12. Sambutan dari Mama

1483 Kata
"Ini, toh, Airlangga?" Ah, iya. Itu suara mamanya Haifa--Maharani Maelie, Nyonya Samarawijaya. Di sana, Erlang telah dipersilakan masuk. Di mana Haifa juga ikut duduk. Sedangkan, yang tadi membukakan pintu untuk mereka telah berlalu. Yang sesegera mungkin memutus kontak mata dengan Airlangga, lalu bicara kepada adiknya. "Akhirnya kamu pulang, ya, Haifa? Udah capek mainnya? Ya udah, Kak Gea ada urusan. Kalian silakan masuk dan kamu panggil sendiri aja mama ada di dalam, Fa." Seperti itu. Geanica langsung melenggang. Selepas merasakan sentakan mengerikan di jantungnya, tepat ketika mata ini melihat sosok pria yang berdiri di belakang Haifa. "Iya, Tante. Saya Erlang, orang-orang manggil saya begitu." Dibubuhi senyum sopannya. "Oh, ya, sebelumnya saya minta maaf. Haifa ada sama saya di saat keluarganya nyariin. Sekarang, saya pulangin." Tante Rani terkekeh, gerak dan suara kekehannya terkesan sangat anggun. "Eh, udah pada tau kalau kalian ini sama-sama subjek perjodohan? Ini saya to the point aja, ya, Erlang, yang mau saya jodohin ke kamu itu Haifa. Malah kabur anaknya, tapi dasarnya jodoh, ya, ternyata kabur bareng kamu." Haifa menatap sang mama, sedangkan Erlang terkekeh. "Kalau begitu, sudah clear, ya, Tante? Terkait perjodohan, kembalinya Haifa, dan yang pasti ... saya terima perjodohan itu." Mendengarnya, entah kenapa Haifa merasa tenang. Di sini, Mas Erlang sudah tahu tentangnya, soal garis keturunan Samarawijaya, padahal sebelumnya waktu ditanya Haifa pernah jawab bukan siapa-siapanya keluarga ini. Mas Erlang tidak berubah pikiran, dia menepati ucapannya sewaktu di gazebo. Syukurlah .... Sunggingan senyum tipis pun terpatri di wajah Haifa, agaknya dia menunduk, menatap jamuan di meja yang tadi ART bawakan. "Berarti, kapan kiranya Nak Erlang mau datang lagi? Bawa keluarga, lho, sekalian penentuan tanggal aja. Ah, tapi bulan ini kami lagi fokus sama acara kakaknya Haifa dulu. Lusa nanti menikah." Kak Gea. Geanica. Mau menikah, kok, tadi dibiarkan keluar? Apa boleh begitu? Biasanya, kan, calon pengantin ada istilah pingitan. "Bulan depannya aja kalau gitu, Tan. Oh, ya, gimana, Sayang? Bulan depan Mas ke sini bawa mama sama papa, kamu udah siap, kan?" Hah? Sayang? Di depan mamanya. Haifa praktis menatap Mas Erlang, agak kikuk, tetapi seelegan mungkin Haifa merespons dengan bahasa tubuh--anggukan, senyuman, dan sorot matanya. Maharani tersenyum. "Oke, deh. Kalau gitu salam buat mama sama papa kamu, ya, Lang. Dan nanti di acara kakaknya Haifa ini, kalian datang, lho." "Iya, Tante. Dan saya boleh sambil gandeng Haifa, kan?" Mama Haifa terkekeh lagi, diliriknya sang putri, dirangkul akrab, seraya berucap, "Kesayangan Tante, nih. Boleh digandeng, tapi jangan sampai dibawa kabur lagi, lho." Haifa senyum mendengarnya. Kesayangan, ya? Dan lagi ... "Haifa yang kabur sendiri, Ma, ke tempat masnya. Bukan Mas Erlang yang bawa kabur Ifa." "Oalah ... maaf, ya, Erlang. Ternyata Tante yang kurang baik ngedidik anak. Tapi memang anak itu kadang kalau disayang kebangetan, suka ada aja yang tumbuh kayak Haifa. Nakal dia. Kamu juga pasti udah denger, kan, waktu itu soal calon kamu yang masih menjalani hukuman? Ya, ini, nih. Ada aja ulahnya. Tapi syukur kamu nggak kabur, Lang. Malah Haifa ... ya ampun. Sampai nggak ada muka, lho, Tante, pas didatengin orang tua kamu. Malu." Haifa menahan senyum getir sekaligus muaknya dengan menggigit bibir bagian dalam, mendengarkan dengan saksama apa yang mama katakan. Biar apa, sih, kayak gitu? Mas Erlang tertawa, terdengar renyah sekali di telinga. "Yeah ... kalau saya kabur, sekarang saya pasti lagi nyesel banget udah melewatkan sosok seperti Haifa, Tante." Sambil menatap gadis itu, Erlang bicara, "Dan untungnya dia kabur ke saya." Seketika, hanya dengan begitu, Haifa kembali mendapatkan ketenangan di hatinya dari yang semula bergemuruh oleh tiap kata sang mama. Haifa juga melepas senyumnya, tanpa ditahan, tanpa ada getir atau muak, ini pure senyum karena senang dan tersanjung. Mas Erlang bisa saja! Mama Haifa pun tertawa, masih super anggun. "Oke, oke. Tante akan sebut ini sebagai kekuatan dan takdir cinta, ya, Erlang?" Cukup lama bercengkerama sampai akhirnya Mas Erlang pamitan, Haifa pun mengantarkan gerangan sampai ke gerbang, lalu dadah-dadah dan masih terus tersenyum, kelihatan di spion mobil masnya juga senyum, hingga tak lagi terlihat karena tikungan. Demikian, telah resmi berhubungan, kan? Hubungan romantis, manis, dan mesra-mesraan. Ah, Haifa larut dengan euforianya sendiri. Terngiang kalimat perpisahan Mas Erlang tadi di sebelum masuk mobil, katanya, "Sekarang kita udah nggak serumah lagi, tapi nggak pa-pa, nanti saya jemput dan bawa kamu pulang ke sana. Oh, ya, silakan kangen selama waktu menuju hari itu." Hingga kaki kembali membuatnya masuk ke rumah yang telah lama dia tinggalkan. Rumah keluarga Samarawijaya. Adalah detik di mana Haifa ... plak! Begitu suaranya. Hal yang Haifa dengar dan jelas, panas di pipi. Dia mendapatkan satu tamparan keras dari tangan mama, sosoknya yang berdiri di dekat sofa, seakan memang sedang menunggu Haifa. Sepersekian waktu, Haifa lalu menatap mama, tampak tengah menahan amarah mahadahsyat dari urat-urat wajah dan lehernya. "Akh--Mama!" Nggak nyangka, rambut pun dijambak. Jantung Haifa berdetak begitu hebat, debaran di dadanya juga kuat dan menggebu, oh ... Haifa memang tidak pernah merasa diperlakukan baik oleh mamanya, tetapi dia juga baru kali itu merasa diperlakukan seburuk ini. "Ma!" Beruntung ... Bang Haidar pulang. Abang nomor satu, Haifa dibantu lolos dari cengkeraman tangan mama di rambutnya. Berdebar-debar mengerikan d**a Haifa, lantas dia bersitatap dengan mama. Why? Apa harus semarah itu? Bang Haidar pun merangkul mama, yang lalu mengajaknya dengan agak memaksa ke arah kamar. Sedangkan, Haifa di sini. Di ruang tamu. Gemetar samar, sampai kemudian terduduk syok di lantai. *** "Haifa?" Ada yang mengetuk pintu kamar. Oh, Haifa sudah di dalam sana. Dengan langkah gontai, juga tangan memegang kepala bekas dijambak mama. Haifa tidak tahu apa salahnya di keluarga ini, selain soal bakat yang membuatnya dicap produk gagal, tetapi jika mama sampai begitu, bukannya sudah sangat keterlaluan? Memang, sih. Pernah diserang secara fisik, tetapi itu cuma lemparan majalah dan tidak sampai benar-benar mengenai tubuhnya. Namun, yang tadi? "Bang Deril?" Haifa bukakan pintu kamar. Abang nomor dua, selama ini dia terkesan pasif akan keberadaan Haifa, tetapi entah sejak hal apa tepatnya, akhir-akhir ini jadi peduli. "Bang Haidar bilang kamu berantem sama mama, apa ada yang luka? Katanya dijambak, ya?" Haifa ber-oh ria. "Ditampar juga, sih. Ini ... apa nggak keciri bekasnya? Tangan mama pedes banget, gila." Menunjuk pipi. Deril mendekat. Menjulurkan tangan. "Masuk, Abang obatin." Berhubung dia dokter. Tapi, ya, toh cuma luka kecil. Sepedas-pedasnya tamparan mama, ternyata tak sampai membuat mata Bang Deril melihat bekas tamparannya. Berarti ini belum seberapa. "Nggak usah, Bang. Udah. Oh, ya, papa lagi nggak di rumah, ya? Ifa belum liat papa." Masih di ambang pintu kamar Haifa, lantai dua. "Iya, Papa belum pulang. Masih di luar." "Kak Gea? Tadi Ifa liat, calon pengantin, kok, ke luar? Belum pulang juga?" "Kamu liat Gea, tapi nggak liat papa? Mereka, kan, pergi bareng." Eh? "Ifa nggak liat." Diiringi senyum gelinya, palsu, Haifa sembunyikan perih di d**a. Kalau memang Kak Gea pergi dengan papa, kalau memang Bang Deril sampai berkata begitu, harusnya papa melihat Haifa, kan? Kok, nggak menghampiri? Kok, nggak nyapa? Atau ... kok, nggak batal pergi? Haifa pulang. Dia juga datang tidak sendiri ke sini. Atau memang posisi papa yang tidak Haifa lihat, juga berada di posisi yang tidak dapat melihat Haifa? Deril melihat kegundahan di wajah adiknya, tetapi tak bisa bereaksi patut, dia justru pamit ke kamar jikalau Haifa betul-betul tidak ada luka serius. Bukannya apa, tetapi Deril sendiri merasa aneh kalau sekarang tiba-tiba dia jadi sangat perhatian. So, segini saja cukup. Haifa pun masuk lagi ke kamar. Memupus bulir air mata yang jatuhi pipi. Dia mengetikkan pesan kepada sosok yang entah sejak kapan, Haifa nyaman sekali dengannya. [Kok, bulan depan lama banget, ya, Mas?] Benar. Teruntuk Airlangga. Eh, langsung dibalas. Mas Erlang: [Lha, udah gak sabar mau di-unboxing, ya?] Astaga. Ada saja .... Haifa terkekeh pelan, sambil dia pupus laju air mata yang tak terkendali detik ini. Haifa: [Pengin cepet-cepet jadi pribumi di rumahnya Mas Erlang, pasti seru.] Mas Erlang: [Haha! Tapi kalau kita nikah, tinggalnya bukan di rumah kemarin, lho. Itu rumah mama. Saya pasti beli baru.] Haifa: [Seruuu!] Haifa: [Andai ada mesin waktu ....] Mas Erlang: [Kalau ada, dari dulu saya pasti udah pake itu buat dipercepat ketemu kamu.] See! Begini saja pipi Haifa bersemu, padahal tadi hatinya terluka parah, jejak air mata pun masih belum kering, tetapi lagi dan lagi Haifa bisa tertawa. Senyum-senyum menatap ponselnya. Haifa: [Biar apa cepet-cepet ketemu?] Mas Erlang: [Biar bisa cepet-cepet kasih paham anak gadis yang satu ini soal pesona duda anak satu!] Haifa: [Lho, emangnya Mas Erlang bakal tetep jadi duda sejak masa itu?] Mas Erlang: [Eh, ya, nggak tau.] Haifa: [Wkwk.] Haifa: [Mas udah nyampe dari tadikah?] Mas Erlang: [Iya, tapi baru pegang hape. Mau chat kamu ini juga. Biasalah ... dateng-dateng Galen nyegat minta jajan ke indomerit depan. Katanya, suruh siapa nggak ngajak Galen, jadi dia jajan udah kayak ngerampok. Lama pula, milih-milih susu.] Haifa: [Oh, gitu ....] Bingung mau balas apa, tetapi di sini Haifa tersenyum. Dan saat dia ketik pesan selanjutnya, pesan Mas Erlang muncul lebih dulu, isinya: [Ngomong-ngomong, waktu itu kenapa kamu nggak jujur pas Mas tanya siapanya keluarga Samarawijaya?] Iya .... Kenapa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN