Tabib Salman memeriksa Chandni dan heran Chandni mengingat banyak hal kecuali yang berhubungan dengan Imdad. Jika ditanya soal anak dan pernikahannya dengan Imdad, Chandni menjadi linglung dan pucat pasi. Tabib Salman menyimpulkan sementara.
"Chandni mengalami tekanan batin yang sangat berat sehingga ia lupa ingatan," ujar Tabib Salman. Rajputana sangat terpukul mendengar hal tersebut. Ia merasa itu salahnya karena tidak bisa melindungi Chandni saat hantaman serangan jin udara. Rajputana tertunduk mengusap kening ke pelipisnya. Kurang tidur dan emosi campur aduk membuatnya kelelahan.
Rajputana kembali ke istananya untuk menyelesaikan urusan dengan klan Chaudori. Varun Chaudori menunggunya di balairung utama. Menahan ayah dan Ibunya sebagai jaminan bahwa ia harus datang dan membayar hutang nyawa pada Varun.
Anuradha juga ada di sana, berlutut di tengah ruangan, memohon agar Varun pulang dan mengikhlaskan semuanya. Akan tetapi Varun pantang mundur. Ia dan panglima pasukannya bersama puluhan prajurit terbaik datang untuk menuntut balas.
Varun mencabut pedangnya dan berjalan ke arah Rajputana sambil menghardiknya. "Anak menantu sialan! Kau membunuh putraku. Aku akan memenggal kepalamu sebagai gantinya."
Rajputana tanpa gentar menghunus pedangnya meskipun pedang prajurit siaga di bawah dagu ayah ibunya. "Siapa yang datang padaku dengan damai, akan mendapatkan kedamaian pula. Siapa yang datang mencari mati, maka kematian yang akan didapatkannya."
"Erraah!" Varun mengayunkan pedangnya. Namun, sebelum terangkat tinggi, pedang Rajputana sudah lebih dulu menebas leher Varun. Tubuh pria tua itu masih berdiri tegak, tetapi kepalanya sudah tidak di tempat. Kepala berturban penguasa jatuh menggelinding di lantai diikuti ceceran darah. Darah panas menyembur dari leher Varun. Tak seberapa lama tubuh itu tumbang, darah kental menggenang luas.
Semua orang membeku tanpa bernapas dan berkedip. Hanya Rajputana yang berdiri menggeram serta pundak turun naik meredam amarah. Anuradha yang lama berlutut, terduduk gemetaran melihat jasad ayahnya.
Rajputana menatap nyalang pada prajurit klan Chaudori. "Siapa lagi yang ingin menuntut balas, aku persilakan kemari. Hadapi aku."
Panglima pasukan Chaudori maju cepat mendatanginya. Tidak ketinggalan mengangkat pedangnya. " Aarrhh ...." Pedang berdentang keras oleh aduan kekuatan penuh. Rajputana memutar pedangnya. Pedang lawannya terpental, meninggalkan pemiliknya tanpa pertahanan. Leher pria itupun kena tebas pula. Jasadnya tergeletak di sisi pemimpinnya. Lantai ruangan untuk berpesta itu menjadi wahana jamuan kematian.
Rajputana menyeringai menikmati rasa puas menjadi algojo lawan- lawannya. "Siapa lagi?" tanyanya. Nyali para prajurit Chaudori ciut seketika. Tangan mereka gemetaran, tidak menyangka raja yang senantiasa penyayang bisa menjadi nyalang bagai kesetanan. Pedang mereka diturunkan. Prajurit Rajpur segera mengamankan mereka.
Namun, bukannya suasana redam, Rajputana malah berujar yang membuat semua orang tercengang. "Penggal kepala mereka semua!"
Udai Singh dan Susmitha, serta Anuradha tidak bisa bersuara karena takut menambah kalap Rajputana. Para prajuritnya sempat saling pandang, akan tetapi Vijay meneruskan titah rajanya. Ia menekan pundak seorang tawanan sehingga berlutut dan menebas leher orang itu sambil berteriak lantang meluapkan amarahnya yang tertahan sejak kematian Imdad. Menyaksikan hal itu, prajurit lain segera mengikutinya.
Puluhan kepala dipenggal nyaris bersamaan. Darah terpencar ke mana- mana. Teriakan meregang nyawa menggema. Susmitha menangis ketakutan segera dipeluk Udai Singh. Anuradha seorang diri di lantai tak bisa bergerak ataupun bersuara. Mulutnya termangap berusaha bernapas. Ia telah kehilangan kakaknya, lalu kehilangan ayahnya di depan mata, lalu disusul pengikut setia klannya yang sudah bertahun-tahun dikenalnya. Ia berharap tangan suaminya memeluknya, mengamankan dirinya dari semua tragedi. Akan tetapi, yang dilakukan Rajputana malah meninggalkannya. Pria itu memikirkan perempuan lain dan pergi untuk menemuinya. Anuradha nelangsa, tersia -sia tanpa harga diri.
Tidak tahu lagi entah siang, entah malam. Bagi Rajputana dunianya gelap gulita. Dalam benaknya merapal duka nestapa kehilangan sahabatnya. Hati dan rasa yang terhubung lintas dimensi ruang dan waktu.
"Woh bachpan ki yaadein ... woh rishte woh naate woh sawan ke jhule"
kenangan masa kecil, janji janji hubungan kita
"Woh hasna woh hasana woh rooth kar phir manana"
Kebahaagiaan saat hujan
"Woh har ek pal mein dil mein samayi diye mein jalaye"
Setiap saat dia membakar di hatiku
"Le ja rahi hoon main le ja rahi hoon main le ja rahi hoon"
Aku akan membawa pergi... Akan aku bawa pergi...
"Oh pritam oh pritam bin tere mere is jeevan mein kuch bhi nahin"
O Sayang, o Sayang, tanpamu tidak ada sama sekali dalam hidupku
"Nahin nahin nahin nahin kuch bhi nahin"
Tidak, Tidak, tidak, tidak tidak ada apapun lagi....
Rajputana tiba di pusara sahabatnya, belahan jiwanya. Imdad. Turun dari kudanya, tertatih melangkah, lalu jatuh berlutut di sisi pusara Imdad. Air mata yang lama tertahan tercurah lepas asa. Tertelungkup ditumpukan bunga dan tanah basah, Rajputana meraung keras, tangan terkepal menggenggam tanah makamnya.
"Bawa aku bersamamu, Bhai .... Bawa aku ...," pelasnya pada yang berada di kegelapan abadi.
***
Hidup adalah sebuah janji. Mati adalah pasti. Di antara kedua hal itu ada derita, bahagia, mengenang dan melupakan. Jalan takdir dan nasib tetaplah harus dijalani.
Seminggu berlalu. Sehari-hari hari Chandni adalah dirinya sebelum mengenal Imdad. Gadis yang berangan - angan menjadi selir raja.
Maimoona berkunjung ke sanggar untuk membawa Thoriq pada ibunya. Thoriq gembira melihat ibunya lagi. Anak itu berlari ke pangkuan Chandni. Akan tetapi tatapan asing serta beringsut menjauhi yang dilakukan ibunya, membuat Thoriq menangis. "Amma...," teriaknya. Ia merentangkan tangan minta digendong, tetapi sang ibu malah semakin menarik diri.
"Siapa kau?" tanyanya ketakutan.
Sarasvati dan Maimoona menangis melihatnya. "Chandni, dia anakmu. Toru ...," lirih Maimoona.
Chandni menggeleng sambil menutup kedua telinganya. Dia mendengar suara petir yang sangat keras dan tangis anak itu memperburuk keadaan. "Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak punya anak," ujarnya gamam. Kepalanya terasa mau pecah, ledakan dahsyat terulang dalam penglihatannya.
Sarasvati dan Maimoona terpekik. Chandni jatuh lemas dan pingsan seketika.
***
Rajputana datang bersama Tabib Salman. Tabib itu memeriksa Chandni. Gadis itu jatuh pingsan dan setelah sadar ia tidak ingat apa pun yang menyebabkannya pingsan. Thoriq yang menjadi pemicu tekanan jiwa Chandni diungsikan. Vijay mengajaknya berkuda ke sungai seperti yang biasa Imdad lakukan bersama putranya.
Rajputana, Sarasvati, Akash, Maimoona, dan ibu kepala berkumpul di ruang tamu kediaman Sarasvati untuk mendengarkan penjelasan Tabib Salman.
"Jadi, apa yang harus kami lakukan, Salman-ji?" tanya Akash.
"Sebisa mungkin menjaga pikirannya tetap tenang dan gembira. Jika ia bisa menerima kenyataan perlahan- lahan ingatannya akan pulih seperti sedia kala. Untuk itu perlu waktu yang tidak tentu. Bisa lama, bisa juga cepat. Yang jelas kita tidak boleh memaksanya. Kelak ia akan mulai bertanya-tanya dan mencari tahu sendiri apa yang hilang di hidupnya."
Rajputana dan Saravati melongok ke dalam kamar Chandni, di mana gadis itu duduk di depan cermin merias diri dan senyum terus terkembang di wajahnya. Ia menenteng sepasang gelang kaki berukir unik, bertanya- tanya kenapa benda itu bisa ada sepasang setelah sekian lama ia memakainya sebelah saja. Ia juga kebingungan melihat bekas luka di pundaknya. Ia juga heran menatap telapak tangannya yang kadang- kadang mengeluarkan pendar cahaya keperakan. Terlebih lagi ia bingung melihat pria berpendar keemasan yang wajahnya jelas terlihat sangat rupawan, bukan binatang seperti manusia lainnya. Chandni merasakan energi pria itu. Ia menoleh ke arah pintu dan mendapati Rajputana sedang memandanginya.
Chandni bangkit dan berlari kecil mendatangi Rajputana. Melihat kerabatnya berkumpul bersama raja muda itu, Chandni jadi penasaran. "Apakah Maharana mencari selir baru? Apakah Chandni cukup menawan untuk menjadi selir?" Bola matanya berkedip- kedip menggoda Rajputana. Akash dan Sarasvati menatap menunggu jawaban Rajputana.
Rajputana tersipu dan lekas mengalihkan pandangan. "Tidak, Chandni. Saat ini aku tidak mencari selir."
Chandni merengut, memelintir ujung selendangnya dan tertunduk dalam. Berpikir Maharana tidak tertarik padanya dan menolaknya secara halus. Ia merajuk, kembali ke dalam kamar dan merenung di tepi jendela. "Agaknya aku bernasib sial dalam jodoh," gumamnya. Ia mencari sosok Prapti, tetapi hantu itu tidak muncul- muncul juga di saat dibutuhkan. Akhirnya, Chandni merenung sendirian.
Sarasvati dan Akash berpegangan tangan seraya mengembus napas lelah. Mereka lalu menatap menuntut Rajputana. Sarasvati yang angkat bicara. "Yang Mulia, bukankah Chandni harus gembira agar dia lekas pulih. Jika menjadi selir Yang Mulia membuatnya senang, maka kabulkanlah keinginannya. Jadikan Chandni selir Yang Mulia."
Rajputana gamam dan berujar lirih. "Haruskah aku melakukannya? Bagaimana jika ia mendapatkan ingatannya kembali dan ia tidak menyukainya. Bukankah Chandni akan membenciku? Ia sangat mencintai Imdad ...."
"Tetapi dia melupakannya." Sarasvati segera menyela. "Dia bahkan tidak teringat anaknya. Bukankah ini artinya ia memiliki kesempatan berbahagia kembali? Mungkin saja ini berkah Tuan Imdad untuk Chandni agar istrinya tidak bersedih kehilangannya."
Sarasvati tiba-tiba berlutut pada Rajputana. Pemuda itu tersentak, tetapi tidak bisa beranjak. Sarasvati mendekap kakinya dan menangis sesenggukan. "Semakin ia bergembira, semakin cepat pulih ingatannya, semakin cepat pula Chandni mengenali putranya. Mereka bisa kembali bersama sebagai ibu dan anak."
Rajputana kelu. Ia beringsut menjauhi Sarasvati lalu berdiri dan berjalan mondar mandir sambil berpikir. Ia mengembus napas dan menggeleng beberapa kali lalu membulatkan tekad berucap pada semua orang. "Baiklah, aku akan menjadikan dia layaknya istri simpananku. Untuk sementara dia tinggal di sini saja. Dia masih dalam masa iddah, aku tidak akan menggaulinya, tetapi aku akan mengasihinya seperti istriku. Siapkan sebuah kamar khusus untuk aku mengunjunginya."
Sarasvati, Akash, dan ibu kepala bergegas berpegangan tangan. Mereka berseru gembira sambil mengiyakan rencana Rajputana. Mereka menangis haru. "Chandni pasti akan senang sekali, Yang Mulia!"
Rajputana hanya bisa tersenyum tipis. Dalam hati menangis. Akhirnya ia bisa memiliki Chandni, tetapi kenapa mesti dengan cara setragis ini? Tanah kuburan sahabatnya belum lah mengering. Rumput pun belum tumbuh, tetapi ia sudah mengambil jandanya untuk kesenangan pribadinya. Ia benar- benar saudara yang terkutuk.
Sarasvati memanggil Chandni dengan riang. "Chandni! Chandni! Kemarilah!"
Gadis itu bergegas berlari mendatanginya. "Ada apa, Bibi?"
Sarasvati mengusap bingkai wajah Chandni seraya tersenyum. "Anakku, aku baru saja mendapat kabar baik. Maharana Rajputana akan menjadikanmu selirnya."
Mata Chandni membulat dan berbinar gembira. "Sungguh?"
Sarasvati mengangguk. Chandni semringah menatap Rajputana. Pria berpendar keemasan itu balas menatapnya sambil tersenyum tipis. Ia berkata pada Chandni dan menyentuh dahinya. "Mulai saat ini, aku yang akan menghiasi keningmu dengan bindhi, ... Chandni-ku."