10. Firasat Benar yang Salah

1826 Kata
Hidupkan, mati? Hidupkan ... mati? Hidupkan atau biarkan saja nonaktif, ya, ponselnya? Ah, persetan! Sekarang Haifa sudah tidak takut lagi kalau mama dan papa menemukannya. Toh, Haifa sudah punya senjata ampuh untuk melawan gagasan mereka. Jadi, dia aktifkan ponselnya. Menunggu, menunggu, lalu ponsel memulihkan data hingga muncul banyak sekali notifikasi. [Fa, di mana?] [Kasih tau Abang.] [Abang ada di pihak kamu.] [Segera telepon Abang kalau udah aktif nanti, ya.] Bang Deril. Ah, begitu saja mata Haifa berkaca-kaca. Memang, sih, sejauh ini hanya abang nomor duanya yang bersikap lebih baik kepada Haifa. Derilion Samarawijaya. Meski sering tak kuasa sebab terbatas ruang geraknya untuk membela Haifa, tetapi sepertinya mulai terlihat ada bau-bau menuju pemberontakan. [Jangan bikin ulah.] Dan itu pesan dari Bang Haidar. Lebih memihak orang tua, kakak sulungnya. Pun, cuma satu itu saja pesannya, selebihnya adalah jejak panggilan tidak terjawab. Lantas, Geanica .... [Pulang.] [Kakak mau nikah, bisa nggak gak bikin ulah?] [Nurut coba.] [Jangan terima perjodohannya.] [Kasih tau Kakak kamu di mana.] [Fa, kalau mau kabur, yang jauh. Kakak bantu.] Dan, ya ... langsung berdering tanda ada panggilan masuk di ponsel Haifa dari kontak Kak Gea. "Sibuk?" Eh! Haifa terkesiap. Oh, tidak. Bukan dari panggilan telepon, melainkan itu suara Mas Erlang. Membuat Haifa tidak menggubris sambungan nirkabel tersebut. Sebentar. Ini hari di mana semalam telah terjadi persilatan dahsyat bibir ke bibir, yakni bibir mereka. Haifa jadi deg-deg ser setiap kali berpapas pandang dengan gerangan, khususnya dengan bibir Mas Erlang. "Ng-nggak, Mas." Haifa letakkan ponselnya, sudah dia mode pesawatkan. Erlang melihat itu, dengan tidak berkata apa-apa. "Galen bangun, ya?" Dia sedang tidur siang, makanya itu Haifa bisa sejenak berdiam diri di kamar. Rupanya Mas Erlang sudah pulang. Bicara-bicara, tadi pagi waktu sarapan bersama, Haifa malu banget. Dia yakin orang tua Mas Erlang sudah tahu perihal hubungannya dengan putra tunggal mereka. Yeah ... terlihat dari lirikan Tante Wendi, meski tidak bicara apa-apa, terkhusus soal Haifa dan Mas Erlang. Namun, tetap saja terasa auranya. Walau demikian, Om Chandra bersikap seperti biasa, tetapi tentu sudah dapat info terkini dari istrinya, soal pesan keputusan dari Mas Erlang. Iya, kan? Kini, fokus saja kepada mereka; Haifa dan Airlangga. "Belum, kok," ucap Mas Erlang. "Kamu udah akrab sama dia, ya? Hebat bisa bikin Galen tidur siang." "Oh, itu dibantu Tante Wendi." "Semangat, ya! Next time kamu pasti bisa bikin Galen bersedia bobok siang sendiri." Sambil meraih jemari Haifa. "Oh, ya, lain kali Mas ketuk pintu dulu, dong, kalau mau masuk. Ini, kan, wilayah pribadi aku. Jangan mentang-mentang rumah Mas sendiri, terus bisa seenak jidat masuk kamar tamu." Dari awal Haifa di sini, Erlang sudah begitu. Dia lalu tertawa. "Maaf, maaf. Merasa udah sangat akrab sama kamu, jadi lupa sama batasan, apalagi sekarang statusnya adalah calon istri." "Ya, next time ketuk pintu dulu." "Iya." Masih menggenggam tangan Haifa, lalu ditarik lembut dan bangkit dari duduknya, semula memang duduk di tepi ranjang bersama Haifa yang sibuk dengan ponsel. "Ikut saya dulu sebentar." "Ke mana?" Melewati pintu kamar. Haifa auto melepas genggaman. Malu, bukannya apa. Masih waswas ketahuan mesra secara rill. "Mas jalan duluan aja, aku ngekor," imbuhnya. Erlang mengerti, dia mengikuti apa kata Haifa. Padahal rumah ini sedang sepi. Dan Erlang, dia membawa Haifa ke gazebo semalam. "Kenapa kita ke sini lagi?" Erlang duduk dan Haifa juga demikian. Mereka lantas sama-sama saling berpandangan. Hanya dengan begini, Haifa deg-degan. Nggak akan terjadi adegan panas sebagaimana semalam, kan? Ayolah ... terngiang-ngiang. Tekstur bibir Mas Erlang, gerakannya, hingga--stop! Haifa berdeham, pipinya merah padam, dengan pandangan yang dia alihkan. Fokus, please! "Ini." Oh, sorot mata Haifa yang tidak kepada Erlang, kini kembali, hanya saja dia menatap sesuatu yang Mas Erlang sodorkan dulu tepat di depan dadanya. "A-apa itu?" Sebelah alis Erlang terangkat. "Kamu udah lupa wujud cincin atau emang nggak tau?" Ah, iya. Cincin. "Taulah. Maksud aku ... buat apa?" "Buat kamu pakai sebagai simbol udah jadi milik Erlang. Sini mana jarinya?" Meraih tangan Haifa, tetapi tangan itu malah terkepal. "Kenapa? Nggak mau? Semalam katanya yes?" "Mau. Tapi nggak sekarang gak pa-pa, kan?" Kembali berpandangan. "Kasih aku cincin itu pas nanti di depan orang tua kita aja." Oh, iya .... "Sekarang kita saling mengenal dengan penuh kejujuran dulu aja, Mas," imbuh Haifa. Semalam dia belum jujur karena keburu panas hawanya, takut bablas atau ada sayton yang semangat menggoda, jadilah kabur ke kamar di detik kiss bibirnya terlepas. Baiklah. Erlang masukkan lagi cincinnya ke saku. "Mas nggak marah, kan? Paham maksud aku, kan? Aku bukannya nggak mau, lho." "Iya, Haifa ... nggak usah panik gitu, dong. Kok, berasa kayak takut banget batal nikah sama saya? Perasaan semalam masih ragu." Sambil tertawa. Haifa mengulum bibirnya. "Eh, Galen udah bangun belum, ya? Aku--" "Ada mama," ucap Erlang, menahan pergelangan tangan Haifa yang hendak beranjak. "Untuk hari ini, harinya kita. Saya udah minta tolong mama soal Galen, makanya ini saya pulang cepet, kan? Oh, ya, saya bukan fotografer." Haifa mengerjap. "Atau mau keluar? Kencan? Mumpung saya udah booking kebebasan untuk kita berduaan ...." Dibubuhi seringai di bibirnya. Haifa berdeham. "Di sini aja kalau gitu ... nggak mesti keluar. Daripada momennya, kita lebih butuh waktu buat ngobrol ketimbang jalan." Setidaknya, untuk saat ini. Erlang senyum. "Tapi kalau siang, di sini kita nggak aman kalau mau ciuman." Eh, eh! Haifa melotot, pipi kembali memerah. Plis, ya! "Skip bahasan soal itu, Mas." Erlang tertawa. Jadi, Haifa duduk kembali. Benar, mereka perlu ngobrol dengan durasi lebih panjang. Lantas, mereka pindah posisi agak ke dalam gazebo, bersandar di sisinya, dengan tetap bersampingan. Oh, tidak. Agak menyerong agar terkesan berhadapan. "Mulai dari mana?" ucap Erlang. "Aku udah tau soal Mas yang bukan fotografer." "Kelihatan dari baju dinasnya, ya?" "Berdasi, rapi, lebih percaya kalau Mas waktu itu bilang orang kantoran yang hobi foto-foto." Erlang terkekeh. "Terus?" "Aku juga bukan kembang desa, bukan seperti yang Mas denger dari omongan orang-orang di desa waktu itu." Erlang geming menyimak. Menatap seraut cantik wajah Haifa. "Dan aku bukan dua puluh delapan tahun ...," cicitnya. Lantas? "Berapa tahun?" Erlang menjulurkan tangan, dia mainkan rambut Haifa yang tergerai. Gadis itu menggumam panjang, membuat Erlang penasaran. "Nggak pa-pa, bilang aja." Mata Haifa juga menyipit, Erlang semakin ingin tahu. "Saya hitung sampai tiga, kalau nggak bilang juga, cium. Satu--" "Dua puluh empat!" seru Haifa, memangkas ucapan Erlang di sana. Pun, gerak jemari Erlang di rambut Haifa sampai terhenti. Dengan sorot mata tertuju penuh ke arah Haifa seolah bicara: Are you kidding me?! Jantung Haifa dag-dig-dug ser lagi. "Age gap-nya puluhan tahun, ya?" gumam Erlang. "Cuma sepuluh, kok," ralat Haifa. Di sana, Erlang lalu tertawa. Astaga. Serius?! Ditatapnya lagi Haifa. Memang, sih ... kelihatan muda, tetapi kenapa harus dua puluh empat? Kan, jadi semakin curiga. "Apa lagi selain usia?" Haifa terdiam lama. Dia basahi bibir. "Oh, ya, alamat rumah orang tua, misalnya? Biar bisa disegerakan pasang cincinnya." Itu berarti ... "Nggak masalah soal umur, kan, Mas?" "Harusnya saya yang tanya, kamu yakin mau sama saya yang tiga puluh empat? Ah, tapi kamu udah nggak saya izinkan sekadar buat ragu. Gimana, ya?" Haifa meringis. "Nggak masalah, selagi bukan om-om berperut buncit, bau balsem, dan duda cerai ...." "Sebentar." Erlang menyela. "Kamu kabur dari perjodohan karena itukah? Seingat saya, sama duda anak satu, kan?" Duh, iya. Haifa nyengir. Kalau sedang begitu, semakin terlihat masih sangat-sangat muda. Erlang kontan terbahak. Sungguh, bukan cuma tertawa, tetapi terbahak-bahak hingga sudut matanya berair. Jadi? "Apa pikiran kita sama, Haifa?" Siapa dengan siapa yang sedang terlibat perjodohan, tetapi mereka tidak mengetahui itu. Erlang pandangi wajah Haifa, hanya tinggal satu lagi kecurigaannya tentang gadis ini. Pun, detik itu, mata Haifa membulat, dia terkejut. Jika dan hanya jika benar seperti itu, Mas Erlang adalah laki-laki yang hendak dijodohkan dengannya, lalu ... bukankah ini tersesat yang nikmat? "Kalau gitu, aku harus pulang." "Harus." Erlang meraih jemari Haifa. "Saya antarkan." Iya, itu terdengar baik. Namun, Haifa menggeleng. "Aku pulang sendiri aja, Mas bisa nyusul sama keluarga. Tapi sebelum itu, makasih tumpangannya, dan maaf atas semua identitas palsu aku, termasuk soal usia. Meski begitu, aku udah nggak boleh mundur, kan? Berarti Mas juga nggak boleh ngedorong aku. Janji, ya?" Haifa merasa resah saat terlintas tabiat keluarga terhadapnya, barangkali nanti Erlang jadi berubah pikiran, sekali pun ada unsur perjodohan di balik unsur mau sama mau ini. "Kayak anak kecil aja janji jari kelingking," seloroh Erlang, meski begitu dia tetap mengaitkan jemarinya di kelingking Haifa. Janji. Haifa senyum dan bilang, "Apa boleh pamitan sekarang?" "Di hari yang udah saya booking supaya kita bisa berduaan? Nggak mau tunggu besok aja?" "Kalau gitu, sekarang aku mau jalan-jalan. Tanpa obrolan berat soal kita. Mau nikmati kebersamaan aja. Boleh, kan?" "Belum jadi istri, kamu udah banyak minta, ya, Haifa?" "Kalau udah jadi istri, pasti Mas yang bakal banyak maunya, kan?" "Kasih contoh, Fa." Erlang mengerling nakal. Dasar, ya. Haifa beranjak dari sana. Well .... Dia benar-benar tersesat. "Mas." "Iya?" "Sebelumnya, udah denger soal siapa cewek yang mau dijodohin sama Mas Erlang, misal tentang keluarganya?" "Kamu bilang tanpa obrolan berat soal kita." "Untuk yang itu, jawab aja." "Belum. Nggak penasaran juga. Tapi kalau sekarang jadi kepo, sih. Boleh tanya langsung, kan? Keluarga kamu--" Bibir Erlang disabotase. Haifa menekan bibir itu dengan jari telunjuknya, pun sorot mata agak tersirat perintah agar Erlang henti bicara. Namun, dasar lelaki dewasa! Pergelangan tangan Haifa malah dicekal dan lalu dikecup-kecup jemarinya. Oh, please! Apa sopan? Sejenak membuat Haifa teralihkan, dari yang semula kepikiran tentang keluarganya. Samarawijaya. Sebelumnya, Haifa bilang bukan siapa-siapanya keluarga itu, kan? "Cari tau soal keluarga aku setelah aku nggak di sini aja, ya? Kalau memang Mas belum tau," bisik Haifa, agak tercekat karena kecupan di jari dari Mas Erlang. "Dan jangan tanya kenapa." "Jadi semakin penasaran." Erlang melepas tangan Haifa. "Tapi tenang, saya dan keluarga nggak mandang status sosial dari keluarga pasangan, kok. Barangkali kamu malu, itu nggak perlu." Haifa senyum. "Lagi pula, kalaupun kamu lahir dari keluarga kurang berada ... saya, kan, sebaliknya. Sefakir apa pun--maaf, ini kalau aja, ya, Haifa. Saya beneran nggak masalah." Semakin dikulum bibir Haifa, senyum manis. "Toh, keluarga saya itu kalau kamu mau tau, ada juga kok yang asalnya dari panti asuhan, anak broken home, macem-macem ... barangkali dengan begini, kamu bisa lebih enak bicara soal keluarga ke saya." Haifa mengangguk-angguk. "Makasih, Mas." "Jadi, keluarga kamu--" "Besok juga Mas tau. Udah, yuk! Aku pengin kulineran. Boleh, kan?" "Boleh." Fine, Erlang hargai itu. Meski ... kenapa harus nunggu besok? Dan kalau begini, menyesal sekali pernah tak acuh tentang siapa sosok yang akan dijodohkan dengannya, minimal waktu itu Erlang mestinya tanya mama, asal gadis itu dari keluarga siapa-siapa saja nama orang tuanya, alamatnya, apalah hal tentang mereka. Ya, walau masih bisa Erlang tanyakan juga kapan pun, termasuk nanti malam, tanpa sepengetahuan Haifa. Sah-sah saja, kan? Harapan Erlang, semoga bukan dari keluarga yang sama dengan keluarga Geanica Rahayu Samarawijaya. Sejauh ini, dugaan Erlang masih 40:60 dengan tangkisannya. Mengingat nama panjang Haifa tanpa ada ujung Samarawijaya. Dan lagi, dulu Gea bilang dia anak bungsu. Selain itu, di situs internet soal anak-anak Samarawijaya hanya tercantum tiga; Haidar, Derilion, dan Geanica saja. Namun, kenapa jantung Erlang berdebar kencang? Semakin tidak keruan dan meresahkan. Oh, ini bukan pertanda dugaannya benar, kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN