Part 3

2166 Kata
"Elgan! bangun! Ini sudah hampir jam sembilan!" Suara ketukan pintu dan teriakan Lira mengusik ketenangan pria yang masih bergulung di bawah selimut itu, menarik kesadarannya yang belum sepenuhnya kembali. "Kamu kemarin malam pulang jam berapa? Kenapa sudah jam segini masih belum bangun?!" omel Lira. Elgan menggeliat mendengar tariakan mamanya membuat tidur nyenyaknya terganggu. "Kenapa sih, Ma?" Suara Elgan terdengar serak, khas orang bangun tidur. Matanya masih terpejam seperti ada sesuatu yang merekatkannya. "Bangun kamu! Ini sudah jam sembilan," tegas Lira dari luar kamar. Mendengar kata jam sembilan yang diucapkan mamanya. Elgan langsung terduduk di atas ranjang dan melihat jam dinding dengan tampang syok. "Akh ... aku terlambat." Kagetnya, langsung turun dari ranjang. "Akhhh!" Rasa pusing langsung menyerang Elgan karena berdiri tiba-tiba. Mengabaikan rasa pusingnya, ia lantas memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian, Elgan keluar dengan handuk putih yang melilit pinggangnya. Tetesan air yang berasal dari rambutnya yang basah berjatuhan di atas d**a dan bahunya, membuat ketampanannya bertambah beberapa persen. Drttt ... drttt ... Deringan ponsel yang terletak di atas nakas mengalihkan perhatian Elgan yang sedang berdiri di depan cermin mengeringkan rambutnya yang basah. Ia menyampirkan handuk kecil pengering rambut di atas bahunya sembari berjalan menuju nakas. Sebentar lagi aku akan sampai di rumahmu. Pesan singkat dari Niko menyadarkan Elgan kalau hari ini merupakan hari sabtu, yang artinya ia sedang cuti bekerja. "Akh!" Elgan refleks menunjang nakas di sampingnya, kesal. "Bodoh, bisa-bisanya aku tidak ingat kalau hari ini hari libur," gerutunya. Elgan buru-buru mengenakan pakaian hendak menghampiri mamanya di ruang makan yang sedari tadi terus berteriak memanggil namanya. "Iya, Ma, iya. Elgan bangun, kenapa harus teriak, sih? Berisik sekali," komentar Elgan saat menuruni satu persatu anak tangga. Sesampainya di meja makan, Elgan mendapati mama dan papanya yang sudah siap menyantap makanan di depan mereka. "Ayo sarapan," ajak Lira saat Elgan sudah duduk di kursinya. Wanita paruh baya itu mulai mengambilkan sarapan untuk suami dan anaknya. Menu mereka pagi ini yaitu nasi goreng dengan telur mata sapi sebagai lauknya dan kerupuk udang sebagai tambahannya. Makanan yang cukup sederhana, namun menjadi favorit mereka bertiga. "Kamu ada acara hari ini?" tanya Bima, membuka percakapan. "Ada, Pa," jawab Elgan seadanya, lalu memasukkan kerupuk ke dalam mulutnya. "Dengan siapa?" tanya Bima, lagi. "Niko, Pa." "Assalamualaikum." Salam seseorang dari pintu utama, menghentikan Bima yang hendak mengatakan sesuatu. Elgan dan kedua orang tuanya menoleh ke arah sumber suara. "Waalaikumsalam," balas mereka serempak. "Morning, Om, Tante," sapa Niko setelah mengetahui Elgan dan kdua orang tua pria itu berada di ruang makan. "Morning," balas Bima dan Lira, serentak. "Ayo Niko, kita sarapan bersama." Lira mempersilahkan Niko untuk duduk lalu mengambilkan piring kaca untuk sahabat putranya itu. "Terimakasih, Tante. Niko memang belum sarapan," timpal pria itu setengah bercanda sebelum menduduki kursinya, membuat Lira dan Bima terkekeh menanggapi gurauannya. Sedangkan Elgan hanya memutar bola matanya jengah melihat tingkah sahabatnya itu. Mereka lalu menikmati sarapan dengan penuh kehangatan dan sesekali diisi oleh percakapan singkat. "Jadikan, Bro?" Tanya Niko pada Elgan, di tengah-tengah suapannya. "Apa?" tanya Elgan, balik. "Yang kukatakan kemarin, kau pasti ingat." Niko menatap Elgan yang duduk di depannya dengan serius. "Aku ingat." Hari ini Elgan akan pergi menemani Niko. Tadi malam, saat pulang dari party. Niko mengajak Elgan untuk menemaninya ke suatu tempat. Saat Elgan bertanya mereka akan pergi kemana, Niko hanya menjawab "besok kau juga akan tahu." "Elgan, jangan lupa nanti malam kita akan pergi." Bima mengingatkan Elgan saat mendengar putranya itu akan pergi ke suatu tempat. Elgan menghembuskan napas. "Iya, Pa," pasrahnya. Mereka sarapan sambil mengobrol ringan. Hari ini, Bima dan Elgan memang libur sehingga pria paruh baya itu bisa menemani istrinya di rumah dan Elgan bisa pergi bersama Niko ke suatu tempat. "Om, Tante, terimakasih untuk sarapannya. Aku dan Elgan pamit pergi." Niko tersenyum manis menatap sepasang suami istri di depannya itu. "Kalian berhati-hatilah, jangan ngebut, jangan sok kalau lagi naik kendaraan, jangan ugal-ugalan, jangan melamun, jangan becanda kalau sedang menyetir, jangan-" "Ma," tegur Elgan, memotong ocehan mamanya yang sedang tidak ingin ia dengar. "Kami berdua sampai hapal apa saja Mama ucapkan," tambahnya, mengeluh. Saat ini, mereka berempat sedang berdiri di depan pintu utama mansion. Lira dan Bima mengantarkan kepergian Elgan dan Niko sampai pintu utama. Mereka bahkan baru selesai sarapan bersama sekitar 15 menit yang lalu, tapi kedua anak lajang itu buru-buru hendak pergi. "Itukan karena Mama sayang sama kalian berdua," balas Lira sembari mengapit lengan suaminya. Ia tidak suka jika Elgan membantah perkataannya dan itu dapat membuat moodnya menurun. "Iya, Ma, iya." Elgan tersenyum paksa saat mendapat tatapan tajam dari papanya. "Kalian berdua sebenarnya mau kemana?" tanya Bima, sambil merangkul pundak istrinya. "Ngapel, Om," timpal Niko, seadanya. "Maksudnya, ngapelin pacar?" Bima memastikan. "Belum, Om. Tapi, doakan saja semoga kami bisa jadian. " Niko terkekeh diakhir kalimatnya. "Kamu bisa saja." Bima menggeleng-geleng kecil melihat Niko yang bersemangat hendak bertemu dengan calon kekasihnya. "Ya sudah, Ma, Pa, Elgan pergi dulu." Elgan menyalimi kedua orang tuanya, begitupun dengan Niko. "Kalian hati-hati, ya. Dan kamu, El, jangan lupa dengan apa yang papa katakan tadi." Bima kembali mengingatkan Elgan, yang di balas pria itu dengan anggukan kecil. Elgan melajukan mobilnya meninggalkan perkarangan mansion. Saat diperjalanan, Niko lah yang memberi intruksi kepada Elgan jalan mana yang akan mereka tempuh, karena Elgan sama sekali tidak tahu mereka akan pergi kemana. "Aku penasaran dengan maksud perkataan papamu tadi." Setelah menahan rasa penasarannya, Niko akhirnya membuka suara dan bertanya langsung kepada Elgan. "Yang mana?" tanya Elgan, balik. "Yang itu, nanti malam jangan lupa, memangnya ada apa?" jelas Niko. Elgan terdiam. Pikirannya berkecamuk. Entah jawaban apa yang harus ia berikan untuk Niko. Sahabatnya itu pasti akan terus bertanya hingga keakar-akarnya jika sudah penasaran. Niko mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti alunan lagu yang ia dengar. Anggukannya berhenti saat menyadari Elgan tak kunjung menjawab pertanyaannya. "WOY!" teriaknya, di telinga Elgan, membuat pria itu tersentak dan refleks mengusap telinganya yang terasa panas. "Kenapa kau malah melamun? Tidak ingat pesan Mamamu tadi, hm?" tukas Niko,sarkas. "Bukan urusanmu." Elgan kembali mengalihkan pandangannya, menatap ke arah jendela mobil yang memperlihatkan bangun bangunan pencakar langit. "Dasar pemarah," timpal Niko, mengakhiri obrolan mereka. Elgan merasa tidak enak hati dengan kepada temannya itu. Ia tidak pernah separti ini sebelumnya. Selama ini, ia selalu membagi masalahnya dengan Niko. Iya tahu, Niko adalah sahabat yang baik, yang selalu ada disisinya saat suka maupun duka. Di saat ia jatuh terpuruk Niko lah yang selalu berada di depannya sambil mengulurkan tangan menuntunnya untuk kembali menjadi pria yang tegar. Namun, apakah kini ia bisa membagi masalahnya dengan Niko? Entah lah. Ia merasa belum saatnya Niko tahu. Namun ia tetap akan menceritakan masalahnya kali ini kepada temannya itu, tapi tidak sekarang. "Aku akan memberitahumu, tapi tidak sekarang." Elgan membuka suara, yang dibalas Niko dengan angkutan kecil. *** Elegan terperangah menetap gedung di depannya. Ia tidak menyangka Niko akan mengajaknya memasuki sebuah gedung yang berlantai dua yang kini ada di hadapan mereka. Tadi, saat Niko mengintruksikan agar ia membelokkan mobilnya ke sebuah gedung yang Elgan tahu itu tempat para gadis untuk mengikuti latihan dance, terjadi perdebatan panjang di antara mereka. Namun akhirnya, Niko lah yang memenangkan perdebatan itu. Dan sekarang, di sinilah mereka berdiri. Di, depan pintu gedung yang tidak terlalu besar namun memiliki dua lantai itu. Elgan pasrah. Decakan kesal terdengar saat Niko mendorong tubuh tegap Elgan untuk masuk ke gedung yang lumayan besar itu. "Sudahlah, kau ikut saja. Lagipula, kau tidak akan rugi kalau ikut denganku," ucap Niko sebelum melangkahkan kakinya menuju tangga yang akan membawa mereka menuju ke lantai dua. Elgan mendengus, namun ia masih mengikuti perintah Niko yang sudah berjalan lebih dulu. Saat tiba di lantai dua, mereka langsung disuguhi pemandangan yang waw ... Niko tersenyum devil melihat para gadis yang sedang berlatih dengan tubuh mereka yang lentur. Lagi-lagi Elgan menghembuskan napas kasar. Bisa-bisanya Niko membawanya ke tempat seperti ini. Lantai yang mereka injak sekarang berdinding kaca yang sebagiannya terdapat cermin yang berukuran sangat besar, sehingga mampu menampakkan pantulan bayangan seluruh tubuh orang yang berada di ruangan itu. Niko mengedarkan pandangannya kensetiap sudut ruangan mencari seorang gadis. Saat matanya sudah menemukan gadis itu, Niko melangkahkan kakinya menuju sofa empuk di sudut ruangan dan kembali memperhatikan gadis yang sedang serius bergerak indah mengikuti alunan musik. Begitupun dengan Elgan, ia ikut duduk di samping Niko. Setelah itu, ia sibuk sendiri dengan ponselnya. "Hahaha ... parah sekali, Nad." Suara tawa dua orang gadis mengalihkan perhatian Elgan yang sedari tadi sibuk dengan ponsel genggamnya. Niko pun sedari tadi sudah tertawa geli memperhatikan dua orang gadis yang belum menyadari kehadirannya itu. Elgan menajamkan penglihatannya melihat dua orang gadis yang sedang bersenda gurau itu. Sepertinya, ia kenal dua gadis tersebut. "Bukankah temanmu?" tanya Elgan, sambil melihat Niko yang sedang senyum-senyum sendiri. "Au!" Niko meringis saat merasa kepalanya dipukul lumayan keras. "Aku gila? Senyum-senyum sendiri," sarkas Elgan. "Kau yang gila," balas Niko jutek, sambil mengusap kepalanya. "Bukankah mereka temanmu?" King kembali bertanya sembari melihat dua gadis yang berdiri tidak jauh dari mereka. "Iya, itu Nadin sama Cia. Mereka berdua lucu, bukan? Andai saja aku bisa mendapatkan salah satu dari mereka," lirih Niko, sambil menerawang jauh. "Besok kau pergi lah menemui Mamah Dede dan ceritakan keluh kesahmu kepadanya," ucap Elgan, mengejek Niko. "Apaan yang perlu dilihat dari mereka berdua? Tidak ada?" sambungnya, meremehkan Nadin dan Cia. "Ternyata kau tidak mengerti apa-apa, Bro," sanggah Niko, sambil menepuk bahu Elgan lalu berdiri dan menghampiri dua temannya itu. "Hai, Nadin, Cia," sapa Niko, ramah. Kedua gadis itu sontak berhenti tertawa saat mendengar seseorang memanggil nama mereka. Dan setelah melihat sosok Niko, senyum keduanya mengembang menyambut kedatangan pria manis itu. "Hai, Niko," sapa Nadin lebih dulu saat sudah melihat Niko. Nadin dan Cia lantas mendekat ke arah Niko yang berdiri dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana bahannya. "Kenapa kau di sini?" Nadin mengernyit, sedikit bingung melihat Niko ada di teman itu. "Aku ingin bertemu denganmu," balas pria itu apa adanya. "Haha dasar, kau pandai sekali menggoda gadis sepertiku." Wajah Nadin bersemu merah walaupun tidak terlalu kentara. "Aku serius, Nad," Niko kikuk, melihat wajah Nadin yang memerah membuatnya salah tingkah. Ayolah, Niko seorang pria, bisa-bisanya ia bersikap malu-malu kucing seperti itu. "Iya deh yang sebentar lagi bakal pacaran."Cia membuka suaranya, menggoda Nadin dan Niko yang menurutnya sangat serasi. "Kau tahu saja." Niko tersenyum melihat Cia dan Nadin bergantian. "Kalian minum dulu," Niko berujar, sembari menyerahkan dua botol air mineral yang tadi ia beli di dekat gedung. "Thanks," ucap Cia setelah menerima botol mineral dari Niko. "Kau datang sendiri?" Nadin bertanya sesudah meminum airnya hingga tersisa setengah botol lagi. "Tidak. Aku datang dengan Elgan." Niko menoleh ke belakang, tepat dimana tadi Elgan duduk bersamanya. "Dimana dia?" Niko mengenyit bingung saat tidak mendapati Elgan di tempatnya. Cia dan Nadin mengangkat bahu mereka, tidak tahu dimana keberadaan pria itu sekarang. "Bukankah itu Elgan?" tanya Cia, sedikit tidak yakin saat melihat seorang pria yang sedang berjalan ke arah mereka. Sedari tadi Cia memang samar- samar melihat Elgan yang berdiri di depan dinding kaca mengahadap jalanan kota. Namun, ia tidak begitu yakin kalau itu benar-benar Elgan. Di saat Elgan menghampiri mereka barulah ia yakin kalau itu benar pria sombong dan dingin yang ia temui di party kemarin malam. "Masih lama?" tanya Elgan saat sudah berdiri di antara tiga orang itu. Tadi, ia sengaja menjauh dari suara berisik saat mamanya menelpon. "Kenapa?" Niko heran. Ia mengerti maksud dari pertanyaan singkat sahabatnya itu. Bukannya menyapa teman barunya, Elgan malah menampakkan tampang datarnya yang membuat Cia mencibir tak suka. "Mama meneleponku," balas Elgan seadanya. "Well. Oh ya, setelah ini kalian akan pergi kemana?" tanya Niko sambil menatap Nadin dan Cia, bergantian. "Kami belum ada rencananya. Hanga saja, setelah ini kami akan langsung pulang," balas Nadin dan ikut diangguki oleh Cia. "Ya sudah, kalau begitu dan Elgan pergi dulu," pamit Niko, sedangkan Elgan sudah melangkahkan kakinya menjauhi tiga orang tersebut. Cia dan Nadin menggangguk mengiyakan perkataan Niko. "Elgan, tunggu! Kau ini tidak setia kawan sekali!" teriak Niko, sambil mengejar Elgan yang sudah sampai di lantai dasar. "Kau sombong sekali. Seharusnya kau menyapa Cia dan Nadin." Niko langsung mengeluarkan kekesalannya saat sudah masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Elgan yang siap mengemudi. "Terserah. Kita harus segera pulang." Elgan mengedikkan bahunya acuh, tidak ambil peduli dengan komplain yang dilontarkan sahabat itu, lalu menyalakannmobil dan mulai melajukannya keluar dari perkarangan gedung. Suara azan maghrib terdengar saat mereka sudah hampir memasuki pekarangan mansion. Elgan merasa hari ini waktunya habis sia-sia karena menemani Niko ke tempat yang tidak jelas. Andai saja dari awal ia tahu kalau Niko akan mengajaknya ketempat itu, Elgan seratus persen pasti akan menolaknya. Apalagi, tadi saat di perjalanan pulang, mereka harus berurusan dengan ibu-ibu hamil karena mereka tanpa sengaja menyenggol kaca spion mobil ibu tersebut. Jadinya, sekarang mereka tiba di rumah masing-masing jauh dari waktu yang diharuskan. "Elgan, dimana Niko? Kenapa kamu sendirian?" Suara Lira langsung menyambut kepulangan Elgan. Lira sudah rapi dengan mukena yang dikenakannya. "Sudah pulang, mlMa." Elgan yang tadi berhenti di ruang tengah kembali melanjutkan langkahnya setelah menjawab pertanyaan mamanya tersebut. "Ya sudah, kamu mandi dulu sana. Jangan lupa shalat, setelah itu kita berangkat." Lira menatap punggung anaknya yang sudah berjalan menaiki anak tangga. "Iya, Ma."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN