CSD 5. Memories°

2061 Kata
KEYAKINAN Chandni bahwa Imdad akan datang ternyata tidak sia-sia. Imdad benar-benar datang. Matanya terpaku pada sosok bercahaya lembut itu. Senyum terulas di wajah berseri Imdad, mengajak kekasihnya untuk berhenti bermuram durja karena mereka akan bergembira. Mereka berpegangan tangan, menembus rinai hujan menuju hutan di belakang Sanggar Mohabbatein. Jalan menuju pemakaman berlawanan arah dengan jalan ke sanggar. Jalanan kota sepi karena orang-orang banyak ke pemakaman serta berdiam diri di rumah. Tidak ada yang menyadari kepergian Chandni dibawa makhluk tak kasat mata. Tangisan dari langit dan mata orang-orang yang mengasihinya mengiringi penguburan jasad Imdad Hussain. Tenda meneduhi Maimoona, Thoriq, dan Manse yang digendong pelayan. Kedua anak itu menangis keras melihat jasad Imdad diturunkan ke dalam lubang panjang yang tergenang air, lalu tanah diuruk ke dalam lubang itu. "Tidaak, Jangan ditutupi. Toru tidak bisa melihat Baba lagi. Toru ingin ikut Baba ...." teriak Thoriq. "Kenapa kalian menutupi Baba Toru?" Anak itu berontak ingin turun. Manse juga turut berteriak, "Bada Bhai, kenapa tidak bangun? Kenapa tidur di hujan-hujan begini? Manse ingin bermain bersama Bada Bhai!" Tidak ada yang sanggup menjelaskan bahwa Imdad tidak akan menanggapi mereka. Pemuda itu sudah bersemayam dalam tidur abadinya. Semua orang bungkam oleh kesedihan kalau tidak menangis sesenggukan, bahkan Rajputana dan Saif tidak bisa berkata-kata. Mereka menutup liang lahat Imdad dengan berat hati. Rapalan doa mendengung menabahkan hati. Selesai penguburan, orang-orang pun membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing. Rajputana masih kembali ke kediaman Imdad untuk lanjut berdoa di rumah duka, serta melihat keadaan Chandni. Akan tetapi tiba di sana, tidak terlihat sosok gadis itu. Rajputana menjadi cemas. "Mana Chandni?" tanyanya pada Maimoona dan orang rumah yang semuanya tidak ada yang tahu karena mereka ke pemakaman. Maimoona menangis. "Entahlah, Raj ... aku— aku tidak bisa berpikir lagi. Ini semua terlalu tiba-tiba. Aku merasa sudah gila. Aku tidak bisa ... Imdad, anakku ... anakku ...." Maimoona menangis lagi dan terduduk lemas. Wanita itu segera dipapah pelayan ke dipan. Manse dan Toru juga terus menangis. Saif berusaha menenangkan anak-anak itu. Rajputana benar-benar terkuras tenaga dan pikirannya. Ia menyusuri ruangan mencari Chandni, sampai akhirnya ia berada di teras dan tercenung melihat dua buah gelang kaki yang tergeletak di anak tangga tempat Chandni terakhir dilihatnya. Rajputana memungut gelang itu dan rasa takut mencekamnya seperti selubung dingin. Tanpa gelang itu, Chandni akan membahayakan dirinya sendiri. Ia melihat jejak-jejak kaki di tanah becek yang berbeda arah dari jejak yang lain. "Chandni ...," lirih Rajputana lalu berlari mengambil kudanya dan memacu membelah hujan mengiringi bekas telapak kaki Chandni. Rasanya hampir mustahil melihat jejak Chandni di kegelapan malam. Namun rasa yang sangat kuat membimbingnya seakan melihat berkas cahaya cakra gadis itu. Kupu-kupu mungil yang melintas di depan matanya menjadi pemandu jalan. Rajputana tiba di hutan di belakang Sanggar Mohabbatein. Ia berteriak senyaring-nyaringnya. "Chandni! Chandni!" Namun hanya suaranya sendiri yang menggema di sela pepohonan. Gelap dan tanpa penerangan membuat Rajputana kesukaran menemukan jalan. Hingga licinnya medan membuat kudanya terperosok. Kuda itu meringkik nyaring kakinya luka tergores batu. Rajputana buru-buru turun menenangkan kudanya. "Sialan!" ia menggerutu sambil mengusap kasar air yang mengguyur wajahnya. "Chandni, di mana kamu?" gumamnya. Ia baru saja kehilangan belahan jiwanya. Jika ia turut kehilangan Chandni, rasanya ia lebih baik mati saja menyusul Imdad. Tidak ingin kehilangan harapan, Rajputana meneruskan berjalan kaki sambil berteriak memanggil Chandni. "Chandni! Chandni!" Sesosok rusa betina tiba-tiba melompat ke hadapannya. Rajputana terperanjat. Di keremangan cahaya kilat petir, terlihat ada bekas luka serupa luka di pundak Chandni di paha rusa itu. Rajputana merasa alam semesta memberinya petunjuk lagi. Rusa itu berlari kecil menerobos semak-semak. Rajputana bergegas mengikutinya. Rusa itu membawanya ke tempat terbuka di tepi aliran sungai dan melihat pemandangan di depan matanya, Rajputana terpana. Tempat itu terang benderang. Kain sari yang dikenalinya adalah pakaian Chandni teronggok di bebatuan. Ada air terjun dan permukaan air sungai berkilau-kilau memantulkan cahaya ratusan kupu-kupu yang beterbangan menuju langit hingga pupus. Di sana, tampaklah Chandni. Gadis itu berdiri di atas batu besar dan membiarkan tubuh polosnya diliputi cahaya keperakan. Siluet bercahaya membentuk sosok Imdad memeluk Chandni, menyetubuhinya, terlihat dari cahaya terang di titik penyatuan tubuh mereka dan dari titik itu juga kupu-kupu cakra Chandni meruap keluar. "Tidak mungkin!" desis Rajputana. Di belakang sosok Imdad, tampak sosok yang lebih agung melayang dengan tangan terangkat dan serabut-serabut benang terhubung ke sosok Imdad. Sosok agung itu bercahaya keperakan, rambutnya panjang lurus berwarna putih, berhias mahkota perak. Wajahnya masih muda dan sangat tampan. Berpakaian jubah panjang warna putih dihiasi ornamen-ornamen perak dan permata biru. Perisai bahu dan sabuk melingkari pinggang. Sosok itu mengendalikan wujud Imdad. Chandni sepertinya tidak menyadari apa yang dilakukan makhluk itu pada dirinya. Rajputana yakin makhluk itu sedang mengambil cakra Chandni. Makhuk itu telah memanipulasi Chandni. Rajputana berlari mendatangi Chandni sambil berteriak, "Tidak! Lepaskan Chandni-ku!" Sosok agung itu tersentak dan sebelum sempat melakukan apa pun, Rajputana memeluk Chandni dan menariknya menjauh dari sosok Imdad. "Tidaaaak!" Chandni berteriak getir sambil berusaha menjangkau sosok Imdad yang menatapnya sedih. "Lepaskan! Chandni ingin bersama Tuan Imdad! Jangan pisahkan Chandni!" Mereka terduduk di tepi sungai. Gadis itu mengamuk dalam dekapan Rajputana. Sekuat tenaga Rajputana menahan pukulan Chandni di tubuhnya. "Sadarlah Chandni, itu bukan Imdad. Imdad sudah tiada. Kau hanya dimanfaatkan!" "Tidak! Kau tidak melihatnya. Itu benar-benar Tuan Imdad." Chandni melihat sosok itu semakin pudar. Dia sangat ketakutan Imdad akan menghilang lagi. "Tidak, suamiku ... jangan tinggalkan Chandni ... kita akan selalu bersama, kau sudah bersumpah. Kau sudah bersumpah!" Namun Chandni terkesiap karena sosok Imdad seolah terserap lalu muncul sosok baru yang tidak dikenalnya. Rajputana turut menoleh pada sosok itu. Seorang pria berwajah tirus, dengan rambut panjang dan kulit sebersih patung pualam. "Si-siapa kau?" gagap Chandni. Netra biru sosok itu bercahaya lembut dan menyorot sendu. "Aku telah lama mengawasimu, sang rembulan. Aku mengawasimu dari balik awan. Di sanalah kau seharusnya berada. Bersamaku. Aku telah membiarkanmu terlalu lama di daratan dan aku menyesalinya. Aku telah menciptakan badai yang hebat untukmu, tidakkah kau mengetahuinya? Kau seharusnya membalas budi padaku." Chandni berbisik takjub. "Kau ... jin udara." Jin penghuni langit yang ditakuti Tuan Takur. Chandni baru merasakan energinya terkuras. Dia tidak punya tenaga untuk bergerak. "Aku telah merendahkan diri dengan memijakkan kakiku di tanah. Tentunya aku tidak ingin ini tersia-sia. Kau harus ikut denganku," tegas pria itu. Rajputana segera berbalik, melindungi Chandni di belakangnya. "Tidak akan kubiarkan!" bentaknya. "Kau hanya ingin cakranya. Kau akan membunuhnya." "Beraninya kau menentangku!" balas jin udara itu. "Aku raja di langit, tidak akan kubiarkan satu pun makhluk daratan menghalangiku. Akan kubunuh kau lebih dulu!" Telapak tangannya mengeluarkan bola cahaya warna perak dan melempar cahaya itu ke arah Rajputana. Rajputana tidak tahu cara mengelak energi sebesar itu. Yang diingatnya hanya janjinya pada Imdad yaitu melindungi Chandni. Rajputana memeluk Chandni. Tanpa disadari Rajputana, cakra keemasan miliknya menyatu dengan Chandni, menciptakan perisai pelindung ciri kekuatan dari titisan jin diberkahi kekuatan matahari. "Apa?" Jin udara terperangah. Bola energinya beradu dengan perisai itu sehingga terjadi ledakan yang sangat keras. Jin udara terpental jauh. Rajputana merasakan getaran itu, tetapi tidak membuatnya melepaskan Chandni. Mereka berdekapan sampai getaran mereda. Jin udara terjungkal lalu bangkit sambil memegangi dadanya. Terasa sangat nyeri sehingga ia kesulitan bergerak. Melihat lawannya tidak kenapa-kenapa, jin itu menggeram kesal. Rupanya ia terlalu meremehkan lawan. Ia pun memilih menghilang bersama udara. Rajputana sangat lega ledakan itu berlalu dan makhluk asing itu tak tampak lagi. Ia membuka dekapannya dan melihat Chandni tidak sadarkan diri. Rajputana kembali dalam situasi getir. "Chandni, Chandni!" ujarnya gugup. Dia mengguncang tubuh Chandni dan menciumnya beberapa kali, akan tetapi Chandni tidak juga membuka mata. Menyetubuhinya mungkin satu-satunya jalan mengembalikan Chandni. Akan tetapi Rajputana kembali tidak berdaya. Ada banyak darah keluar dari liang sanggama Chandni. Rajputana terpejam sambil mendekap Chandni. Ia menangis pilu untuk kesekian kalinya. "Tidaaak!" *** SUBUH baru berlalu dan semburat matahari mulai mewarnai langit gelap. Hujan reda menyisakan genangan-genangan duka. Rajputana membawa Chandni ke Sanggar Mohabbatein, karena itu tempat terdekat dari hutan. Tubuh gadis itu dibalutnya dengan kain sari. Darah berceceran di sepanjang jalan. Rajputana tidak ada waktu memeriksa kehidupan Chandni. Sepanjang jalan mendekapnya, berusaha menghangatkan tubuh Chandni yang sedingin es. Sarasvati yang menerima mereka lebih dulu di rumahnya menangis ketakutan, akan tetapi berusaha tetap melakukan sesuatu dengan sisa-sisa tenaga tua rentanya. Begitupun Akash dan Ibu Kepala. Pesuruh memanggil Tabib Salman. Sementara menunggu, Chandni direbahkan dengan perlak kain menampung darah peranakannya. Sekujur tubuh dilap air hangat, dipasangi pakaian baru, lalu ditutupi selimut tebal. Rajputana duduk sambil mencengkeram kepalanya, frustrasi oleh situasi. Vijay, panglima pengganti Imdad datang dan menyampaikan kabar bahwa Varun Chaudori, ayah Sohail, datang ke istana untuk menuntut balas kematian putranya. Rajputana berujar geram, "Sampaikan pada pria tua itu, tidak usah buru-buru menyusul putranya. Tunggu saja di istananya, setelah selesai masa 3 hari kematian Imdad, aku akan datang dan menghabisinya dengan tanganku sendiri, sama seperti aku menghabisi nyawa putranya." "Baik, Yang Mulia!" ujar Vijay lalu bergegas undur diri. Selang beberapa saat, Tabib Salman datang dan memeriksa Chandni lalu memberinya ramuan. Tabib tua itu mendesah sedih dan kelelahan. Air matanya menetes menyampaikan kabar kondisi Chandni pada Rajputana. "Chandni keguguran, Yang Mulia. Kondisinya sangat lemah. Kita hanya bisa berdoa Chandni masih diberi umur panjang. Jika dia bisa sadar, maka ada harapan kondisinya membaik. Sebelum itu, saya tidak berani berharap banyak." Rajputana, Sarasvati, dan yang lainnya berusaha tabah. Mereka tersenyum ikhlas meskipun air mata meleleh di pipi. "Terima kasih, Tabib," ucap mereka. Tabib Salman lalu kembali ke kliniknya untuk menyiapkan obat-obatan lebih banyak lagi. Dua orang bidan tinggal untuk merawat Chandni. "Aku akan berdoa ke kuil," pamit Sarasvati diiringi Ibu Kepala. Akash yang tidak tahu harus melakukan apa lagi, mengikuti Sarasvati. Tertinggal Rajputana yang memilih berdoa di sisi Chandni karena sedetik pun ia tidak bisa menjauhi dari Chandni. Takut sekejap saja lengah, Chandni akan pergi seperti Imdad. Rajputana terlihat lebih segar setelah mengganti pakaiannya dengan kurta milik Akash. Ia duduk di sebelah Chandni dan memegangi tangannya, menatap penuh kasih pada gadis yang terbujur tanpa rona kehidupan itu. "Yang Mulia, makanlah dulu," ujar seorang bidan sambil menyodorkan baki berisi nasi kari hangat dan s**u kunyit panas. Rajputana menggeleng tanpa mengalihkan tatapannya dari Chandni. Bidan itu tidak bersuara apa-apa lagi, meletakkan baki di nakas dekat ranjang Chandni lalu keluar kamar. Berdua saja dengan Chandni, Rajputana merebahkan kepalanya di sisi Chandni, berbisik pada gadis itu. "Aku ingin makan masakanmu saja, Chandni. Aku ingin minum minuman buatanmu. Beri aku kesempatan menikmati semua itu, Chandni. Beri aku kesempatan melindungi dan membahagiakanmu." Dibarengi tetesan air matanya, ia mengecup lembut kening Chandni, menciumi wajahnya, lalu khusus di bibirnya sebagai penyalur cakra. Menciuminya berjam-jam, Rajputana merasakan tubuhnya melemah sampai tanpa disadarinya ia tertidur lelap sambil duduk memegangi tangan Chandni. Senja tiba dan bulan pun terbit di langit gelap. Sarasvati masuk ke kamar Chandni sebentar untuk menyalakan lampu. Bulan yang bulat sempurna, terlihat lebih besar dari biasanya. Sinarnya masuk ke kamar Chandni melalui jendela yang terbuka lebar. Sinar lembut menyirami tubuh Chandni, memberikannya energi tambahan. Wajah Chandni merona dan perlahan matanya terbuka, mengerjap berkali-kali karena silau oleh cahaya lampu kamar. Chandni meringis akibat rasa nyeri di kepalanya. Dia ingin bersuara, tetapi masih terlalu lemah. Mengangkat tangannya pun rasanya dia tidak sanggup. Sarasvati masuk lagi ke kamar dan melihat Chandni membuka mata, wanita itu berteriak gembira. "Chandni? Chandni sudah sadar! Chandni, suamiku, Chandni sudah sadar!" Rajputana terbangun oleh teriakan itu dan mengangkat kepalanya perlahan sambil mengucek mata. Saravati memburu ke sisi Chandni, disusul Akash dan Ibu kepala serta para bidan. "Chandni, kau sudah sadar, Nak? Bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya Sarasvati sambil mengusap-usap pipi Chandni. "Bibi ...? Paman ...?" ucap Chandni lirih karena masih lemas. "Chandni, apa kau baik-baik saja?" tanya Rajputana. Gadis itu menoleh padanya dan seketika sorot berbinar terpancar dari mata gadis itu, seperti senantiasa jika mereka bertatapan. "Syukurlah kau sudah sadar, Chandni," pungkas Rajputana lega. Chandni nyaris terjengkit dari rebahannya melihat Rajputana. Pundaknya mengernyit menjaga jarak dari pria itu. "A-anda siapa?" gagap Chandni tersipu pada Rajputana. "Ah?" Rajputana, Sarasvati, Akash, dan Ibu Kepala terperangah bersamaan lalu saling pandang. Mereka semua kebingungan. Namun Sarasvati lebih tanggap jika ada sesuatu terjadi pada Chandni. "Chandni, apa kau tidak mengenali Maharana? Ini Yang Mulia Maharana Rajputana Udai Singh, raja kita." Chandni menelan ludah dengan susah payah. "Raja?" Mata bundarnya meneliti sosok Rajputana secara keseluruhan. Chandni terkesima pada penampakan pria itu, seakan pertama kali melihatnya. "Apakah Yang Mulia datang kemari mencari selir?" Rajputana, Sarasvati dan yang lainnya terperangah lagi. "Chandni, apa kau tahu Tuan Imdad, suamimu?" tanya Sarasvati. Chandni meringis, terasa sakit lagi sekujur tubuhnya mendengar nama itu. "Saya tidak tahu nama itu. Siapa Tuan Imdad?" Sarasvati langsung lunglai dan bergumam lirih, "Demi Dewa ...." Chandni kehilangan ingatannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN