13. Kecurigaan Airlangga

1406 Kata
[Harus banget Haifa?] [Kamu nggak lagi ngerencanain sesuatu soal aku, kan, Lang?] [Jangan sampai orang tua aku tau soal kita.] [Soal anak itu!] Yang Erlang baca, nomor ponselnya masih ada dan tersimpan dengan nama Nica. Dulu Erlang intens menghubungi kontak ini, bahkan saat Geanica menghilang sesudah memberikan bayi merah yang dilahirkannya di pelosok. Tempat yang Erlang sarankan kepada Nica agar dia bersembunyi di sana, setidaknya sejak kandungan mulai terlihat--perut membuncit, alih-alih pakai korset dan pernah sekali Erlang tahu soal itu hingga marah besar, dia pun membawa Nica setelah membumihanguskan korset-korsetnya. Ya, Geanica bersembunyi di pelosok, lalu membuat alibi dan syukurnya keluarga Samarawijaya amat sangat memercai putri mereka yang ini. Hingga bayi itu dilahirkan, lalu Erlang azani, dengan berakhir di tangannya hingga saat ini. Nica benar-benar tidak menginginkan anaknya. Selepas hari itu ... pergi. Erlang hubungi dan tak pernah aktif, tetapi Erlang tidak patah arang untuk terus memberi tahu Geanica soal pertumbuh-kembangan bayinya, yang dia beri nama Galen Putra Airlangga. Begitu sosok yang dia sebut Nica aktif kembali kontaknya, terlihat dari kiriman pesan centang satu jadi dua, juga balasan: [Stop, aku nggak mau tau soal dia.] Namun, tetap. Erlang keras kepala. Hingga Galen masuk sekolah PAUD pun, Erlang kabarkan kepada ibu kandungnya. Di mana letak sekolah itu, sosok Galen yang pakai seragam PAUD, hasil belajarnya ... Erlang kirim semua. Hanya saja, tak lama sesudahnya, merasa bahwa keras kepalanya Erlang kalah oleh kepala batu Geanica, dia perlahan menyerah. Waktu demi waktu sudah jarang, bahkan kini tak pernah Erlang kabarkan tentang Galen kepada ibunya. Persetan. Jika memang tidak diingankan, untuk apa Erlang berusaha demikian? Bukan soal perasaan Erlang, sejak ada Galen, demi apa pun Erlang sudah tidak fokus pada hatinya. Dan lagi, dia telanjur kecewa berat pada pribadi Geanica. Sampai-sampai di masa kini membaca pesan masuk dari wanita itu, Erlang malas. Namun, tetap ... dia balas. Airlangga: [Sakit jiwa, ya, kamu?] Nica: [Aku serius.] Airlangga: [Pertama, emang kenapa kalau keluarga kamu tau soal kita? Toh, soal Galen pun itu bukan anak biologis saya. Kedua, siapa kamu sampai sepercaya diri itu merasa saya ngerencanain sesuatu? Ketiga, memangnya apa hak kamu nanya soal Haifa? Harus atau nggaknya saya sama dia, di sini poinnya bukan soal itu.] Lihatlah! Hasil ketik Erlang bahkan sudah tidak seramah dulu. Tidak ber-aku-kamu. Tidak juga berisi canda dan perhatiannya. Semua itu sudah hilang sejak lama. Nica: [Pokoknya, jangan sampai keluarga aku tau soal anak itu.] Membacanya, d**a Erlang bergemuruh kencang. Ada api kemarahan di sana, di dalam hatinya. Ditambah lagi dengan kalimat pesan selanjutnya yang Geanica kirimkan. [Akan lebih baik kalau kamu nggak serius sama Haifa. Cari cewek lain aja.] Sial. Kenapa Geanica sesialan itu? Padahal semula kenal, awal-awal, kayaknya nggak begini. Oh, jangan bilang nanti Haifa juga setipe dengan kakaknya? Mereka satu DNA, kan? Erlang kepikiran. Perlukah dia amati dulu sebelum nanti benar-benar tibanya hari H di bulan depan? "Dad ...." Suara Galen menyentak gelembung lamun Airlangga, yang dia simpan ponselnya, lalu mengubah ekspresi muka jadi seceria guru Tadika Mesra, pun menyambut putra kecilnya. "Nanny Onty, kok, lama?" Eh? Erlang telah meraihnya ke dalam gendongan. "Atau nginap di sananya? Tadi pelgi sama Daddy, kan? Tapi, kok, pulangnya nggak sama onty, Dad?" Astaga, lupa. Tidak pamitan dengan benar kepada bocah ini karena Erlang takut Galen malah ikut. "Kenapa? Galen kangen, ya?" "Bukan. Kan, biasanya ada Nanny Onty. Tapi sekalang nggak kelihatan sampai malam. Belalti nggak pulang, ya? Telus jadinya Daddy yang bacain dongeng buat Galen malam ini? Yeay!" Malah kelihatan senang. Ya, ya, ya ... pasti karena Galen rindu cara Erlang ketika mendongeng. Dia hyperaktif soalnya, memvisualkan dengan gerakan dan ekspresi hiperbola. Baiklah. "Ayo kita mendongeng! Galen mau dibacain kisah apa malam ini? Tapi harus langsung bobok, ya? Jangan malah minta nambah judul didongenginnya." Galen tertawa lucu. "Iya, siap, Dad!" Erlang pun lantas membawanya kembali ke kamar bocah itu. *** Malam telah tiba, di kediaman Samarawijaya. Kaku. Hening dari suara-suara orang bicara, hanya memang ada suara denting sendok di ruang makan itu. Tentu, Haifa ikut serta duduk di salah satu bangku. Setelah sekian lama tidak gabung di sini, Haifa merasa semakin beku. Namun, saat dulu dia tidak di sini, apakah suasana makan malam keluarganya hangat? Apakah ada cengkerama yang akrab antara papa, mama, dan anak-anaknya, tanpa Haifa? Kok, miris, ya? Jika memang begitu. Sepersekian waktu .... Selesai. Namun, tak satu pun ada yang beranjak. "Persiapan nikah Gea sudah sembilan puluh sembilan persen, tinggal hari H-nya aja paling Gea dirias pengantin." Papa bicara. Haifa melihat Kak Gea tersenyum. "Saham berikut pendapatan perusahaan kita juga naik setelah viralnya kabar pernikahan Gea dan Harries," lanjut papa. "Dampaknya sangat baik." Lagi, Haifa melihat senyum manis Kak Gea, lalu mama. Beliau amat sangat kontras jenis senyumnya apabila dibandingkan dengan senyum mama kepada Haifa. Dan lagi, mama sampai mengusap-usap punggung Kak Gea. Posisi Kak Gea duduk memang di sebelah mama, baru Haifa. Sementara, di seberangnya ada Bang Haidar dan Bang Deril. Mereka memberi selamat kepada Kak Gea dengan pujian manis khas keluarga ini saat ada yang membuat bangga. "Haifa." Astaga. Kayaknya Haifa lebih baik tidak di-notice. Jantungnya jadi kebat-kebit mengerikan sekarang. "Iya, Pa?" "Selamat datang dan kembali lagi ke sini." "Ah, iya ...." "Papa harap kontribusi kamu dengan pengusaha bidang agensi model itu bisa mendongkrak sejarah baru yang positif di keluarga kita." Begitu kata papa. Haifa tersenyum saja. Tapi setelahnya, Haifa melirik mama. Tidak ada reaksi berarti, tampak fokus kepada Kak Gea. Kenapa, ya? Haifa bukan anak pungut, kok. Dia berani dites DNA kalau perlu untuk menunjukkan bahwa dirinya putri mama dan papa. Namun, kenapa? Kenapa mereka begitu? Apa sefatal itu ketidakbisaannya soal main piano, melukis, dan tidak unggul akademik-nonakademiknya? Ralat, Haifa itu termasuk siswi unggulan di sekolah, tetapi kalau dibandingkan dengan ketiga kakaknya, lalu turunan lain di keluarga besar Samarawijaya, memang jauh. Tapi, kan ... ah, sudahlah. "Oh, ya, gaun buat Haifa, nanti ke kamar Kakak aja, ya, Fa? Ada di sana." Haifa mengangguk. Itu Kak Gea yang bicara. Lantas, ke sananya membahas soal hal-hal yang tidak Haifa mengerti, papa ngobrol serius dengan Bang Haidar dan Bang Deril. Biasalah, soal karier mereka dan pencapaiannya. Demikian, Haifa pamit ke kamar. Dipersilakan atau tidak, dia tetap pergi dari sana. Haifa meraih ponselnya. Tuh, kan ... ada chat dari Mas Erlang! [Fa, besok ada acara, nggak?] Kenapa, nih? Haifa: [Nggak ada kayaknya, Mas.] Mas Erlang sedang online. Hanya selang satu menit, pesan Haifa muncul balasan. Ah, iya ... berupa telepon balasannya. Gegas saja Haifa angkat. "Halo, Mas. Gimana?" "Beneran besok nggak ada acara?" "Bener. Kenapa emang?" "Kita perlu fitting baju, nggak, buat kondangan ke nikahan kakak kamu?" Seraya tertawa. Aih .... "Kirain apa!" tukas Haifa, terkekeh juga. "Mumpung masih ada waktu, itu pun kalau kamu nggak ada acara besok, sekalian saya mau minta kamu buat pamitan sama Galen, sekaligus bahas soal rencana kita ke depannya. Ngenalin ulang kamu ke Galen, misal. Kali ini sebagai calon maminya." Haifa tersipu, hatinya juga berdebar syahdu. Sudah seserius itu dan ini bukan mimpi. "Oke, besok kita ketemuan di--" "Saya jemput kamu." "Eh, nggak usah. Ketemuan aja nanti di--" "Haifa." Oke, dipangkas part dua. "Iya, Mas Airlangga?" balas Haifa, agak guyon nada suaranya. Namun, Mas Erlang mode serius ternyata. Dia bicara, "Saya, kok, jadi bertanya-tanya lebih liar dari sebelumnya soal kamu dan Samarawijaya ini, ya? Chat yang itu sampai sekarang nggak ada balasan, soal kenapa kamu nggak jujur bahwa kamu ini siapa-siapanya keluarga itu, pertama. Kedua, waktu kita bahas tentang siapa keluarga kamu di gazebo, kamu juga milih main rahasia-rahasiaan. Ketiga ...." Tak berlanjut. "Apa yang ketiga, Mas?" Lembutnya suara Haifa. Terdengar suara dengkusan dari seberang telepon sana di sebelum Mas Erlang bilang, "Nama kamu nggak tercantum di nama-nama anak Samarawijaya, di internet." Oh, iya ... itu. Haifa tertawa pahit, tetapi tawanya dia buat serenyah mungkin. "Mas kepoin aku sampai ke sana-sana?" Di tempatnya, Erlang tak lantas menjawab. Mau bilang iya, tetapi awal kepo soal Samarawijaya dulu itu karena Geanica, lalu tak ada nama Haifa. Mau bilang tidak, tetapi dia sedang buka internet lagi perihal artikel keluarga itu sekadar memastikan ada nama Haifa atau masih tak ada di sana. "Iya, ini saya lagi lihat piramida turunan Samarawijaya." Erlang memilih jawaban ini. Toh, bukan bohong, ini sesungguhnya sedang dia lakukan. Entah di sana Haifa sedang apa. "Nanti aku cerita kalau kita udah jadi suami-istri aja, ya?" Tuh, kan. Ada sesuatu. "Tapi kenapa harus nunggu nikah dulu?" "Ya, karena supaya aku bisa buka-bukaan pol ke Masnya." Eh, Erlang malah salfok. Dia tertawa. Yang mana detik selanjutnya, Haifa menyudahi panggilan, pamit karena dipanggil Kak Gea. Begitu katanya. Dan ... entah kenapa, Erlang khawatir?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN