3

625 Kata
"Aku minta maaf ya atas semua perlakuanku tempo hari," ucapnya saat menghampiriku di meja makan. Pada akhirnya dia minta maaf juga setelah seminggu lebih kami tidak bertegur sapa. Kupikir dia terus akan mempertahankan egonya, tapi rupanya ia terdesak juga. Entah apa keperluannya minta maaf tapi aku hanya diam saja menanggapi ucapan itu. "Bund, aku minta maaf." Aku masih diam melanjutkan pekerjaanku menata piring dengan jelas untuk persiapan makan siang. "Karena merasa pusing dan gugup aku tidak sengaja memukul wajahmu, aku benar-benar menyesal dan menutupi perbuatanku sendiri." Aku tetap aja tak acuh saja pergi ke dispenser untuk menuangkan air dingin ke dalam teko untuk kami minum saat makan nanti. Dia tetap mengekori di belakangku, minta maaf seperti anak kecil yang tengah merengek uang jajan kepada ibunya "Sayang akankah kau memaafkanku?" Aku setia dengan kebungkamanku, aku lesu menjawab perkataan dan alasannya yang tidak masuk akal. Masa bodoh dengannya. "Sayang, maaf ya..." "Tidak usah repot-repot minta maaf, aku sudah memahami keraktermu sampai ke detailnya, jadi tidak usah pura pura minta maaf," jawabnya sambil menjauhkan tangannya yang memegangi lenganku. "Aku sungguh tidak berniat menyakitimu," ujarnya. "Tapi kau sudah melakukannya, apanya yang tidak berniat, heh?" Aku tertawa sinis. "Aku sungguh menyesal." "Lalu apa guna penyesalan itu untukku?" "Entahlah, setidaknya kata maaf menghapus beban dan menghilangkan dendam." "Iya kalau hilang, bagaimana kalau makin sakit?" tanyaku sambil mengambil makanan dari dapur dan memindahkannya ke meja makan. "Berarti hatimu terlalu angkuh untuk menerima permintaan maaf. Seharusnya kita tidak perlu terlalu arogan ...." Belum usai dia mengucapkan kalimatnya aku sudah memotong. "Arogan katamu, hahahah. Lalu perbuatanmu yang menjalin hubungan di belakangku, membeli cincin dan bermesraan bukanlah tindakan yang arogan? andai kau memikirkan perasaan orang lain tentu kau tidak akan sejauh itu." "Maaf ...." Suara suamiku merendah diri. "Sudahlah, lupakan." "Kau tidak berkenan memaafkanku." "Maaf, aku butuh waktu ..." "Terima kasih ya untuk tidak bicara kepada ayah dan ibuku Terima kasih karena kau masih menyimpan masalah rumah tangga hanya untuk kita berdua." "Aku tak bicarakan itu pada keluargamu bukan karena tak mau, tapi aku menunggu waktu yang tepat." "Sayang, please ..." Wajahnya yang dipasang semelas mungkin tidak akan mempan untuk merayuku kali ini, aku sudah demikian kesal dan kecewa sekali karena untuk pertama kalinya dalam hidupku seseorang berani memukul diri ini. "Beruntunglah karena aku masih bertahan di rumah ini dan masih melayanimu dan anak-anak," ujarku sambil merapikan meja lalu meninggalkannya sendiri. "Untuk apa kita menjalani hari-hari dalam keadaan saling mendiamkan seperti ini?" "Aku juga sedang bertanya pada diriku untuk apa masih kujalani hari-hari setelah seseorang membohongiku, membodohi diri ini dan menguji kesetiaanku. Untuk apa aku bertahan, Jika sakit hati ini menggerus kewarasan dan mengurangi keyakinan diriku kepadamu. Katakan padaku, andai kau jadi diriku, apa kau akan bertahan dengan pasangan seperti itu?" "Aku minta maaf..." "Itu karena kau sudah tahu kan, kau sendiri tidak akan tahan dengan orang yang berselingkuh. Kau mengkhianatiku." "Silakan marah, tapi tolong jangan diamkan aku seperti itu, karena aku akan sangat gelisah dan tidak nyaman. Kau bisa mengungkapkan semua sakit hati dan kekesalanmu tapi aku mohon jangan membungkam." "Mungkin dengan membungkam, kau akan lebih paham perasaanku." "Tidak, kumohon, aku minta maaf." "Kau ingin pengampunan dariku?" "Ya, sangat._" "Kau yakin?" "Ya." "Maukah kau tinggalkan dia?" "Uhmm ...." Suamiku tertunduk membeku. Dia tak mampu menjawab kalimatku. "Jika kau ingin hubungan rumah tangga kita tetap berlanjut maka tinggalkan kekasihmu. Aku tidak akan memberimu pilihan yang lain, misalnya mengizinkanmu poligami atau pura pura tidak tahu," ujarku sambil tersenyum sinis. "Ehm a-aku...." "Putuskan aja, mau tetap dengannya atau denganku? Lihat anak-anak yang masih membutuhkan orang tuanya juga keluarga kita yang sudah menaruh ekspektasi tinggi tentang hubungan ini, jika kau tidak memikirkan semua itu maka silakan lanjutkan hubunganmu dengan kekasihmu Aku tidak akan punya alasan untuk keberatan lagi." "Tapi sayang...." "Pilihan ada di tanganmu, cerai atau tinggalkan dia!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN