"Ma, karena Erlang mau nikahin Haifa ...."
Baru sampai kalimat itu, Mama Wendi langsung bereaksi. Tersenyum semringah di sana, melirik Haifa yang menunduk, dengan tetap mendengarkan apa kata Erlang.
"Jadi, hari ini Haifa mau pamit pulang katanya."
Barulah di sana Haifa mengangkat wajah. Meringis tak enak hati. Ditatapnya seraut muka Om Chandra dan Tante Wendi, Haifa ucapkan, "Sebelumnya Ifa minta maaf, Om, Tante. Haifa di sini bukan karena betul-betul diajak Mas Erlang buat jadi pengasuh Galen. Bukan secara sengaja juga ikut ke sini. Dari desa, Haifa lari ke mobil Mas Erlang dengan tujuan kabur ...."
Dijelaskan.
"Karena satu dan lain hal." Haifa bubuhi senyuman. Gugup, ditatap serius oleh Om Chandra dan Tante Wendi, dia jadi grogi. "Dan lagi ... bener kata Mas Erlang, hari ini Ifa mau pulang."
Duh, agak gimana gitu.
"Maaf udah ngerepotin, sampai ngasih pinjam baju buat Ifa, bahkan sampai dibeliin juga. Tapi makasih, Tante, Om." Haifa akhiri dengan senyum manisnya, lagi.
Tak dinyana, Tante Wendi tertawa. "Duh, Ya Allah ... kamu kayak ke siapa aja, sih, Fa?"
Ya, memang siapa coba?
Mamanya Mas Erlang, kan?
Haifa justru mesti banyak-banyak bilang maaf karena sudah merepotkan, belum lagi jikalau benar yang dijodohkan dengan Mas Erlang adalah dirinya, sedangkan Haifa kabur ke sini gara-gara itu, bukankah sudah termasuk ke ranah penghinaan? Barangkali tersinggung karena dia sudah ketahuan kabur dan itu sebab perjodohan dengan duda anak satu.
"Jadi, jam berapa Haifa pulangnya?" Ini suara Om Chandra.
"Habis ini Ifa langsung pamit, Om."
"Diantar Erlang, kan?" Om Chandra melirik putranya.
Haifa yang jawab, "Oh, nggak. Haifa pulang sendiri aja."
"Lho? Nggak bisa gitu." Tante Wendi menyela setelah tawa yang tadi usai. "Anterin dong, Lang. Sama calon istri, kok, gitu banget kamu? Belum apa-apa udah mau ngebiarin Haifa pulang sendiri."
Mas Erlang yang diomeli.
"Eh, nggak, Tante. Ini Haifa sendiri yang minta, kok. Nggak pa-pa."
"Nggak bisa gitu, Sayang. Erlang tetep harus antar Haifa pulang."
Wah ....
Fokus Haifa bukan ke makna ucapan, tetapi lebih kepada sebutan 'sayang' dari lisan mamanya Mas Erlang. Kok, begitu saja dia senang, ya, mendengarnya? Berasa betulan diinginkan. Hanya karena satu panggilan itu.
Sayang.
"Iya, Ma. Nanti Erlang antar."
Eh, eh, bentar!
Haifa menoleh kepada masnya, di situ Erlang lanjut bicara. "Titip Galen aja nanti, ya."
Demikian, Haifa tidak bisa protes. Dia pasrah pada akhirnya. Lagi pula, mau sekarang atau nanti toh Mas Erlang tetap akan datangi rumah keluarga Haifa. Iya, kan?
Dan bicara soal Galen, bocah itu sedang asyik bermain di halaman bersama anak tetangga. Kelihatan juga dari dalam sini. Oh, ya ... apakah Galen sudah tahu kalau Nanny Onty-nya akan alih status jadi mommy? Bagaimana tanggapan anak itu nanti, ya?
Haifa kembali pamitan untuk pulang. Benar-benar pulang. Dia sudah memutuskan. Menatap Mas Erlang dengan yakin ... calon suami.
***
[Haifa otewe pulang.]
Sebuah barisan kata yang dia ketik dan kirimkan di grup keluarga. Ada papa, mama, beserta tiga anak mereka lainnya. Lalu Haifa meninggalkan ruang chat dan dia kunci layar ponselnya, belum siap buat baca tanggapan mereka, barangkali ada yang menanggapi.
Haifa rasa, lihat nanti saja di rumah.
Rumah yang terasa seperti neraka baginya.
Dari kecil.
Entah kalau saat bayi bagaimana, tetapi semenjak Haifa dinilai tidak pandai main piano, tidak bakat melukis, juga nilai di sekolahnya tidak sempurna sebagaimana Bang Haidar, Bang Deril, dan Kak Gea ... dia langsung merasa disikapi berbeda oleh mama-papa, merambat ke ranah keluarga, bahkan kakak-kakaknya. Sekali pun itu Bang Deril, dulu sama sekali tidak ada tindakan membela, lebih ke diam saja. Namun, kemarin Bang Deril bilang ada di pihaknya.
Iyakah?
Atas dasar apa?
"Benar ke sini arahnya?"
Oh, iya. Haifa tidak sedang sendiri.
Ada Mas Erlang yang tengah mengemudi.
"Iya, bener, Mas. Ikuti maps aja," sahutnya. "Sebelumnya emang Mas belum pernah ke wilayah itu?"
"Belum, saya rasa." Mas Erlang menoleh sekilas kepada Haifa. "Tapi saya tau itu perumahan yang biasanya ditinggali sama orang-orang di atas status 'berada'."
Haifa menyunggingkan bibirnya. Senyum.
"Kamu bukan dari keluarga yang biasa-biasa aja ternyata." Mengerling kepada gadis di sisinya, Erlang mengimbuhi. "Jauh di luar ekspektasi."
Dan ... Haifa tertawa. "Emang Mas berekspektasi apa soal aku?"
"Pertama, kembang desa. Tapi ternyata kamu bahkan nggak lahir di desa itu, nggak asli sana."
"Terus?"
"Kedua, remaja puber yang lagi seneng digoda dan ngegoda cowok." Erlang berucap sambil terkekeh.
"Ketiga?"
"Ya ... anak gadis dari keluarga biasa-biasa, terus orang tuanya punya utang sama juragan di kampung, makanya itu kamu bilang dijodohin ke duda anak satu. Terus, kan, kamu kabur ke kota."
"Ya Allah! Masuk akal semua lagi." Haifa tertawa. "Mas Erlang imajinatif banget, ya? Haha!"
"Coba ngaca, Fa," balasnya. Melirik Haifa. "Kamu juga udah membuat kesimpulan soal duda anak satu yang dijodohin sama kamu itu dengan visual buncit dan bau balsem, kan?"
Sial.
Haifa semakin terbahak.
Aduh ... nggak kuat.
Memang begitu bayangannya. Mengerikan!
"Tapi saya, kok, nggak merasa terhina, ya?" imbuh Mas Erlang. "Malah jadi nggak sabar buat kasih liat perut dan aroma tubuh saya yang keringetan ke kamu di malam pertama kita nanti."
Eh?
Eh?!
Tawa Haifa seketika tenggelam. Dia menoleh disertai delikan matanya. "Jauh amat, Mas, nyambungnya udah ke arah situ lagi aja."
Erlang menyeringai.
Tanpa kata.
Tatapannya juga lurus ke depan.
Uh ....
"Jadi takut, deh!" seloroh Haifa, memeluk diri, pun menatap terang-terangan tubuh Mas Erlang.
Nih, ya ... ototnya kelihatan 'jadi'. Alias numbuh. Kemeja lengan panjang yang dikenakannya saja berasa sesak napas di sana. Ada dua kancing teratas yang sengaja dibuka dan Haifa pernah memegang area d**a masnya di waktu ciuman. Di gazebo.
Mungkin Haifa belum cerita soal ini, tetapi dadanya Mas Erlang itu ....
"Jangan cuma dilihat, diraba juga boleh kalau mau."
Astagfirullah!
Haifa auto memalingkan wajahnya. Menatap jendela sisi mobil. Dan, ya, Mas Erlang tertawa.
"Bisa-bisanya kamu takut, padahal kamu predatornya, lho, Fa." Di lampu merah, Erlang colek pipi Haifa.
Argh!
Nggak, ya.
Haifa tidak menggubris. Tetap menatap ke sisi jalan saja. Nggak mau lihat wajah Mas Erlang ... yang bilang, "Ciuman kedua kita, kan, kamu yang mulai."
Di gazebo?
Haifa mingkem serapat-rapatnya.
Diledek terooos!
Oh, sepanjang jalan itu.
Tak terasa, gerbang depan area perumahan Haifa sudah dilewati mobil ini. Melaju pelan, menyusuri jalan perumahan yang tiap bangunannya megah-megah melebihi kawasan rumah orang tua Erlang.
"Wah ... bener kamu tinggal di antara salah satu rumah ini, Fa?"
Haifa menggigit bibit bagian dalamnya, sebelum kemudian menyahut, "Hm ... iya."
Mas Erlang lalu menoleh, memandang Haifa. "Udah kelihatan belum hilal pagar rumahnya?"
"Belum. Simpang empat di depan, belok kanan, Mas. Baru kelihatan."
"Oke ...." Erlang lakukan. "Yang mana, Fa?"
"Yang pagar putih itu, berhenti. Itu rumah orang tua aku," seloroh Haifa. Entah kenapa malah jadi lemas setibanya di sini.
Tuhan ....
Apakah orang-orang sudah membaca chat-nya di grup? Lalu, apakah mereka ada di dalam sana? Haifa gugup ... atau takut?
"Silakan, Tuan Putri." Erlang mengacaukan gelembung lamun gadis itu. Dengan sebuah bisik dan pergerakan tubuh yang condong, lalu membukakan sabuk pengaman Haifa.
Hampir saja kena!
Haifa terkesiap brutal di tempatnya.
Oh, tidak.
Bibirnya.
Bibir itu.
Lagi.
Bedanya, ini di mobil. Pun, tidak menempel. Hanya sekadar 'hampir'.
Mas Erlang lalu senyum, agaknya terkesan penuh arti, tetapi tubuhnya mundur dan menciptakan jarak aman kembali. Baru tersadar, ternyata Haifa menahan napas sejak tadi, menatap seraut wajah Mas Erlang yang semula tiba-tiba begitu dekat. Spontanitasnya, jantung Haifa berdegup lebih intens tanpa dia kehendaki.
Ya ampun.
"Nggak turun?"
Tuh, kan, malah melamun lagi.
Pintu mobil di bagian Haifa sampai Mas Erlang yang buka. Sosok daddy-nya Galen itu malah tertawa.
Lucu, ya?
Membuat hati Haifa berbunga, setidaknya sampai lupa bahwa tadi dia dirundung ketakutan tak berperi setibanya di sini.
Di kediaman Samarawijaya.
***
Dulu Erlang sebelum jadi penerus bisnis orang tua, dia adalah dosen di sebuah kampus yang terletak pada bagian Jawa Tengah, tepatnya wilayah tinggal sang sepupu--Abian Lorenzo.
Bentar, Erlang lupa-lupa ingat. Jawa Tengah atau Timur, ya? Yogyakarta atau Surabaya? Intinya, di sana.
Dengan Abian Lorenzo--lupa juga benar atau tidak nama lengkap sepupunya, Erlang pernah menjelma sebagai parasit sebab orang tua menerornya untuk menikah, jadilah dia numpang hidup sejenak di rumah Abian sampai menyerah dan pulang.
Oh, ya, sebelum itu, Erlang senang bertualang. Di sini dalam arti 'centil' ke perempuan. Dia punya banyak incaran, dari yang masih gadis sampai janda pun pernah. Cuma buat dicentilin aja, istilahnya. Erlang goda-goda, yang digoda pun baper, lalu Erlang menghilang.
Jahat, ya?
Sampai Erlang bertemu mahasiswa S2 yang ternyata aslinya sudah punya gelar magister juga di belakang nama. Jadi, S2 yang kedua. Hanya beda jurusan saja.
Awalnya Erlang kira itu sesama dosen, eh, ternyata asdos-nya (asisten dosen), masih mahasiswa pula. S2, sih, ya. Dengan nama Geanica Rahayu Samarawijaya.
Erlang dibuat takjub sekaligus nyaman berpartner dengan Nica. Sebutannya.
Nggak lama.
Kebersamaan dengan Geanica hanya sesaat Erlang di detik-detik mau menyerah pada permohonan orang tua, dia harus pulang, harus meninggalkan kota tersebut berikut pekerjaan dosennya. Tentu, termasuk Geanica juga.
Saat itu ... Erlang pikir sama seperti yang sudah-sudah.
Didekati, baper, lalu dia pergi.
Namun, ada yang beda.
Erlang kepikiran.
Nggak bisa buat nggak cari-cari tahu lebih jauh soal Geanica. Ajaibnya, ada di internet.
Ah, nggak. Bukan ajaib, tetapi ternyata memang Geanicanya yang luar biasa sampai situs sejenis Wikipedia saja tercantum namanya. Jujur, Erlang baru tahu ada keluarga kaya raya dengan nama family Samarawijaya.
Erlang scroll.
Dia pun menemukan media sosialnya: Geanic_a.
Langsung Erlang follow. Dan sejak saat itu, ada debar asing di dadanya. Erlang paham itu debaran jenis apa. Namun, kesampingkan dulu. Di sini Erlang fokus pada dirinya sendiri dulu. Memenuhi apa yang orang tuanya mau, yakni melanjutkan bisnis permodelan itu.
Bak takdir dengan semesta mendukung, di suatu projek, Erlang dapat undangan untuk hadir di acara besar semacam parade Miss Indonesia. Dia datanglah ke sana. Di satu waktu, Erlang tidak menyangka kalau Geanica adalah salah satu pesertanya.
Wah ....
Dari sanalah kedekatan itu kembali dijalin. Sampai-sampai Erlang terpikir untuk fokus di satu titik saja. Geanica. Pun, terlintas untuk membawanya ke jenjang serius.
Namun, waktu demi waktu, belum juga Erlang sampaikan maksud hatinya yang sudah terpikat sedari lama, Geanica bicara soal pacarnya. Baru jadian, katanya. But, sudah lama Nica naksir pria itu. Sedangkan dengan Erlang, sebatas sahabat ... lebih spesial dari teman.
Fine.
Erlang tidak akan ganggu, meski hati masih menggebu untuk mencari celah mana tahu hubungan mereka juga nggak akan lama.
Waktu demi waktu.
Sampai Erlang datang ke tempat Geanica, saat itu apartemen di tengah kota, niatnya mau ungkapkan rasa ronde dua, tetapi kali ini dengan apa pun risikonya--mau ditolak juga tak apa sebab Geanica memang masih belum putus dengan pacarnya, Erlang cuma mau memfinalkan urusan hatinya.
Namun, apa hal yang justru terjadi di sana?
"Aku hamil dan dia nggak mau tanggung jawab, jadi buat apa aku pertahanin bayinya?!"
Erlang sampai membeku.
Mulanya dia melihat Gea hendak menenggak berdosis-dosis obat, tetapi keburu ketahuan sama Erlang yang memang tahu apa kata sandi apartemen gadis itu.
"Ha-hamil?"
Geanica menjerit.
Lagi, dia hendak melakukan apa pun pada janin di dalam perutnya. Erlang juga telah melihat ada testpack garis dua di sana. Lalu ... Geanica. Kekacauannya. Memukul-mukul perut, detik itu juga Erlang menghalau.
Mengesampingkan perasaannya, Erlang menenangkan sosok yang dia sebut Nica.
Dulu.
Sudah jauh berlalu.
Tanpa pernah Erlang duga--dulu--akan dipertemukan dengan situasi seperti sekarang. Di mana hari ini, bukan soal perasaan Erlang kepada Geanica yang telah lama tenggelam, tetapi soal keterkejutannya--yang Erlang rasa mestinya dia tidak seterkejut ini.
Oh, iya ....
Bukankah selaras dengan firasatnya?
Di rumah Haifa--ralat, rumah orang tua Haifa, Geanicalah yang membukakan pintunya. Tepat jatuh sorotan mata itu di mata Airlangga.
Belum lagi suara Haifa yang bilang, "Kak Gea ...."
Semakin memperjelas bahwa mereka bersaudara.
Jadi, mungkinkah?
Haifa Gayatri ... Samarawijaya?
Ah, ada jantung yang terasa henti berderdetak untuk sesaat ... jantung siapa?