522 Kata
Malam hari, sekitar pukul setengah delapan. Keluarga Lambert sudah bersiap-siap hendak pergi ke rumah sahabat mereka. Lira sedari tadi terus tersenyum tidak jelas membuat Elgan heran melihat tingkah mamanya itu. Lira sudah cantik dengan dress berwarna baby blue yang melekat di tubuhnya yang masih terlihat indah. Lira memang masih cantik di saat umurnya yang sudah hampir memasuki usia 50 an. Tidak heran, ia memiliki putra yang sangat tampan seperti Elgan Gaulia Lambert. "Mama kenapa? Kelihatannya bahagia sekali," timpal Elgan mengalihkan perhatian mamanya. "Iya. Mama sedang bahagia. Sebentar lagi Mama akan bertemu dengan calon memantu Mama," jawab Lira masih dengan senyumannya, membuat Elgan langsung mengalihkan pandangannya mendengar jawaban tersebut. Tin, tin ... Suara klakson mobil terdengar dari garasi. Bima yang sedang memanaskan mesin mobil membunyikan klakson saat istri dan anaknya tidak kunjung keluar. "Ayo, Elgan. Papamu sudah heboh sendiri di depan sana." Lira mengajak Elgan yang terlihat ogah-ogahan. "Ayo!" Ulang Lira dengan nada naik satu oktaf. Elgan mendengus. Ia berdiri dan berjalan dengan malas mengikuti langkah mamanya dengan mulut yang terus mengoceh tanpa suara. "Sudah siap?"tanya Bima saat melihat istrinya. "Sudah, Pa." Lira memasuki mobil. "Elgan mana, Ma?" tanya Bima lagi saat tidak mendapati keberadaan putranya. "Masih di dalam, tadi katanya ada yang ketinggalan." Lira menatap suaminya. Tin, tin... Suara klakson kembali berbunyi. "Iya, Pa, iya. Berisik sekali!." Elgan berlari kecil menghampiri mobil papanya. "Lama sekali kamu!" Sergah Bima setelah Elgan memasuki mobil. Mobil yang dikendarai keluarga Lambert itu menjauh meninggalkan pelataran mansion. Sekitar dua puluh lima menit kemudian mobil itu terlihat sedikit melambat dan berbelok memasuki sebuah mansion yang memiliki pelataran yang cukup luas. "Mereka sekarang tinggal di sini ya, Pa?" tanya Lira sembari melepas sealtbelt ditubuhnya. Ia sudah sangat lama tidak mengunjungi tempat tinggal sahabat lamanya itu. Terakhir kali ia bertamu ke rumah Elena dan Xavier saat sahabatnya itu masih tinggal di Amsterdam dan itu sekitar tiga tahun yang lalu. Juga, selama ini mereka sangat jarang berkomunikasi. Mereka mengetahui kabar satu sama lain dari suami mereka yang memang lebih sering bertemu dikarenakan kerjasama antar perusahaan. "Iya, Ma. Kemarin Papa sempat ke sini menemui Xavier tapi hanya sebentar." balas Bima sembari melepas sealtbeltnya. Mereka keluar dari mobil. Pandangan Lira menyusuri pekarangan mansion sahabatnya itu. Perasaan senangnya kali ini bertambah dua kali lipat. Ia tidak sabar ingin bertemu dan menghambur ke pelukan sahabatnya itu. "Elgan, kamu nanti jika bertemu dengan calon mertua harus sopan. Buang jauh-jauh sifat sombong dan gaya cool kamu itu." Lira mengingatkan dengan pandangan fokus ke depan. Tidak ada jawaban. "Kamu dengar kata Mama, kan?" Masih tidak ada jawaban. Ingin rasanya Lira memukul kepala putra pembangkang nya itu. Lira membalikkan badan dan mendapati putranya yang ternyata masih duduk dengan santainya di dalam mobil. "ELGAN!" bentak Lira. "Iya, Ma! Elgan di sini," jawab Elgan sambil buru-buru keluar dari mobil. "Ma, Papa ke sana duluan ya," pamit Bima dan diangguki oleh Lira. "Ada apa, Ma?" tanya Elgan saat sudah berdiri dihadapan mamanya. "Kamu ini!" bentak Lira sambil mendorong kening Elgan dengan telunjuknya. "Ma ...." Rengek Elgan setelah ia sedikit terjungkal ke belakang. "Yang sopan kamu!" tegas Lira menatap Elgan tajam. "Iya, Ma, iya," balas Elgan, seadanya. "Ayo!" Lira mengayunkan kakinya menghampiri suami dan sahabatnya yang sudah berdiri di depan pintu. "Elena!" teriak Lira sambil berlari menuju Elena yang berdiri di samping suaminya. "Lira!" Suara Elena tidak kalah keras. "I miss you so much," ujar Lira sembari memeluk Elena erat. "I miss you too," balas Elena memeluk Lira tidak kalah erat. "How are you?" Elena mengurai pelukannya. "I'm fine," balas Lira sambil tersenyum. "You?" tanya Lira, balik. "Yeah, fine," jawab Elena sembari memperlihatkan kondisinya sekarang. "Ini putramu?" tanya Elena sambil menatap Elgan. "Iya, Lena. Ini putraku, Elgan" jawab Lira sambil sedikit menyenggol lengan Elgan. "Malam, Tante. Saya Elgan," tukas Elgan sembari menyalam Elena. Keningnya menyentuh punggung tangan Elena. "Halo, Om," sapanya juga pada Xavier. "Wah, kamu sudah tumbuh besar ya sekarang, sama seperti anak tante," imbuh Elena dengan senyum manisnya. "Kamu sangat tampan," sambung wanita itu. Elgan yang dipuji hanya menampakkan senyum tipis yang hampir tidak terlihat. Pujian, sudah biasa baginya. "Ayo, masuk. Kita bicara di dalam saja," ajak Xavier sembari mempersilahkan ketiga tamunya untuk masuk. Elgan berjalan paling belakang mengikuti langkah si pemilik rumah. Baru saja beberapa menit ia tiba di kediaman sabahat mamanya itu, namun rasa bosan sudah memenuhi perasaannya.. Membosankan, gerutunya dalam hati. Saat memasuki mansion, tatapannya sesekali memperhatikan suasana rumah itu. Sangat sunyi, pikirnya. Dalam hati Elgan bertanya-tanya apakah anak sahabat mamanya itu tinggal disini atau tidak. Jika iya, kenapa tidak kelihatan. Dan jika ada di sini, ia lebih memilih mengobrol dengan anak sahabat mamanya itu daripada menjadi nyamuk mendengar obrolan orangtua yang akan membuatnya bosan. Ah, tidak. Ia akan memilih pulang. Ya, itu lebih baik daripada ia harus bertatap muka dengan gadis yang akan menjadi calonnya. "Ayo, silahkan duduk. Jangan sungkan, anggap rumah sendiri saja." Elena mempersilahkan calon besan dan calon menantunya duduk. "Kau bisa saja, Len." Lira terkekeh sembari menduduki kursi di samping suaminya. Begitupun dengan Elena, ia juga ikut duduk di samping suaminya yang berhadapan dengan Bima. Mereka mengobrol ringan menanyakan dan menceritakan hal-hal yang meraka alami selama tiga tahun belakangan ini. Elgan hanya menjadi pendengar di antara mereka berlima. Ia melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. "Huft." Elgan menghembuskan napas bosan. Masih dua puluh menit, kapan semua ini akan berakhir? batinnya. Sesekali Elgan melihat mamanya dan wanita yang dipanggilnya tante itu tertawa keras. Elgan tidak pernah melihat mamanya sedekat ini dengan temannya yang lain. Apa mereka sangat dekat ? tanyanya lagi dalam hati. "Oiya, ngomong-ngomong, putrimu dimana, Len? Kenapa dari tadi tidak kelihatan," tanya Lira sambil menatap sahabatnya. Saat ini, mereka sedang berada di dapur untuk mengambil makanan yang akan dihidangkan. "Cia, dia sedang di rumah temanya. Tadi aku sudah menelponnya dan menyuruhnya pulang. Sebentar lagi mungkin dia akan sampai," sahut Elena sebelum berlalu menuju ruang makan. Semua menu makan malam sudah selesai dihidangkan. Namun, Cia tidak kunjung pulang sehingga mereka belum memulai makan malam. "Cia dimana, Pa? Kenapa belum pulang juga? Coba Papa telepon lagi." Elena merasa khawatir. Sudah satu jam dari ia menelpon Cia tadi, tapi sampai saat ini putrinya itu tidak juga terlihat memasuki mansion. "Tidak diangkat, Ma." Beritahu Xavier setelah mencoba menghubungi putrinya. "Mungkin sebentar lagi sampai," sambung pria itu. "Dimana dia? Kenapa lama sekali. Anak gadis sungguh bukan anak rumahan," gerutu Elena saat rasa khawatir semakin menghampiri perasaannya. "Sudah lah, Len. Dulu kita juga seperti itu. Namanya juga anak muda." Lira berusaha menenangkan Elena. "Assalamu'alaikum." Suara Cia yang mengucap salam terdengar. "Mama!" Panggil Cia dengan teriakannya. "Mama!" Panggilnya lagi lebih keras. Elena yang mendengar suara putrinya langsung menghampiri Cia yang berdiri di depan pintu utama "Anak ini!" Kesal Elena sambil berjalan. "Aa!" Cia memekik kuat saat merasa bahunya dipukul cukup keras. "Mama!" Sergah gadis itu pada Elena yang menatapnya tajam. "Kamu, kenapa kotor begini?" tanya Elena saat mendapati pakaian putrinya yang berlumpur di beberapa sisi. "Kena cipratan lumpur, Ma," jelas Cia, cemberut Baju yang dikenakannya saat ini memang sudah kotor karena cipratan air yang tergenang di pinggir jalan. Elgan dan orangtuanya hanya memperhatikan dua wanita yang sedang bersiteru itu. Elgan menatap gadis yang berdiri membelakanginya dengan sebelah alis yang terangkat. Dilihatnya penampilan gadis itu dari atas hingga bawah. Tatapan tidak suka langsung terpancar dari kedua matanya. "Sana masuk. Selesai itu langsung kemari. Kita makan malam bersama dengan tamu mama. Yang cepat mandinya." Perintah Elena. Cia langsung melangkahkan kaki menuju kamar sambil menggerutu. "Sial! Sial! Sial!" Gerutunya dengan suara yang keras. Ia membanting pintu kamarnya kuat, membuat semua orang yang berada di meja makan terlonjak kaget mendengar bantingan pintu tersebut. "CIA!" teriak Elena pada anak semata wayangnya itu. "APA LAGI SIH, MA?" teriak Cia, tidak kalah keras. Xavier geleng kepala melihat tingkah istri dan anaknya. Dasar, anak sama mama sama aja, batinnya. *** Satu jam yang lalu. Setelah Cia mendapat telepon dari mamanya. Ia langsung berpamitan pulang kepada Nadin dan orangtua sahabatnya itu. Saat di perjalanan, tiba-tiba saja ia merasa ada yang aneh dengan mobilnya, sehingga ia berhenti di pinggir jalan. Setelah dilihatnya, ternyata ban mobil bagian depannya kempes. Cia yang merasa bingung dan mencoba menghubungi orang bengkel agar segera memperbaiki ban mobilnya. Cia berdiri di depan mobilnya sambil menunggu kedatangan orang yang akan memperbaiki ban mobilnya. Di saat ia tengah kesal, tiba-tiba saja sebuah mobil yang melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan sedang membuat air yang tergenang di dekatnya terciprat dan mengenai pakaiannya. Cia berteriak memaki si pengemudi mobil tersebut. "WOY!" Teriaknya, refleks. "BERHENTI KAMU! DASAR b******k!" Teriak Cia lagi semakin keras. Rasa kesal semakin menyeruak di dalam dirinya. Mobil mewah berwarna hitam yang diteriaki Cia berhenti begitu saja. Suasana jalanan tempat ban mobil Cia bocor memang sunyi, sehingga mobil hitam yang entah siapa pengemudinya itu bisa mundur secara perlahan dan berhenti di seberang mobil Cia. "Turun kamu!" Perintah Cia. Ia sangat kesal saat melihat pemilik mobil hitam itu hanya menurunkan kaca mobilnya, tidak ada niat sedikitpun untuk keluar dan meminta maaf kepadanya. Cia menyeberangi jalan menghampiri mobil hitam itu. Ia langsung memukul kaca depan mobil tersebut dan berteriak. "Kau, cepat turun!" suruhnya, lagi. Pria di dalam mobil itu jengah melihat tingkah Cia yang bar-bar. Akhirnya, ia keluar dari mobil dan berdiri di hadapan Cia. "Ada masalah apa?" tanyanya, cuek. "Kenapa? Kenapa?! Kau tidak punya mata untuk lihat kondisi pakaian ku sekarang?!" bentak Cia, di depan wajah pria itu. "Lihat ini! Pakaian ku jadi kotor karena mu!" ucap Cia keras sambil memperlihatkan pakaiannya yang kotor. "Lalu?" Cia menggertakkan giginya. Menatap tajam pria di depannya. "Kau harus tanggung jawab. Setidaknya kau harus minta maaf, bodoh!" Bentak Cia lagi. "Kau ini gadis jenis apa, sih? Suka sekali berteriak." Pria itu mengusap telinganya yang panas. "Bukan urusanmu!" "Sudah lah. Aku tidak punya waktu untuk berurusan denganmu. Kau urus saja pakaian mu sendiri dan ini kartu namaku. Kalau kau ingin ganti rugi silahkan hubungi saja aku," tukas pria itu sambil menyerahkan sebuah kartu. "Heh! Aku tidak butuh kartu namamu. Aku hanya ingin kau minta maaf. Apa itu sudah?" "Kau terlalu berisik." Pria itu menarik tangan Cia dan meletakkan kartu namanya di telapak tangan gadis itu tanpa izin. Setelah itu, ia kembali memasuki mobilnya dan melaju meninggalkan Cia yang terlihat menahan amarahnya. "DASAR PRIA ARROGANT!" Cia berteriak sambil menendang batu kecil didepannya. Cia lalu kembali menyeberangi jalan menuju mobilnya. Hari sudah gelap, hembusan angin malam membuat tubuhnya kedinginan. Ia memutuskan menunggu di dalam mobil. Sekitar lima menit kemudian, Cia merasa penasaran siapa pria tadi. Dan ia langsung mengambil kartu yang tadi dilemparnya asal ke samping kursi yang di dudukinya. "Alden Saptaprabu," gumamnya sambil mangut-mangut. Cia akhirnya kembali melajukan mobilnya setelah menunggu kurang lebih tiga puluh menit untuk memperbaiki ban mobilnya. Sesampainya di pelataran mansion, ia melihat mobil asing yang terparkir disamping mobil mamanya. *** Tidak butuh waktu lama bagi Cia untuk membersihkan diri. Sekarang, ia sudah siap dengan pakaian santainya. Ia lalu menuruni anak tangga dan melangkah menuju ruang makan sesuai dengan perintah mamanya tadi. Cia berdiri di dekat guci keramik berukuran besar sambil memperhatikan tiga orang asing yang duduk membelakanginya. Cia dapat mengetahui kalau tamu orang tuanya kali ini sepasang suami istri dan pria yang satunya lagi itu mungkin anak atau adik salah satu dari tamu mamanya itu. "Ehm... " Cia berdehem menyadarkan orang di ruang makan itu. Semua pasang mata mengarah kepadanya, kecuali sepasang mata yang tengah asik dengan ponselnya. "Cia. Ayo sini nak, kenalan dulu sama Om dan Tante ini." Elena menghampiri Cia sambil menyuruhnya untuk berkenalan dengan sahabatnya. "Halo, Tante," sapa Cia sambil mencium punggung tangan Lira. "Halo, sayang. Kamu sudah jadi gadis yang cantik ya sekarang." Puji Lira sambil mencium kedua belah pipi Cia. Cia yang dipuji hanya tersenyum malu. "Halo, Om." salamnya pada pria yang duduk di samping Lira. "Karena semua sudah lengkap, jadi kita langsung makan saja ya. Selesai itu baru kita bicarakan point pentingnya," usul Xavier memberi solusi dan diangguki oleh istri dan kedua sahabatnya. Cia yang tidak tahu menahu hanya diam dan duduk di kursi yang kosong. Tanpa sengaja, ia melihat wajah pria yang duduk di kursi seberang mejanya. Ia menyipitkan mata mempertajam penglihatannya menatap pria yang juga sedang menatapnya acuh. Aduh, kenapa pria ini ada di sini? Apa dia datang bersama Niko? Tapi, Niko nya dimana, dari tadi kenapa aku tidak melihatnya? Tapi, kenapa ia bisa bersama Om dan Tante ini? Memangnya dia siapa? tanya Cia dalam hati sambil melihat sekelilingnya. "Kenapa, sayang? Kamu seperti orang kebingungan begitu?" Suara Lira mengagetkan Cia. "Ah, tidak, Tante." Lira tersenyum manis melihat calon menantunya. Dalam hati, ia sangat bersyukur akan mendapatkan menantu secantik Cia. Khayalannya sudah jauh hingga ia membayangkan sudah menggendong cucu-cucu yang sangat menggemaskan. *** Beberapa menit yang lalu Elgan yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sebagai penghilang jengah mengalihkan perhatiannya saat mendengar suara wania yang sedang berkenalan dengan mamanya. Dilihatnya gadis yang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk dengan tatapan bingung. Ini gadis lusuh tadi, bukan? tanyanya dalam hati. Jadi, dia gadis yang akan dijodohkan denganku. Diperhatikannya Cia dari atas hingga bawah. Cia sedang mengenakan kaos oblong berwarna putih yang ujung lengannya dilipat dan juga dengan celana pendek sebatas lutut yang memperlihatkan betis putihnya. Elgan seolah sudah biasa melihat wanita seperti Cia. Ia lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Beberapa saat kemudian, Elgan kembali mendongakkan saat mendengar suara kursi yang ditarik. Ditatapnya Cia dan pandangan mereka bertemu. Ia dapat melihat kebingungan dari wajah gadis itu. Tidak dapat dipungkiri, hati kecil Elgan mengagumi ciptaan tuhan di depannya. Mereka duduk hanya terpisahkan oleh meja makan. Dengan jarak yang lumayan dekat ini, Elgan dapat melihat wajah Cia lebih jelas. Diperhatikannya Cia yang sedang mengunyah makanan, mulut Cia yang penuh dan sedikit menggembung serta bibirnya yang berwarna pink alami yang berminyak karena makanan membuat Elgan menarik sebelah ujung bibirnya, membentuk sebuah senyuman tipis yang tidak terlihat. Selesai makan malam. Mereka berkumpul di ruang tamu untuk membahas point penting yang sudah di tunggu-tunggu oleh kedua orang tua Cia dan Elgan. "Elgan, kamu sudah tahukan tujuan utama kita kemari untuk apa?" tanya Bima, membuka pembicaraan. "Sudah, Pa." "Jadi begini Cia, kamu sudah dengarkan kalau kamu akan dijodohkan?" tanya Bima pada Cia yang duduk di depan istrinya. "Sudah, Om." "Jadi, Cia, anak Om ini yang akan dijodohkan dengan mu. Kamu mau kan?" tanya Bima menatap anak sahabatnya itu. "Pa?" Cia mengalihkan pandangannya dan memanggil sang papa yang duduk di samping mamanya. "Iya, sayang. Dia pria yang akan dijodohkan dengan mu. Dia anak sahabat Papa yang kemarin Papa ceritakan," jelas Xavier. "Sekarang, Elgan, Om tanya sama kamu. Kamu mau kan menikah dengan putri Om ini?" Tidak Elgan diam. Dalam hati ia menjawab kalau ia sangat tidak mau menerima perjodohan gila ini. "Elgan, seperti yang Mama bilang." Lira menyadarkan Elgan. Aku tidak bisa nerima perjodohan ini. Hati dan pikiran Elgan bertolak belakang. Hatinya tidak ingin jika ia menikah dengan gadis pilihan mamanya, namun pikirannya mengatakan ia harus menerima perjodohan ini agar mamanya tidak kecewa kepadanya. "Iya, Om. Elgan terima perjodohan ini," putusnya dengan tatapan kosong. "Bagaimana Cia? Elgan sudah menerima kamu sebagai calon istrinya. Kamu mau kan menerima Elegan sebagai suamimu?" tanya Bima. Cia menatap mama dan papanya bergantian. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ini terlalu cepat. Bagaimana mungkin ia bisa menikah dengan pria yang baru dua kali bertemu dengannya. Ini gila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN