CSD 4. Aku Hanya Mencintaimu°

2793 Kata
Apakah yang dialami Imdad sebuah kesalahan? Kecerobohan? Atau sebuah plot yang dibuat sembarangan oleh penulis cerita? Dia menuliskan kelahirannya, kisah kehidupannya, lalu kematiannya. Dia membuat siklus lengkap perjalanan setiap insan. Apa dan kenapa, tidak ada yang tahu pasti, bahkan para malaikat. Mereka hanya pesuruh- Nya. Kadang kala, para pesuruh itu pun bertanya-tanya, tetapi tidak ada jawaban memuaskan kecuali satu kalimat: Jadilah, maka terjadilah! Saat terjadi peperangan, para malaikat kematian turun berbondong-bondong ke bumi. Setelah peperangan melawan Banerjee usai, mereka membawa pulang banyak bola cahaya, jika disebarkan di langit serupa hamparan sungai cahaya yang sangat indah. Di masa damai, pekerjaan mereka menjadi lebih sedikit. Devdas bersemangat sekali hari itu untuk melaksanakan tugas. Akhirnya ia sampai ke daftar yang bergaris merah. Devdas tidak tahu kenapa nama itu ditandai demikian, tetapi ia merasa itu ada hubungannya dengan pemberi kehidupan mereka yaitu Zourdan. Saat di lobi utama, Devdas bertemu Vixion, temannya. Keduanya memperlihatkan daftar nama dan surat tugas mereka. "Eh, tumben kali ini kita barengan," kata Vixion. "Hayuklah, kita berangkat," sahut Devdas. Kedua pemuda bersayap putih itu melompat dari pinggir lantai lobi, pergi ke bawah dengan kecepatan cahaya. Mereka berada di bumi. Tanpa bisa dilihat mata manusia, mereka melayang di sisi manusia yang akan mereka jemput nyawanya, yaitu Imdad dan Sohail. Patahan pedang Sohail sangat runcing hingga bisa menembus rompi kulit Imdad dan menancap tepat di jantungnya. Debaran jantung itu terhalang benda tajam tersebut, membuat Imdad sangat kesakitan, hingga ia tidak bisa berteriak. Kejadian itu berlangsung hanya dalam satu kedipan. Rajputana terbelalak tidak memercayai apa yang terjadi di depan matanya. Para pengawal pun tidak ada satu yang bergerak. Mereka sama terkejutnya. Sohail merangkul Imdad dengan sebelah tangan menusukkan patahan pedangnya semakin dalam. Sekujur tubuh Imdad terasa dingin membeku hingga ia menjatuhkan pedangnya. Ketika pedang Imdad berdenting jatuh di bebatuan, saat itu juga Rajputana tersadar. Ia melompat turun dari kuda seraya mencabut pedangnya dan berteriak penuh penyesalan. "Tidaaaaak!" Rajputana menyabetkan pedangnya menebas leher Sohail. Kepala pria itu terpisah dari tubuh, terlempar jauh bersama dengan muncratan darah. Tubuh tanpa kepala Sohail roboh dan darahnya menggelegak membasahi tanah. Rajputana masih belum percaya. Meskipun Sohail modar, hal itu tidak akan pernah membuat situasi impas. Rajputana lekas memapah tubuh sahabatnya dan mereka jatuh berlutut. Imdad tidak punya kekuatan, tersandar ke pundak Rajputana. Vixion menarik cahaya kehidupan Sohail, membungkusnya, lalu melesat ke langit, dengan demikian tugasnya selesai. Sementara Devdas harus berkutat dengan nyawa Imdad Hussain. Ia berusaha sekuat tenaga menarik kehidupan Imdad keluar dari tubuhnya, tetapi seolah ada kekuatan lain yang sangat kuat menahan nyawa pria itu. "Chandni!" Debaran jantung pemuda itu bersuara. Imdad menatap nanar pada Rajputana. Tidak ada darah terlihat dari luka tusuk di dadanya. Gagang pedang itu tertancap dalam seperti tuas kokoh. Pakaian Imdad sedikit kotor oleh percikkan darah Sohail. Luka sedalam itu, sakitnya tak terperi dan nyawa di ujung tanduk. Muka Imdad memucat dan bibirnya gemetaran halus. Rajputana terduduk di tanah, mendekap Imdad. Rajputana tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Air matanya mengalir deras. "Bhai ... tidak, Bhai ... ini tidak boleh terjadi padamu. Bhai .... Kau pasti bisa bertahan. Aku akan melakukan sesuatu. Aku akan memanggil Tabib Salman." Rajputana berteriak pada pengawalnya. "Panggil Tabib Salman segera! Dokter EIC juga. Siapa saja, kalau perlu seluruh tabib yang ada di Rajpur." Seorang prajurit gelagapan kemudian memutar kudanya dan memacu secepat mungkin menuju ke kota. Imdad tidak bisa bersuara. Wajahnya semakin putih dan termangap mencari udara. Ia merasakm sesuatu menariknya seolah hendak mencabut tulang-tulangnya dari daging. Ia mencengkeram lengan Rajputana, sorot mata memelas pada sahabatnya itu. Dengan sisa kekuatannya, Imdad berjuang menyebut satu nama. "Chandni...." Rajputana tersadar. Tangisnya segera berhenti. "Ah, iya, ya, Chandni pasti bisa menolongmu." Rajputana ingin meneriaki pengawal agar memanggil Chandni, tetapi Imdad menghentikannya. Ia terpaku menatap Imdad. Imdad bersuara untuk yang terakhir kalinya. "Lindungilah Chandni-ku ... Bhai. Aku percayakan dia ... padamu ...." "Bhai ... jangan pikirkan hal itu dulu. Aku yakin ada cara mengatasi ini." "Berjanjilah ...." Rajputana menggeleng lemah dan air matanya kembali berlinang. "Tidak, Bhai .... Tidak. Harus kau sendiri yang melindungi Chandni. Aku tidak mau kehilanganmu!" Devdas mengerahkan tenaga yang cukup besar saat melakukan itu, membuatnya nyaris terjungkal. Imdad tidak menyahut lagi matanya terpejam dan ia mengembuskan napasnya yang terakhir. Rajputana berteriak pilu ke arah langit. "Tidaaaaaak ...." Melihat cahaya kehidupan Imdad, Devdas bisa tersenyum lega. Kehidupan itu bercahaya sangat terang. Jika menjadi bintang, siang hari pun cahayanya akan tetap terang. Devdas membungkus nyawa Imdad menjadi bola cahaya lalu ia pun melesat menuju langit meninggalkan jasad terbujur kaku di pelukan Rajputana. Devdas menembus lapisan awan dan sayup-sayup terdengar nyanyian yang sangat merdu dari bumi. Devdas menoleh ke bawah, melihat pada daratan yang semakin mengecil. Devdas bertanya-tanya suara siapa yang sangat merdu dan kuat hingga bisa mencapai langit. Suara merdu itu sepertinya memanggil seseorang. "Ghar More Pardesiya… Aao Padhaaro Piya…" Kembalilah ke rumah, temui kekasihmu, wahai orang asing "Ghar More Pardesiya… Aao Padhaaro Piya…" Kembalilah ke rumah, temui kekasihmu, wahai orang asing Mendadak Devdas terhenyak. Terpana menatap bola cahaya di dekapannya. Cahaya Itu berdetak kuat dan berbunyi sebuah nama. "Chandni." Devdas kebingungan sehingga mempercepat terbangnya agar segera tiba di markas besar. "Chandni!" Detak cahaya itu semakin keras. "Chandni!" Krakk! Lapisan pelindung cahayanya retak. Devdas kelabakan. Ia mendekap erat bola cahaya itu. Namun detak yang semakin kuat meluruhkan lapisan pelindungnya. Bola cahaya itu pecah. Devdas segera mendekap energi kehidupan itu. Namun, ia salah melakukannya. Cahaya kehidupan itu malah terdesak masuk ke rongga da.da Devdas. Rasanya sangat sakit sampai tubuh Devdas meregang laksana sakaratul maut. Teriakannya menggemuruhkan langit. "Grraaaaaaaahhhh!" Teriakan itu melepaskan energi yang sangat besar sehingga terjadilah ledakan serupa petir menggelegar. Retaknya sangat kuat hingga menjalar ke tanah. Petir di siang bolong mengejutkan semua orang, termasuk Chandni yang ketakutan dengan bunyi keras semacam itu. Tariannya terhenti. Chandni keluar balairung menatap langit dengan perasaan gamang. Nyanyian gembira berubah menjadi senandung sedih . "Jabse Naina Yeh Jaake, Ek Dhanurdhar Se Laage" Sejak pandanganku terpaku pada sang Ksatria pemanah itu "Tabse Birha Mohe Sataaye Re..." Sejak itu perpisahan ini menyiksaku "Haa…" "Ghar More Pardesiya… Aao Padhaaro Piya…" Kembalilah ke rumah, temui kekasihmu, wahai orang asing Suasana yang berubah tiba-tiba membuat orang-orang pun terdiam. Chandni tidak sadar terpaku menatap langit. Gemuruh terdengar bersahutan. Awan gelap berarak mengikuti laju angin. Sarasvati menghampiri Chandni. "Ada apa, anakku? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" tanyanya. Chandni tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dingin meresap ke dalam tubuhnya. Chandni memaksakan tersenyum. "Eh, tidak ada apa-apa, Bi. Sepertinya akan turun hujan lebat. Sebaiknya Chandni dan anak-anak pulang sekarang saja daripada tertunda nanti membuat Amma khawatir." Sarasvati ingin menghentikan Chandni, tetapi dia ingat Chandni sekarang punya keluarga baru. Ia tersenyum dan berujar lembut. "Pulanglah, Nak. Hati-hati di jalan." "Terima kasih, Bibi." Chandni memanggil Toru dan Manse. Mereka berpamitan pada tetua sanggar lalu bergegas menaiki kereta dan pergi meninggalkan sanggar. Mereka tiba di kediaman bertepatan hujan turun sangat lebat dan petir menembak beberapa kali. Lampu-lampu dinyalakan untuk menerangi rumah karena cuaca buruk membuat hari menjadi gelap. "Oh, syukurlah kalian sudah pulang," ujar Maimoona. Dia menyambut kedatangan menantu, anak, dan cucunya. Ia menyuruh Chandni membawa anak-anak ke kamar untuk menghangatkan diri. Di kamar tidur, Chandni berkumpul bersama Toru dan Manse. "Amma, takut," sedu kedua anak itu sambil memeluk Chandni. Chandni juga takut, tetapi sebisa mungkin disembunyikannya. Dia mengusap kepala anak-anak itu. "Tidak apa-apa, sayang. Ini cuma cuaca buruk, sebentar saja akan berlalu. Tidak ada yang perlu ditakutkan." Dia lalu menyanyikan lagu pengantar tidur dan membuat anak-anak itu terlelap. Chandni keluar kamar sebentar dan bertemu dengan Maimoona yang baru selesai beribadah. "Chandni ingin berdoa sebentar. Jika Amma tidak keberatan menjaga anak-anak." Maimoona melihatnya gelisah lain dari biasanya. Dia pun menyanggupi keinginan Chandni. Maimoona ke kamar menjaga anak-anak. Chandni menyiapkan manisan pemujaan serta menyalakan dupa dan diya. Dia berdoa menghadap Dewa Siwa. Hujan lebat mengantar kegelapan malam. Chandni khusyuk dalam doanya sehingga tidak menyadari waktu berlalu. "Tuan Imdad datang. Tuan Imdad datang!" seru pelayan. Mendengar seruan itu, Chandni bergegas ke pintu depan. Dia berlari kecil menyongsong sang suami. Namun Chandni bingung melihat di halaman berkumpul para prajurit istana Rajpur, juga para pelayan dan penjaga rumah. Mereka semua berdiri bagai patung, membiarkan diri diguyur hujan lebat dan dingin membeku. Aanjay, kuda Imdad, dituntun pengawal. Rajputana yang bercahaya keemasan dalam kegelapan malam itu berjalan paling depan menuju tangga rumahnya. Kedua tangannya terangkat membawa sebuah tubuh dibungkus kain putih. Wajah Rajputana tampak memelas, sendu menatapnya. Gemuruh hujan dan petir meredam suara lainnya. Pias air hujan melembapkan wajah dan pakaian Chandni. Chandni berusaha tersenyum meskipun kegugupan melanda hatinya. "Mana Tuan Imdad?" tanyanya pada Rajputana. Lidah pria itu kelu, matanya nanar, dan pelupuknya memerah. Air hujan menyamarkan tangisnya. Rajputana berlutut di depan Chandni, membaringkan jasad yang dibawanya dan memperlihatkan wajah orang itu. Akan tetapi Chandni bergeming. Matanya berkedip-kedip meneliti sekilas wajah tampan seputih kertas. Chandni tersenyum lagi pada Rajputana. "Saya tidak melihat Tuan Imdad. Di mana suamiku itu berada? Kenapa ia tidak datang bersama kalian?" Rajputana tidak pernah tahu wujud apa yang dilihat Chandni pada Imdad. Baginya, Chandni tidak bisa menerima kenyataan, sama seperti dirinya. Chandni lebih terpukul daripada dirinya. Menahan tangis, Rajputana berucap getir. "Imdad ... akan senantiasa ... berada di sisimu ...." Senyum indah itu tidak pernah luluh dari wajah Chandni. "Anda benar sekali, Yang Mulia," katanya riang. "Hujan ini sepertinya akan lama, ya? Mungkin Tuan Imdad sedang ada kendala di perjalanan. Chandni ingin berdoa dulu untuknya. Tuan Imdad pasti kembali ... dengan selamat." "Cha-Chandni ...," lirih Rajputana tanpa bisa melanjutkan ucapannya. Chandni mengerudungi rambutnya lalu berbalik masuk ke dalam rumah. Dia kembali duduk di depan altar dan mengatupkan kedua tangan, mulai berdoa lagi. Maimoona berlari ke depan rumah. Nyonya besar rumah itu menangis meraung-raung hingga mengempaskan gelang-gelangnya ke lantai. Dia memeluk tubuh putranya yang basah dan sedingin es. Para pelayan laki- laki dan perempuan juga turut menyapih duka. Mereka menangis bersama-sama. Langit bergemuruh dan hujan menghunjam keras seakan semesta pun turut berduka. Mata Chandni menatap menerawang pada patung dewa Siwa. Mata indah itu tidak berkedip sekali pun meskipun binar-binar pilu telah mengisi pelupuk karena jika berkedip, maka binar itu akan menetes dan jatuh ke bumi. Dadanya terasa nyeri. Jemarinya gemetaran, tetapi dia berusaha membunyikan lonceng dan kembali mengatupkan tangan. Dentang logam itu menjalar membuat rasa tertusuk-tusuk di sekujur tubuhnya. Dia adalah istri seorang panglima besar tentara Rajpur. Dia adalah prajurit khusus yang terlatih dengan kemampuan khusus. Tuan Imdad telah mengajarinya dengan sangat baik. Dia telah menaklukkan musuh terkuat. Dia telah menaklukkan dunia. Kali ini, Tuan Imdad sedang mengujinya lagi. Dia tidak akan mengecewakan Tuan Imdad. Dia akan menaklukkan duka lara hati ditinggal kekasih. "Tuan Imdad, Chandni tidak akan menangis," lirihnya dalam doa. *** Malam penuh duka berlanjut hingga keesokan hari. Kota Rajpur berduka mendalam. Setiap rumah menggelar doa dan altar penghormatan terakhir mereka. Rajputana menjadi kepala upacara pemakaman sahabatnya. Ia berusaha tegar karena ia seorang raja. Tidak ada satu duka pun boleh mempengaruhinya. Semua orang mengikuti prosesi walaupun sangat berat hati. Saif Ali pulang ke rumah hanya untuk jadi pengantar jenazah putranya, Jenderal itu sempat sempoyongan. Ia dan Maimoona berpelukan penuh tangis di sisi keranda jasad Imdad. Tidak ada satu orang pun yang tidak meneteskan air mata menghadapi duka itu, bahkan Veronica yang datang melayat menangisi kematian Imdad seperti kematian suaminya sendiri. Semua menangis, kecuali Chandni. Sarasvati dan Akash yang datang untuk menghiburnya malahan tidak ditoleh sama sekali oleh Chandni. Gadis itu berada dalam dunianya sendiri. Dia tidak tahu siang malam, bahkan tidak menyapa orang yang mengajaknya bicara. Tidak mendampingi jenazah suaminya, apalagi menengok jasadnya saat dibersihkan. Dia menulikan pendengarannya dan menganggap orang lain tidak ada. Tangisan Thoriq ingin menyusu diindahkan Chandni. Dia sibuk sendiri, berdandan cantik lengkap dengan bindhi merah di belahan rambut. Dia keluar masuk kamar, menyiapkan pakaian suaminya serta perlengkapan dinas Imdad. Dia duduk di pintu depan memandangi gerbang menunggu kedatangan suaminya. Tersenyum manis seakan bertatapan dengan kekasihnya. Hari suram membuat malam datang lebih cepat. Tiba saatnya jenazah Imdad diantarkan ke peristirahatan terakhir. Chandni tidak juga peduli. Maimoona dan Saif saling pandang, tidak tahu harus berucap apa pada Chandni. Maimoona terisak sesenggukan pada suaminya karena memahami duka Chandni dan tidak ada kata yang bisa menggambarkan bagaimana hancurnya gadis itu. Rajputana mencoba berbicara pada Chandni karena cukup yakin Chandni akan bereaksi padanya. Rajputana mendekati Chandni yang duduk bersandar di tiang teras. Gadis itu lekat memandang jauh. "Chandni ...." "Ia akan datang," sela Chandni tanpa menoleh pada pria di sebelahnya. "Chandni yakin itu. Tuan Imdad sudah bersumpah tidak akan meninggalkan Chandni." "Sadarkan dirimu, Chandni dan hadapi kenyataan!" Rajputana mengguncang tubuh Chandni sehingga gadis itu menatapnya gusar. "Imdad sudah mati. Suka atau tidak, kita harus menerima hal ini dan menghadapinya. Suamimu akan dimakamkan dan kau sebagai istrinya harus mengantar sampai ke liang lahat." Chandni mendengkus dan menepis tangan Rajputana. Dia menatap pria berpendar keemasan itu dengan penuh kesungguhan. "Mata saya punya penglihatan yang berbeda dengan yang kalian lihat. Yang kalian bawa hanyalah wadah, sementara saya melihat jiwanya. Saya yakin jiwa itu akan kembali pada saya. Di saat kalian tidak bisa melihatnya, sayalah yang akan mengurus jiwa itu." Rajputana terperangah mendengar jawaban itu, lalu secercah air mata mengalir di pipinya. Rajputana tersenyum tipis. "Semoga saja, Chandni. Semoga saja Imdad kembali. Beritahu aku jika ia datang. Buat aku bisa melihatnya dan jika Imdad butuh tubuh ... ada aku yang selalu bersedia untuk itu." Ekspresi wajah Chandni melembut. "Terima kasih, Yang Mulia. Sekarang, biarkan Chandni menunggu suami Chandni datang." Rajputana beranjak dari sisi Chandni. Ia menitahkan pemakaman segera dilaksanakan. Meski hujan mengguyur, keranda jenazah Imdad diarak oleh orang seisi kota ke tanah penguburan. Chandni tinggal seorang diri di halaman. Dia termenung terkenang kebahagiaan yang dirasakannya saat bersama Imdad. Terbayang mengulang lagi kebersamaan mereka, sumpah yang pernah diucapkan, janji yang diikrarkan, cinta yang ditakbirkan. Matanya berkaca-kaca. Dia bersenandung parau. "Hamesha tumko chaha aur chaha aur chaha chaha chaha aur chaha" (*) Aku hanya mencintaimu, mencintaimu lebih dan lebih ... "Hamesha tumko chaha aur chaha kuch bhi nahin" Aku hanya mencintaimu, mencintaimu dan tidak apa pun lagi "Tumhe dil ne hai pooja pooja pooja aur pooja kuchi bhi nahin" Hatiku hanya memujamu, memujamu dan tidak apa pun lagi "ohh Kuch bhi nahin kuch bhi ohh nahin kuch bhi nahin " Tdak ada apa pun lagi... tidak ada apa pun lagi... "Jo daag tumne mujhko diya us daag se mera chehra khila" Bekas luka yang kau berikan padaku telah mencerahkan wajahku "Rakhongi isko nishaani banakar maathe pey isko hamesha sajakar" Aku akan simpan kenangan ini dan tidak pernah aku hilangkan "Oh pritam oh pritam bin tere mere is jeevan mein kuch bhi nahin" O Sayang, o Sayang, tanpamu tidak ada sama sekali dalam hidupku "Nahin nahin nahin nahin kuch bhi nahin" Tidak, Tidak, tidak, tidak tidak ada apapun lagi.. Chandni mulai merasa lelah menahan tangis. Dia mengalihkan pandangannya dari halaman, tertunduk dalam di lutut hingga bindi merahnya tersapu kain. Tiba-tiba terdengar suara pria menyahut nyanyiannya. Chandni mengenali suara itu. Dia mengangkat kepala dan mencari-cari sosok pemilik suara. "Woh bachpan ki yaadein ... woh rishte woh naate woh sawan ke jhule" kenangan masa kecil, janji janji hubungan kita "Woh hasna woh hasana woh rooth kar phir manana" Kebahaagiaan saat hujan Kenangan pertama mereka bersama di gua di hutan. Chandni beranjak dari duduknya, mengabaikan hujan, melangkah mendatangi suara itu. "Woh har ek pal mein dil mein samayi diye mein jalaye" Setiap saat dia membakar di hatiku "Le ja rahi hoon main le ja rahi hoon main le ja rahi hoon" Aku akan membawa pergi... Akan aku bawa pergi... Chandni melihat sosok itu, sosok Tuan Imdad dengan selubung serigala bersurai perak. Kali ini Imdad berada dalam wujud astral yang berpendar keperakan. Pria itu memanggilnya semakin nyaring. "Oh pritam oh pritam bin tere mere is jeevan mein kuch bhi nahin" O Sayang, o Sayang, tanpamu tidak ada sama sekali dalam hidupku "Nahin nahin nahin nahin kuch bhi nahin" Tidak, Tidak, tidak, tidak tidak ada apapun lagi.. Pria itu tersenyum dan mengulurkan tangan padanya. Chandni menyambut uluran tangan itu. Seketika energi astral mereka bersentuhan dan membaur. Suara mereka bersahutan membahana dalam rinai hujan. "Hamesha tumko chaha aur chaha aur chaha chaha chaha chaha" Aku hanya mencintaimu, mencintaimu lebih dan lebih ... "Aur chaha aur chaha chaha chaha chaha...(2)" Aku hanya mencintaimu, mencintaimu "Haan chaha chaha chaha chaha" Ya mencintaimu, mencintaimu, "Baas chaha chaha chaha chaha" Hanya mencintaimu ... mencintaimu, "Aour chaha chaha chaha chaha" mencintaimu lebih dan lebih Chandni melangkah mengikuti wujud astral Imdad. Mereka pergi menjauh dan semakin jauh dari rumah. Di saat jasad Imdad Hussain kembali ke asalnya di tanah, malaikat pencabut nyawanya kembali ke langit tempatnya berasal. Devdas tiba di lobi utama nirwana. Rasa sakit yang menderanya baru saja berakhir. Tubuh abadinya membuatnya tidak cedera sedikit pun. Ia melangkah sempoyongan dan muka meringis marah. "Lho? Devdas, kamu kenapa?" tanya orang-orang yang berpapasan dengannya. Devdas tidak memedulikan mereka. Ia terus melangkah sampai kondisinya berangsur pulih, lalu Devdas mempercepat langkahnya. Ia ingin tahu apa yang terjadi pada dirinya dan sepertinya hanya satu orang yang bisa menjelaskan itu semua, yaitu Zourdan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN