Mitha pergi sekolah dengan diantar Pak Yayat. Andai tidak ujian ia akan memilih mengurung diri di dalam kamarnya. Ia masih bingung bagaimana cara menceritakan apa yang dialaminya pada kedua orang tuanya.
Tiba di depan sekolah, Mitha turun dari dalam mobilnya.
"Mitha!" Panggilan seseorang membuat ia menolehkan kepalanya.
"Abang" gumamnya pelan.
"Mitha..."
"Maafkan Mitha, Bang. Sudah membuat kekacauan di dalam keluarga Abang. Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi, Mitha tidak ingin Abang kena marah mommy" Mitha mempercepat langkahnya, Yudhis menggapai lengannya, Mitha menolehkan kepalanya. Tatapannya memohon agar Yudhis melepaskan pegangannya.
Yudhis menggelengkan kepalanya, tapi suara bell tanda masuk membuat Yudhis terpaksa melepaskan pegangannya di tangan Mitha.
"Assalamuallaikum, Bang"
"Walaikum salam, Abang sayang Mitha" ujar Yudhis dengan suara bergetar menahan kegelisahan hatinya.
Yudhis menatap punggung Mitha yang berlari kecil meninggalkannya. Ada perasaan sakit di lubuk hatinya, karena tidak bisa melihat rona ceria di wajah Mitha, dan senyum manis di bibir Mitha. Yudhis menarik napas dalam-dalam, lalu ia hembuskan dengan sangat perlahan. Yudhis menundukan kepalanya, lalu melangkah dengan rasa galau di dalam hatinya.
Mitha sendiri berusaha menahan air matanya, ia tidak ingin menangis untuk saat ini. Semalam ia sudah berpikir, dan membuat sebuah keputusan. Ia ingin kuliah di Bandung, ia tidak ingin lagi tinggal di rumahnya, jika keberadaannya hanya akan membuat mommy Yukinya terluka. Ia bertekad untuk belajar menjauh dari Yudhis dan keluarganya. Kemarahan Yuki pada Yudhislah yang membuatnya mengambil keputusan itu. Mitha merasa karena dirinyalah Yudhis mendapat hukuman dari mommy Yuki. Karena dirinyalah, mommy Yuki menangis dan terluka hatinya. Mitha merasa tidak akan sanggup hidup di bawah tatapan benci mommy Yuki yang ia sayangi dan tadinya sangat menyayanginya. Mitha yakin kalau mommy Yuki kini pasti sangat membencinya.
****
Sore ini Yuki sedang berada di dapur seperti biasanya, membuat cemilan bersama dua asisten rumah tangganya. Yuki menolehkan kepalanya ke arah pintu ke luar dapur yang menghadap ke luar rumah. Ia merasa mendengar panggilan bernada manja seperti biasanya. Tapi tidak ada siapapun di sana, Yuki menghela napasnya, lalu menundukan kepalanya.
Sekali lagi ia melakukan hal sama, menatap ke arah pintu yang memang sengaja selalu dibuka, agar Mitha bisa masuk dari sana. Yuki beranjak mendekati pintu dapur, tatapannya tertumbuk pada tangga yang bersandar di dinding pagar, ia berharap seseorang akan muncul dari balik pagar.
"Ada apa Bu?" Tanya salah satu asisten rumah tangganya.
"Eeh, tidak ada apa-apa" jawab Yuki sembari menggelengkan kepalanya. Sekali lagi ia menatap ke arah puncak tangga, kembali berharap sebuah kepala mungil muncul dari balik tembok pagar, tapi harapannya hanyalah harapan saja, penantiannya sia-sia. Mata Yuki berkaca-kaca.
'Apa Mitha membenciku karena kejadian semalam, ataukah ia berpikir aku yang membencinya. Ya Allah, aku merindukan anak itu, terasa sangat sepi tanpa adanya dia'
Yuki kembali masuk ke dalam dapur, tapi pintu masih dibiarkannya terbuka, berharap gadis imut itu muncul dari sana.
****
"Apa!?" Hanum dan Pram berseru dengan suara nyaring, lalu mereka saling pandang satu dengan yang lain.
"Mitha kenapa sayang, Papi dan Mami baru pulang dari Surabaya, tapi Mitha sudah menyambut dengan berita yang sangat mengejutkan ini, ada apa sebenarnya?" Tanya Pram saat mendengar keputusan Mitha ingin tinggal di Bandung.
Pram mengangkat tubuh mungil putirnya, lalu ia dudukan di atas pangkuannya. Mitha memeluk leher Papinya, lalu membasahi pundak Papinya dengan air mata.
Hanum dan Pram memang baru tiba sore hari tadi dari Surabaya. Saat ini mereka tengah duduk di ruang tengah setelah menyantap makan malam.
Melihat sikap aneh putri mereka, Hanum dan Pram saling pandang, mereka benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sudah terjadi dengan Mitha selama mereka pergi. Kemarin sore mereka masih mendengar celoteh dan tawa riang Mitha di telpon, tapi keadaan berbeda justru mereka temui saat mereka sudah kembali ke rumah.
Mitha menyudahi tangisnya, wajahnya menunduk dalam, tidak berani menatap kedua orang tuanya. Rasa bersalah tengah menyesakan perasaannya.
"Aya naon, geulis. Ada apa?" Hanum menatap putrinya yang tertunduk.
"Teu naon-naon, Mami. Mitha cuma ingin belajar mandiri" jawab Mitha pelan.
"Tatap Mami, don't lie ka Mami, iyess. Mami teu suka dibohongi. Mami selalu mengajarkan pada Mitha untuk jujur, dimanapun Mitha berada, apapun yang terjadi pada Mitha. Mitha harus jujur, meski itu pahit, sok atuh, ceritakan ka Mami, aya naon?" Tanya Hanum dengan nada lembut. Mitha mengangkat wajahnya, air mata membanjiri pipinya, Pram dan Hanum saling tatap, mereka tahu ada yang tidak beres, tapi tidak tahu apa masalahnya. Pram menghapus air mata di pipi putri kesayangannya.
"Bicaranya pelan-pelan saja Sayang. Jangan takut, Papi dan Mami tidak akan marah, asal Mitha mau jujur. Ayo, ceritakan, kenapa tiba-tiba saja Mitha ingin tinggal dengan Tante Ratih, dan ingin kuliah di Bandung?" Bujuk Pram dengan suara lemah lembut. Dirapikannya helaian rambut Mitha yang jatuh menutupi wajah putrinya itu.
"Mitha sudah berbuat salah" ujar Mitha terbata, lalu pecah lagi tangisnya. Hanum dan Pram kembali saling pandang, mereka belum bisa meraba apa maksud ucapan Mitha.
"Mitha salah apa, sayang?" Tanya Pram.
"Mitha sudah bikin Bang Yudhis di tampar mommy. Mitha sudah bikin mommy menangis, Mitha sudah membuat keributan di rumah daddy Yudha"
Sekali lagi Hanum dan Pram saling tatap. Mereka semakin bingung saja dengan maksud ucapan Mitha. Apa lagi mendengar kalau Yudhis ditampar Yuki gara-gara Mitha.
"Maksud Mitha apa Sayang, tolong jelaskan kesalahan apa yang sudah Mitha buat" ujar Hanum kebingungan. Mitha menatap maminya dengan perasaan takut, maminya bisa lebih tegas dan tega dari papinya.
"Papi sama Mami jangan marah sama Abang Yudhis seperti mommy ya."
"Iya"
"Janji dulu"
"Iya, Papi dan Mami tidak akan marah, teruskan cerita Mitha ya sayang" kembali Pram membujuk putrinya. Diusapnya lembut punggung putrinya.
"Janji ya Mi, Pi, jangan marah dan benci Bang Yudhis"
"Iya, mami dan papi janji" Hanum menganggukan kepalanya untuk meyakinkan putrinya.
"Mitha, ehmm, Mitha.." Mitha menggigit bibir bawahnya, teringat akan ciuman pertamanya, wajahnya merah merona, membuat kedua orang tuanya kembali saling pandang sambil mengernyitkan kening mereka.
"Mitha minta, ehmm ini salahnya Mitha ya Mi, Pi, bukan salah Bang Yudhis, jadi kalau Mami dan Papi mau marah, marahnya sama Mitha saja"
"Iya, kami tidak akan marah, ayo lanjutkan ceritanya, Sayang" bujuk Pram.
"Ehmm, Mitha, Mitha minta ajarin sama Bang Yudhis"
"Bang Yudhiskan memang Papi mintai tolong untuk mengajari Mitha" ujar Pram.
"Ehmm, bukan mengajari pelajaran di sekolah, Papi!" Mitha menggelengkan kepalanya.
"Lalu pelajaran apa, sayang?" Tanya Hanum yang mulai tidak sabar menunggu rasa penasarannya terpuaakan.
"Minta ajari, ummm..uumm..ci..ciuman"
"Apa!?"
Mitha sampai melompat turun dari pangkuan papinya, karena terkejut mendengar teriakan keduanya.
"Tuhkan marah, kalau Papi dan Mami marah, Mitha minggat saja, Mitha mau minggat ke rumah Tante Ratih di Bandung" Mitha lari menaiki tangga untuk menuju kamarnya.
"Minggat pakai kasih tahu, pakai kasih alamat juga, ckckck.." gumam Pram sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, karena merasa lucu dengan tingkah putrinya.
"Papi iih, ini bagaimana, kok putrimu yang polos itu bisa-bisanya minta ajarin berciuman sama Yudhis. Siapa yang ngajarin, Papi!?"
"Mi, anak zaman sekarang, seusia Mitha, tidak perlu diajari juga sudah paham sendiri. Cuma anakmu yang jujur minta diajari ciuman." Jawab Pram.
"Kalau menurut analisa Mami, pasti mereka kepergok kak Yuki saat Yudhis mengajari Mitha ciuman, makanya Yudhis ditampar mommynya. Yudhis juga kenapa mau-maunya ngajarin Mitha ciuman"
"Itu artinya Yudhis itu pria normal, Mami. Mana ada pria yang menolak diajak cewek ciuman"
"Iih Papi, jadi ini bagaimana?"
"Kita susul dulu Mitha ke kamarnya, takutnya dia nekat minggat betulan"
"Ayoklah!" Hanum berdiri lebih dulu dari duduknya, diikuti oleh Pram. Mereka berjalan beriringan menaiki tangga.
BERSAMBUNG