Pintu kamar Mitha terbuka, terlihat ia tengah memasukan pakaiannya ke dalam koper. Pram dan Hanum menghampiri putri mereka.
"Sayang, pernah mendengar kalimat ini tidak. Orang yang lari dari masalah, adalah orang pengecut. Masalah ditinggal lari tidak akan selesai, masalah harus dihadapi, diselesaikan sampai tuntas, agar hidup kita tenang. Papi yakin, meski Mitha perempuan, kecil mungil dan imut, tapi pasti Mitha bukan seorang pengecut. Mitha pasti wanita yang kuat, seperti Mami. Papi benerkan sayang?"
"Papi" Mitha memeluk Pram.
"Jangan pergi ya sayang" pram menarik putrinya agar duduk di pangkuannya seperti tadi.
"Ehmm, tapi Mitha tidak ingin bertemu lagi dengan momny, daddy, dan Bang Yudhis. Mitha malu, Papi"
"Tapi Papi dan Mami penasaran nih, kenapa kok Mitha bisa sampai minta ajari ciuman sama Bang Yudhis?" Tanya Pram menyelidik. Wajah Mitha memerah, ia menjalin jemari di atas pangkuannya.
"Jawab dong sayang, jangan menyimpan rahasia apapun dari Mami dan Papi" bujuk Hanum. Rasanya ia tidak akan percaya, kalau orang lain yang bercerita, putrinya minta ajari berciuman. Tapi, karena ceritanya berasal dari mulut putrinya sendiri, ia terpaksa harus mempercayainya.
"Mitha ditembak Toni"
"Ditembak!?" Hanum berseru kaget, lalu mengamati tubuh putrinya dengan seksama.
"Di mana ditembaknya, Sayang? Teu ada yang luka?" Tanya Hanum bingung.
"Aduh, Ibu Pengacara, bukan ditembak yang itu, Mami. Tapi maksud Mitha, Toni ingin Mitha jadi pacarnya" ujar Pram.
"Oooh, kenapa harus pakai kata ditembak coba" protes Hanum.
"Enghh, Mami sama Papi mau dengar setori Mitha, teu?" Rengek Mitha dengan wajah cemberut.
"Teruskan ceritamu, Sayang" bujuk Pram sambil mengusap kepala Mitha lembut.
"Toni ingin Mitha jadi pacarnya, Mithakan malu kalau nanti Toni cium Mitha, Mithanya belum tahu cara ciuman"
"Ya Allah, ciuman itu cuma boleh dilakukan kalau sudah menikah sayang. Makanya mommy Yuki marah besar sama Bang Yudhis karena berani menciummu" ujar Hanum.
"Yang salah Mitha, Mami. Bukan Bang Yudhis" Mitha tetap membela Yudhis.
"Hhh, sekarang Mitha istirahat saja, fokus pada ujianmu dulu, urusan yang lain biar nanti dipikirkan lagi ya"
"Iyess, Papi"
Pram membaringkan Mitha di atas ranjang, lalu menutupkan selimut ke tubuh putrinya, dikecup kening putrinya dengan penuh cinta.
"I love you, Sayang"
"Lap yu tu, Papi"
Hanum juga mengecup kening Mitha.
"Mami sayang Mitha"
"Mitha juga sayang Mami"
"Tidur ya sayang" Hanum mengganti lampu kamar dengan lampu tidur.
Mitha menganggukan kepalanya, ia berusaha memejamkan matanya. Mengusir kegundahan di dalam hatinya.
Tak ada yang tahu, kalau ada seseorang di rumah sebelah yang tengah berdiri di balkon teras kamarnya. Tatapannya tertuju ke kamar Mitha, berusaha menangkap bayangan seseorang yang dirindukannya. Tapi, ia tidak bisa melihat apapun, selain tirai jendela yang menutupi jendela di kamar Mitha.
Yudhis mendongakan wajahnya ke langit, seakan ia ingin melihat sosok Mitha yang ceria di sana. Tapi yang ada hanya pekatnya malam, bahkan bintang dan bulanpun bersembunyi di balik kegelapan. Hujan rintik mulai jatuh membasahi lengannya yang berpegangan pada sisi pagar pembatas balkon. Yudhis menghembuskan kuat napasnya, lalu sekali lagi menatap ke arah kamar Mitha.
"Aku mencintaimu" bisiknya seakan ia tujukan pada dirinya sendiri. Lalu ia berbalik untuk masuk kembali ke dalam kamarnya. Yudhis ingin menutup pintu, namun gerakannya terhenti saat melihat pintu teras kamar di rumah sebelah terbuka. Diambang pintu, muncul sosok yang sangat dirindukannya. Mitha berjalan ke luar dari kamarnya menuju teras. Yudhis tidak berkedip menatapnya, ia takut kalau berkedip, Mitha akan menghilang dari pandangannya. Yudhis batal masuk ke dalam kamar, ia kembali pada posisinya tadi, tidak dirasakannya gerimis yang membasahi tubuhnya, demi bisa melihat pujaan hatinya.
Yudhis berharap Mitha menatap ke arahnya, namun Mitha mendongakan kepalanya, cukup lama ia mendongak seakan sedang menghitung bintang di angkasa. Padahal Yudhis tahu langit gelap tanpa bintang. Tetes gerimis berubah jadi rinai hujan, tapi Mitha masih menengadah ke atas langit, tidak tampak kalau ia sedang kehujanan, sedang Yudhis terpaksa mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan. Begitu ia membuka matanya, Mitha sudah tidak ada lagi di tempat di mana ia tadi berada. Pintu kamarnya tampak tertutup rapat, seakan tidak pernah terbuka. Lampu kamarnyapun terlihat temaram, menandakan si pemilik kamar tidak lagi terjaga. Yudhis terhenyak, ia menyadari kalau yang ia lihat hanyalah halusinasi, karena kerinduannya yang terlalu dalam.
Yudhis menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan, untuk menguraikan rasa resah, dan gelisah di dalam lubuk hatinya. Dengan tubuh basah, Yudhis kembali masuk ke dalam kamarnya.
****
Yudhis tersentak kaget saat pintu ruangan kantornya terbuka, satu wajah ceria muncul di hadapannya.
"Mitha!" Yudhis terlonjak bangkit dari kursi kerjanya begitu melihat sosok berseragam putih abu-abu yang begitu dirindukannya, saat ini sudah berdiri di hadapannya. Yudhis mendekati Mitha, mereka berdiri berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Yudhis tidak bisa menyembunyikan kerinduannya, itu tampak jelas dari sorot matanya. Mitha mendongakan wajahnya agar bisa menatap wajah Yudhis.
"Mitha datang untuk minta maaf atas kejadian tadi pagi. Tidak seharusnya Mitha menghindari Abang. Yang terjadi karena salah Mitha, bukan salah Ab...hmmmppp" Ucapan Mitha terhenti, Yudhis memagut bibirnya dengan sedikit kasar, karena rasa rindu yang membuncah di dalam dadanya. Mata Mitha terpejam, tangannya terangkat untuk memeluk pinggang Yudhis. Yudhis mengangkat Mitha, lalu membaringkan Mitha di atas sofa, tanpa ia melepaskan pagutan bibirnya. Mitha sendiri seakan pasrah saja, pada apa yang akan dilakukan Yudhis terhadap dirinya. Yudhis seperti kemasukan jin c***l, sudah lupa dengan janjinya pada orang tuanya, agar tidak lagi menggoda ataupun tergoda oleh Mitha.
Kerinduan dan rasa cinta yang menyiksanya, membuatnya ingin memiliki Mitha seutuhnya, Yudhis sudah tenggelam dalam napsu duniawi yang menjeratnya. Erangan Mitha karena kecupan Yudhis di lehernya membuat hasrat Yudhis semakin menggebu saja. Yudhis membuka kancing seragam putih Mitha, dan menaikan bra Mitha yang masih menutupi d**a.
Mitha menjerit tertahan saat ujung dadanya diisap Yudhis dengan penuh napsu. Reflek Mitha mendorong tubuh Yudhis agar menyingkir dari atas tubuhnya. Yudhis yang tidak menyangka Mitha akan mendorongnya jatuh berdebam di atas lantai. Yudhis membuka matanya perlahan. Ia terkejut karena mulutnya tengah menggigit ujung bantal, dan posisinya terbaring telentang di atas lantai. Yudhis merenggutkan bantal dari mulutnya, ia bangkit dari berbaringnya, lalu mengusap kepalanya yang terasa sakit.
'Ya Allah, cuma mimpi ternyata'
BERSAMBUNG