Melihat antusias kedua orang tuanya membuat Cia sedih. Pasti mereka akan sangat kecewa jika ia menolak perjodohan tersebut.
Cia mengangguk pelan menjawab pertanyaan Bima, membuat semua orang tersenyum bahagia, kecuali Elgan.
"Terimakasih, sayang," ujar Elena sembari mengecup puncak kepala putrinya.
"Elgan, kamu bisa langsung memasangkan cinci untuk Cia." Suruh Bima.
Elgan merasa seperti sedang bermimpi. Bagaimana bisa ia berakhir seperti ini? Berakhir dengan gadis pilihan mamanya dan melamar gadis itu malam ini.
Elgan melangkah menghampiri Cia dan berlutut mensejajarkan tingginya dengan gadis itu. Dikeluarkannya sepasang cincin dan ia pasangkan cincin tersebut di jari manis Cia.
Setelah itu, Elena juga menyuruh Cia agar melakukan hal yang sama seperti Elgan. Cia hanya pasrah menuruti perintah mamanya.
Senyum bahagia langsung terpancar dari keluarga itu setelah melihat putra dan putri mereka yang sudah saling bertukar cincin.
"Kau, ikut aku sekarang." bisik Elgan, seraya menatap Cia tajam.
"Maaf. Kami permisi sebentar," pamit Elgan dan berlalu begitu saja.
Cia yang diperintah oleh Elgan hanya bisa pasrah mengikuti kemana arah pria itu berjalan. Hingga akhirnya, Elgan menghentikan langkahnya di pelataran mansion di bawah pohon yang tumbuh dengan rindang.
Elgan berbalik dan menatap Ciadl dengan tajam.
"Apa mau mu sebenarnya? Kenapa kau menerima perjodohan ini?" tanya Elgan, dingin.
Cia mendongak menatap wajah Elgan.
"Menurutmu?" tanyanya, balik.
"Kau seharusnya menolak perjodohan ini. Kau tidak cinta denganku, begitupun sebaliknya."
"Kenapa tidak kau saja yang menolak perjodohan ini?" Cia menantang.
"Perlu kau tahu saja, dari awal aku memang sudah menolak perjodohan ini. Tapi, karena aku tidak ingin membuat Papa dan Mama kecewa, aku terpaksa menerima ini semua." Elgan menekankan kata terpaksa pada kalimatnya.
"Dengarkan baik-baik perkataan ku. AKU SANGAT TERPAKSA menerima perjodohan ini," tekannya.
Setelah itu, ia berlalu begitu saja meninggalkan Cia yang mematung di tempatnya.
Gadis itu menatap sedih punggung Elgan yang berlalu meninggalkannya. Tidak pernah terpikir olehnya kalau ia akan menikah dengan pria bermulut pedas seperti Elgan.
"Kau juga harus tahu. Aku juga terpaksa menerima perjodohan ini," lirihnya, menatap kosong ke depan.
Tangannya terkepal kuat menahan tangis dan amarah. Kenapa Elgan harus berkata seperti itu padanya? Mereka sama, menerima perjodohan ini karena terpaksa, tapi ia tidak mengatakan yang sebenarnya.
Ia hanya ingin orangtuanya bahagia dengan melihatnya menikah dengan pria pilihan mereka walaupun kabahagiannya menjadi taruhannya saat ini.
Cia mengatur deru napasnya. Ia tidak boleh terlihat sedih di depan orang tua dan calon mertuanya. Ditariknya napas dalam dalam lalu dihembuskannya secara perlahan.
Setelah itu, ia berjalan menuju pintu belakang mansion dan memasuki dapur.
Cia berhenti di depan meja bar kecil sambil meneguk segelas air.
"Cia, kau pasti bisa menjalani ini semua," gumamnya, menguatkan diri.
Cia menepuk-nepuk pelan kedua pipinya sebelum berjalan menuju keluarganya berkumpul.
Cia melihat papanya, Om Bima dan Elgan yang sedang berbincang. Sesekali dilihatnya juga Elgan yang mengangguk setelah mendengar perkataan papanya.
"Sayang, kamu dari mana?" tanya Elena sambil mengelus rambut Cia.
"Dari dapur, Ma." Cia sembari memeluk mamanya dari samping.
"Sayang coba lihat, kamu suka yang mana di antara undangan ini?" tanya Lira sembari memperlihatkan beberapa macam model undangan.
Cia menegakkan duduknya dan mulai memilih-milih undangan yang terletak di atas meja.
"Cia, kami sudah memutuskan resepsi pernikahan kalian akan dilakukan satu minggu lagi."
Perkataan Elena menghentikan pergerakan Cia.
"Apa tidak terlalu cepat, Ma?"
"Kita belum ada persiapan lho," Sambungnya.
"Tidak, Sayang. Satu minggu itu sudah cukup untuk menyelesaikan semua persiapan. Kamu tenang saja," jelas Elena.
Cia melirik Elgan sekilas.
Apa dia sudah tahu? batinnya.
"Baiklah, Ma. Kalau Mama maunya seperti itu, Cia mengikut saja." Cia tersenyum simpul melihat mamanya dan tante Lira.
Elena dan Lira ikut tersenyum melihat putri mereka.
Elena merasa bersyukur putrinya sudah bisa menerima perjodohan ini. Batinnya terus berdoa agar Cia bahagia dengan pernikahan tersebut.
"Jadi, Cia pilih yang mana?" Lira kembali menarik perhatian calon menantunya.
"Yang ini saja, Tan," jawab Cia sembari menyerahkan undangan yang berwarna gold.
Lira dan Elena setuju dengan pilihan Cia.
"Ma, pulang, yuk."
Beberapa menit kemudian, suara Bima menghentikan percakapan tiga wanita yang sedang mengobrol itu.
"Ayo, Pa." Lira mengangguk setuju.
"Ya sudah, Len. Kami pulang dulu ya. Sudah larut malam." Pamit Lira pada Elena.
"Tante pulang dulu ya, cantik. Kamu jaga kesehatan." Lira mengelus puncak kepala Cia.
"Iya, Tante," balas gadis itu, tersenyum simpul.
Setelah berpamitan, keluarga Lambert pergi meninggalkan mansion.
Begitu pun dengan Cia, ia melangkah menuju kamarnya.
Cia ingat betul bagaimana tadi Elgan menatapnya sebelum keluar dari mansion. Tatapan datar dan dingin itu diperlihatkan untuknya. Hanya untuknya. Elgan seakan menganggapnya bagaikan musuh bebuyutan.
Sesampainya di kamar, Cia langsung berbaring di ranjangnya. Pandangannya kosong menatap langit langit kamar hingga tidak butuh lama ia akhirnya terlelap dalam mimpi buruk yang tidak kunjung berakhir.
****
Sesampainya di mansion. Elgan langsung melesat menuju kamarnya. Ia mengambil kunci mobil yang terletak di atas nakas dan pergi lagi mengendarai mobilnya.
Elgan melangkahkan kakinya memasuki club malam. Seorang satpam penjaga pintu menyapanya dengan ramah. Menandakan kalau ia dikenal dan sering ke tempat itu.
Elgan duduk di kursi sudut, menjauh dari keramaian orang-orang yang sedang meliukkan tubuh mereka tak beraturan. Terlihat jelas 90 persen dari pengunjung club itu sudah tidak sadarkan diri. Mereka telah terpengaruh alkohol.
Elgan meneguk segelas minuman yang baru saja dituangnya hingga kandas. Entah apa yang ia lakukan di tempat itu. Sedari tadi, ia hanya memperhatikan orang-orang yang sudah tidak waras dengan pandangan yang sulit diartikan.
Malam kian larut, namun Elgan masih di posisinya semula. Matanya memerah. Rambutnya yang tadi tertata rapi sekarang berantakan karena ulahnya. Sesekali kepalanya terhantak ke depan dan sesekali pula ia tersenyum lalu menunjukkan ekspresi sedih.
Pikirannya berkecamuk membuat kepalanya terasa sakit. Ia sedang memikirkan seseorang. Tidak. Bukan Cia yang ada dipikirannya. Melainkan seorang wanita yang dulu selalu ada untuknya selama lima tahun.
"Kapan?"
"Kapan kamu akan kembali?" Racaunya tidak jelas.
Ia seolah bertanya pada orang itu. Namun, hingga ratusan kali pun ia bertanya, sebuah jawaban tidak akan pernah ia dapatkan.
Seorang pria menghampiri Elgan.
"Heh, b**o!" Sergah Niko pada Elgan yang duduk di depannya.
Niko datang ke tempat ini karena Elgan tidak menjawab teleponnya sama sekali. Tadi, ia sempat berselisih dengan Elgan saat ia hendak mengantarkan Nadin pulang.
Elgan mendongak. Cahaya yang minim membuatnya mempertajam penglihatan untuk melihat seseorang yang berdiri di depannya.
"Niko, hehe." Elgan terkekeh saat melihat Niko lah yang berdiri di depannya.
"Sini, duduk di samping ku." Ajaknya seraya menepuk-nepuk kursi kosong di sampingnya. Matanya setengah terbuka menatap Niko.
Niko mengusap alisnya yang tidak gatal.
"Ya, Tuhan, ini udah larut malam tapi kenapa Engkau masih memberi hamba-Mu ini beban," lirihnya, frustasi.
Ia kemudian memutuskan duduk di samping Elgan.
"Kau kenapa lagi?" tanya Niko, muak.
Ia sangat sering mendapati Elgan yang berakhir di meja bar seperti ini.
"Rindu."
"Apa?"
Elgan menggeleng lemah.
"Aku merindukannya," lirih Elgan. Kemudian bersandar di punggung sofa.
"Dia lagi ... dia lagi ...," sarkas Niko, merasa muak.
"Kau bodoh sekali sampai mau mabuk-mabukan seperti ini hanya karena wanita itu!"
"Kau sudah tidak waras, El." sambungnya.
"Aku mencintainya, Nik."
"b****g mu cinta. Tidak ada cinta-cintaan sekarang. Kau itu harusnya sadar. Dia udah berulang kali menyakiti perasaanmu dan sekarang dia hilang begitu saja bagaikan ditelan bumi. Seharusnya kau senang. Tidak akan ada lagi yang melukai perasaanmu." Niko menasihati.
Mungkin ini sudah nasihat yang kesekian kalinya, tapi Elgan tidak pernah sekalipun menggubris perkataannya. Namun, Niko tidak akan berhenti. Ia akan tetap mengingatkan dan menyadarkan sahabatnya itu hingga benar-benar sadar, walaupun ia sendiri tidak tahu kapan hari itu akan tiba.
Hueekk...
Elgan memegang perutnya yang sakit sambil memuntahkan cairan di mulutnya.
"Akh, menjijikkan!" Niko menepuk-nepuk kemejanya yang hampir terkena muntahan Elgan.
"Sudah tahu kau itu tidak tahan minum-minum seperti ini, tapi masih saja minum. Kau udah bosan hidup, hah? Mau mati muda?" Sarkas Niko.
Pria itu kemudian menuntun Elgan yang sempoyongan menuju mobil. Ia mengantarkan Elgan hingga sampai ke kamar sahabatnya itu.
Elgan yang kesadarannya semakin menipis hanya pasrah dengan apa yang dilakukan Niko padanya. Terakhir kali yang dilihatnya ialah Niko yang berlalu meninggalkannya dan menghilang di balik pintu kamar.
***
Pagi hari yang cerah menyambut kesadaran seorang gadis dari tidurnya. Suara burung-burung berkicau terdengar dari pepohonan bagaikan nyanyian di pagi hari.
Cia bangun dari tidurnya dengan keadaan yang lebih segar. Ia bersenandung kecil melangkahkan kakinya menuju dapur. Senyumnya kemudian terbit saat melihat orangtuanya.
"Pa, Cia berangkat duluan, ya?"
"Iya, kamu duluan saja," sahut Xavier yang sedang berdiri di depan istrinya.
Elena sedang sibuk memasangkan dasi pada leher Xavier.
"Cia, itu punya papa kamu!" Teriak Elena saat melihat Cia menyantap sarapan yang telah dibuatnya khusus untuk Xavier.
Bukannya takut, Cia malah terkekeh lalu berlari menjauh menghindari amukan mamanya.
"Dadah, Mama ... bye, Pa!" Cia melambaikan tangannya
Setelah itu, ia melajukan mobilnya menuju perusahaan sang papa tempatnya bekerja.
Sekitar empat puluh menit kemudian, Cia sampai di basement. Ia berlari kecil masuk ke lobby saat melihat Nadin yang berjalan tidak jauh darinya.
"WOY!" Teriak Cia sambil menepuk pundak Nadin.
"Astaghfirullah." Nadin tersentak sembari memegangi dadanya.
"Ini masih pagi. Kamu jangan teriak-teriak dulu," tukas gadis yang berpakaian khusus pegawai di perusahaan tersebut.
"Memangnya kalau teriak itu harus ada jadwalnya, ya?" tanya Cia dengan tampang polosnya.
Gadis berseragam sama seperti Nadin itu mencengir kuda menampakkan deretan giginya yang tersusun rapi.
"Kamu kenapa? Sepertinya bahagia sekali." Nadin tersenyum curiga.
"Tidak. Setiap hari aku memang selalu happy. Kamu seperti tidak tahu saja." Cia dengan cengirannya.
"Sepertinya kamu yang hari ini beda. Atau jangan jangan ... kamu ya yang lagi happy?" Tuduh Cia.
"Biasa aja."
"Jujur deh."Cia menyudutkan Nadin.
"Kenapa jadi aku?" Nadin tetap mengelak
"Ciee ... yang lagi jatuh cinta. Bunga-bunga cinta bermekaran." Cia berputar-putar di depan Nadin.
"SETRES!" Teriak Nadin di telinga Cia lalu berjalan memasuki lift.
Awalnya, lift yang mereka naiki hanya ada beberapa orang. Namun, lama kelamaan lift itu menjadi penuh dinaiki oleh para karyawan. Seorang karyawan wanita berpakaian ketat memasuki lift.
Sisi jahil dalam diri Cia keluar. Diperhatikannya wanita itu dari atas hingga bawah. Namun, tatapannya berhenti saat melihat resleting rok wanita itu turun. Senyum jahil seketika terukir di bibir merahnya.
Disenggolnya lengan Nadin lalu dilihatnya kembali rok wanita itu. Nadin yang mengikuti arah pandangan Cia terkekeh pelan.
Waw boleh juga gadis ini, batin Nadin. Diperhatikannya wanita itu lalu disenggolnya kembali lengan Cia bergantian.
"Lihat lehernya," bisiknya tanpa suara sambil menyentuh lehernya sendiri.
Cia mengangguk cepat lalu melihat leher wanita itu.
"Hihi." Cia terkekeh saat sudah melihat leher wanita itu yang terdapat bercak merah.
"Hst ...." Nadin menyuruh Cia diam sembari menempeleng kepala sahabatnya itu, membuat Cia mengusap kepalanya sampil mengacungkan jempolnya.
Ting!
Suara lift terdengar dan pintu di depan mereka pun terbuka lebar. Cia mencoba mensejajarkan langkahnya dengan karyawan tersebut.
"Hm, hei," sapanya saat sudah berjalan di samping wanita itu.
Karyawan itu hanya melirik Cia sekilas.
"Resleting rok mu turun," sambung Cia mengingatkan, membuat langkah wanita itu terhenti dan ia langsung meraba resleting roknya.
"Harga resleting turun!" Teriak Nadin sambil berjalan cepat melewati Cia dan wanita itu.
Para karyawan yang berada di tempat itu tertawa geli menyaksikan tiga orang tersebut. Para karyawan yang sudah tahu bagaimana tingkah serta sikap Nadin dan Cia hanya menggeleng kecil menyaksikan mereka.
Cia dan Nadin tertawa geli sambil melangkahkan kaki menuju kursi masing-masing. Sementara wanita berpakaian ketat itu mendengus kesal sambil menghentakkan kakinya menuju toilet.
"Dasar, bocah tengik!!" makinya pada Cia dan Nadin.
Lagi lagi, kedua gadis itu hanya tertawa mendengar makian tersebut.
"Cia, kelihatan sekali ya perempuan itu habis ena-ena tadi malam." Nadin membuka obrolan.
"Yoi, girl. Siapa sih dia?" tanya Cia sambil menatap komputer di depannya.
"Ya, seperti yang kamu lihat tadi. Aku kasih tau ya, kalau nanti kamu punya pacar atau apalah itu, kamu harus berhati-hati sama perempuan tadi. Dia itu perebutan pasangan orang. Bisa-bisa pacar kamu dirembut sama dia." Nadin berbisik, serius.
"Kamu yakin?" tanya Cia, kurang yakin.
"Iya. Aku sudah pernah melihat langsung pakai mata kepalaku sendiri kalau dia pernah jalan dengan suami tetanggaku." Nadin kembali meyakinkan.
"Memangnya yang bilang kamu melihat pakai mata kaki siapa?"
"Kamu ini! Aku sedang serius tau." Nadin mengerucutkan bibirnya.
"Cieee.. yang maunya diseriusin."
"Ah, sudahlah. Bicara denganmu tidak ada gunanya."
"Oh ya, aku mau nanya sama kamu. Bagaimana menurutmu kalau aku pacaran dengan Niko?" Nadin kembali membuka percakapan setelah beberapa detik terdiam.
"Ya sudah jadian saja. Lagipula dia juga pria yang baik," jawab Cia.
"Tapi, dia suka kan sama kamu?"
"Entah lah." Lirih Nadin.
"Lalu, kenapa kamu bertanya seperti itu?" Cia menggeleng kecil sambil membalik kertas di samping buku yang tersusun rapi di atas mejanya.
"Jangan jangan ... kamu suka ya dengan dia." Tebak Cia.
Nadin yang mendengar penuturan Cia menyengir malu menampakkan gigi putihnya.
Dia terlalu jelas.