"Masalah apa maksudmu? Sejauh ini, aku dan Mas Indra tak punya masalah! Apa yang kau inginkan dengan meminta dia untuk menyelesaikan ruman tangga? Kau pikir kau siapa?"
Wanita itu terheyak, dia kaget sambil memegangi pipi dan menahan malu. Bagaimana tak malu kalau begitu banyak orang di toko emas itu.
"Ayo pulang," ajak Mas Indra sambil menarik tanganku dengan kasar.
"Enggak, kenapa kamu ngajakin aku pulang. Kamu canggung ketangkap basah olehku hah?" Desiskku menahan emosi.
"Ayo pergi, kamu udah nampar anak orang." Dia mendesis sambil menyeret tanganku, memeganginya dengan kencang ingga aku sendiri merasa kesakitan.
“Lepasin Mas, kamu nyakiti aku, gini ya cara kamu untuk mengalihkan kesalahan dan balik melempar kesalahan padaku."
“kamu hanya salah paham,” jawabnya sambil terus menyeretku keluar.
Aku yang merasa tidak terima dengan kekasaran dan cara suamiku menghindari masalah langsung meronta dan menepis tangannya. untuk beberapa saat kami saling menatap, pandangan suamiku berkilat, sementara aku yang tak sanggup menahan air mata langsung meradang dan minta penjelasan.
"Ngaku aja Mas, aku dengar kok, kalau dia ingin kamu dan aku segera cerai, dan dia minta dibelikan cincin untuk pernikahan kalian."
Suamiku yang berperawakan sedang dan tubuh atletis itu terdiam sambil mengenakan kacamata hitamnya. Mungkin ia malu pada orang orang yang kebetulan melihat.
"Atau mungkin ... kamu dan dia sedang melakukan pengecasan cincin, iya kan?"
"Enggak!"
"Terus apa tujuannya? Kamu sampai menyempatkan waktu di sela kesibukan kerja kamu cuma hanya buat ketemu wanita ini. Jawab Mas," ujarku mengusap air mata.
"Ah, itu hanya kebetulan saja, aku tadi ada urusan di sekitar sini, jadi aku berpapasan dengannya."
"Hah, gak mungkin, udah jelas-jelas kalian dekat dan mesra, wanita itu bergelayut di bahu dan menggenggam tanganmu," protesku, "ngaku itu pacarmu Mas."
"Astaga, ayo pulang."
Ketika Mas Indra menggenggam tanganku dan mengajakku pulang wanita itu menyusul di belakang kami sambil memanggil, wanita dengan gaun biru selutut dan belahan d**a yang seksi itu menatap Mas Indra dengan tatapan penuh makna, rambutnya yang digerai bergelombang membuatnya makin cantik saja. Berbeda denganku yang hanya berpenampian sederhana dengan baju longgar, celana pantalon dan kerudung pasmina.
"Mas...."
"Kita bicara nanti ya," ucap Mas Indra sambil memasukkan akunke mobil.
"Beraninya kau ingin bicara pada suamiku," ucapku mendelik tidak terima. Wanita mengernyit dan menganggkat sudut bibirnya dengan wajah menantang. Dia sepertinya tidak ada segan segannya sama sekali denganku.
"Memangnya kenapa, kamu juga tidak tahu detailnya kan tentang hubungan kami!"
"Beraninya kau, kupikir penampilanmu sinkron dengan otakmu, ternyata seleramu malah merebut milik orang," jawabku.
Wanita itu tertawa sambil melipat tangan.
"Milikmu? Apa yang membuatmu yakin bahwa Indra adalah milikmu sepenuhnya? hanya karena dia berbagi status denganmu bukan berarti kau memiliki raga dan jiwanya. Buktinya, dia masih bisa bersama dan mencintaiku!"
Aku seperti disambar petir kalau mendengar warna hitam itu berkata demikian. Ditambah ekspresi Mas Indra yang juga biasa biasa saja, cenderung mendukung wanita itu dengan kebungkaman dan sikap yang ia tunjukkan.
"Jadi kau bangga dengan statusmu yang pelakor itu?"
"Hahaha, kau yang dinikahi aku yang dinafkahi," ucapnya dengan penuh percaya diri.
"Nafkah itu hanya bagi mereka yang berhak, kau bukan istri, keluarga, anak anak atau b***k kan? Kalau begitu kau adalah hewan peliharaan, sebab hanya golongan itu yang pantas mendapatkan nafkah dari seseorang."
"Apa?!" Wanita itu meradang dan melepas tangannya yang tadinya bersilang di d**a.
"Iya, kau hanya simpanan yang derajatnya sama dengan hewan peliharaan!" Aku berteriak dengan hati yang begitu kesal.
Tiba-tiba suamiku menarik diri ini dari jendela mobil, tidak membiarkan diriku untuk berdebat dan terus saling menghujat dengan kekasihnya.
"Diamlah, jaga mulutmu, dia bukan orang sembarangan!"
"Emangnya kenapa kalau dia memang bukan orang sembarangan! Di mataku dia sama rendahannya dengan binatang," jawabku dengan perasaan yang meletup letup oleh kemarahan, aku sangat kecewa, kekecewaan itu menggumpal dan membuatku luar biasa sakit hati.
Plak!
Mas Indra menampar wajahku, aku terkejut, dia juga demikian, sama terkejut dan tidak menduga reaksi dirinya sendiri. Dengan segera ia minta maaf padaku dan sambil menyentuh wajah ini.
"Ma-maafkan aku, Sayang."
"Maaf katamu, kamu baru aja menamparku," jawabku sambil menangis. Kenyataannya pipiku memang berdenyut sakit, tapi yang lebih sakit hati ini, sakit menyadari suamiku membela wanita lain dan rela memukul ibu dari anaknya. Rela menyakiti wanita yang sudah dia ambil dari orang tuanya melalui akad nikah,dan melukai perasaannya.
Ya Allah, aku terhina, terluka di depan suamiku, di dalam mobil keluarga kami. Di luar w***********g itu melipat tangan sambil tersenyum puas. Sembari menggeraikan rambut kekasih suamiku itu menjauh dari hadapan kami.
*
Dua hari berlalu dengan kebekuan antara aku dan Mas Indra. Aku gak menegurnya, begitupun dia yang sama sekali tak berusaha minta maaf. Kami saling Diam, di kamar, di pembaringan, di meja makan dan momen berkumpulnya kami dan anak di ruang tv. Hubungan kami jadi hampa dan pupus, hatiku hancur. Tidak menyangka ia sudah sejauh itu, tidak mengira bahwa diam diam dia menjalin hubungan khusus dengan wanita yang lebih cantik.
Dulu, ia menikahiku karena konon katanya aku wanita Solehah, berjilbab dan rajin ibadah, lalu apa yang mengubah suamiku sekarang. Mengapa ia terperosok dalam jurang perselingkuhan dengan wanita yang penampilannya terbuka. Juga kenapa harus diam diam berencana menikah? Kalau memang mau nikah, apa salahnya untuk jujur, meski sakit, mungkin aku akan menghargainya.