Tak Sadar Diri

1075 Kata
Mendengar pilihan yang kuberikan, terlihat sepasang matanya menatap tajam padaku. Bahkan, napasnya tampak terengah-engah. Seperti habis melakukan lari maraton. Luar biasa! Apa memblokir nomor janda muda itu adalah satu pekerjaan berat untuk dilakukan? "Blokir nomornya! Kalau tidak—." Belum sempat aku menyelesaikan ancaman, dia buru-buru memotong ucapanku. "Kalau aku tidak mau melakukannya, bagaimana?" Aku dibuat meradang saat tanpa terduga, dia lebih memihak pada satu calon pelakor itu. Membuat dadaku rasa terbakar mengetahui kenyataan ini. "Apa menurutmu ini tidak terlalu kekanak-kanakan, Bocil?" Tanpa terduga, Mas Andre menanggapi permintaanku yang sebenarnya sepele dengan pertanyaan demikian. Sungguh, semua sikap dan tanggapannya justru terkesan memojokkanku. Apa sebenarnya yang istimewa dari wanita itu? Kenapa putra Nyonya Siska ini begitu sulit move-on dan terus-menerus cenderung membelanya? "Jadi, kamu serius nggak mau memblokir nomor janda muda itu?" Aku kembali mempertegas pertanyaan. "Namanya Zahra, Indri. Zahra." Oh, tidak! Dia bahkan terlihat sangat keberatan jika aku menyebut mantan kekasihnya dengan satu gelar yang sebenarnya fakta itu. "Sekali lagi aku tanya, blokir nomornya atau tidak?" Bersama rasa panas yang menyeruak dalam d**a, aku kembali mengulang satu pertanyaan itu dengan penuh penekanan. "Tidak!" tegas suamiku yang membuat hatiku semakin remuk. Aku memalingkan wajah dengan gemuruh dalam d**a. Masih tak habis pikir kenapa dia terlihat sangat sulit untuk memenuhi permintaanku yang sebenarnya sangat sepele itu. "Kalau kau lebih memihak padanya, mungkin memang lebih baik kau menikah dengannya dan mengakhiri semua ini," ucapku dengan amarah yang kian memuncak. Mendengar opsi berikutnya, terlihat suamiku mengusap wajahnya dengan kasar. Kenapa dia terlihat frustrasi begitu? Bukankah aku sudah memberikan sebuah pilihan yang bagus? "Please, jangan egois, ya, Indri. Zahra cuma tanya soal pekerjaan. Mengertilah." Mas Andre mencoba menjelaskan dengan nada yang terdengar lebih lembut kemudian. Aku bergeming. Belum ingin mengambil kesimpulan secepat itu. "Dia itu anak pertama, adiknya tiga, masih butuh biaya pendidikan semua," tambah Mas Andre seperti masih ingin meminta pengertian dariku. Aku mendecih geram mendengar bagaimana dia begitu peduli akan nasib mantan kekasihnya. "Terus, kalo dia butuh kerjaan, harus banget gitu nanyainnya sama kamu?" tanyaku dengan suara lantang. Entahlah, rasanya berat untuk mentolerir kedekatan suamiku dengan sang mantan meski hanya untuk urusan pekerjaan sekalipun. Melihatku jelas-jelas menunjukkan sikap tak bersahabat, Mas Andre mendesah kesal. Sepertinya, dia benar-benar geram dengan sikapku yang mungkin kelihatan egois dan tidak berperikemanusiaan. "Suruh dia cari kerjaan di tempat lain," timpalku kemudian. Membuat suamiku mendesah singkat. "Memang susah, ya, kalo ngomong sama anak kecil. Susah nyambungnya." Bukannya mencoba membujuk dan mempertimbangkan solusi yang kuberikan, Mas Andre justru memperolok diriku dengan ucapan yang terdengar menyakitkan. "Kalau gitu ceritanya, kenapa dulu nggak nikahin Zahra aja? Biar hidupnya kecukupan? Biar hidup keluarganya terjamin?" Aku yang semakin tersulut emosi, bertanya lantang sambil mendelik tajam padanya. "Indri!" Menanggapi kalimat olok-olok yang kulontarkan, Mas Andre hampir melayangkan sebuah tamparan padaku. Namun, ia urungkan saat mungkin teringat akan sesuatu. Mataku tiba-tiba berkabut saat menyadari Mas Andre hampir main tangan gara-gara membela wanita itu. Ya, gara-gara membela janda muda itu, suamiku hampir melakukan KDRT pada istri yang baru beberapa hari ini dinikahinya? Luar biasa sekali kau, Zahra? Punya sihir apa sebenarnya dirimu? "Aku benci sama kamu. Ceraikan saja aku kalau kamu masih punya perasaan sama dia! Ceraikan aku sekarang!" Tanpa menunjukkan ekspresi takut sedikit pun, aku yang geram, menantangnya demikian. Peduli apa kalau sampai dia mengabulkan? Bukankah itu bagus? Aku justru harus merasa beruntung bisa lepas dari seorang mantan badboy yang belum habis dengan masa lalunya. Bukankah perceraian Pangeran Charles dengan Lady Diana juga karena sang pangeran belum selesai dengan masa lalunya? "Jaga ucapanmu, Indri! Apa kau pikir pernikahan kita ini sama dengan mainan?" Mas Andre menatapku tajam, seolah-olah di sini, aku lah pihak yang paling bersalah. Aku mencebik bibir dengan gemuruh yang masih saja menghantam dadaku. Detik kemudian, aku dibuat tersentak ketika menyadari ponselku berbunyi. Ternyata … ada sebuah panggilan masuk. Segera kusambar ponsel yang diletakkan di atas nakas yang sama dengan tempat di mana ponsel Mas Andre tadi disimpan. Melihat siapa si pemanggil, tanpa pikir panjang aku langsung mengangkatnya. "Hallo, assalamu'alaikum." Aku menyapa terlebih dulu begitu panggilan tersambung. "Wa'alaikumussalam. Gimana kabarnya, Ndri?" "Baik. Mas Rafly apa kabar?" Aku bertanya kabar pada kakak tingkatku di kampus sambil melirik Mas Andre yang dadanya tampak naik turun saat menatapku. Hm, yang benar saja? Apa dia cemburu? "Alhamdulillah baik juga. Ngomong-ngomong … kamu … beneran udah nikah?" tanyanya dengan terdengar penasaran. Ya, wajar saja kalau kakak tingkatku ini penasaran, bukankah pernikahanku dan Mas Andre diadakan secara privat tanpa mengundang banyak orang? "I-iya, Mas, udah nikah tapi …." Lagi, aku berucap sambil melirik suamiku yang sedari tadi menunjukkan wajah masam ketika melihat istrinya bertelepon ria dengan laki-laki lain. "Tapi apa?" Belum sempat aku menjawab pertanyaan Mas Rafly, Mas Andre buru-buru menyambar ponsel dari tanganku dengan paksa. Mau apa, sih, dia? Tanpa meminta persetujuanku, lelaki berhidung mancung ini menyerobot obrolanku dengan kakak tingkatku itu. "Tolong tau diri sedikit, ya! Ini sudah malam, tidak etis rasanya menelpon istri orang malam-malam begini!" Mas Andre memperingatkan Mas Rafly dengan penuh ketegasan. Melihat suamiku yang menunjukkan gelagat posesif, aku berdecak sebal dengan rasa kesal yang belum beranjak. Tanpa mempertimbangkan aku suka atau tidak, suamiku lantas memutus panggilan Mas Rafly secara sepihak. Membuatku geram setengah mati. Bukankah ini namanya egois? "Aku benci sama kamu. Kamu egois!" Aku berteriak lantang sambil menatapnya tajam. "Oh … benci maksudmu benar-benar cinta? Iya?" Mas Andre menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Lantas mengecup lembut bibirku dan …. "Aw!" Jelas sekali dia terkejut saat aku tak membalas ciumannya, tapi justru menggigit bawah bibirnya. Rasakan kau! "Makanya jangan omes!" Aku melempar seringaian, mengejeknya yang terlihat merintih saat mungkin bibirnya terasa sedikit perih setelah mendapat gigitan dariku. Mas Andre tersenyum sinis. "Makanya udah jadi istri tuh nggak usah kegatelan sama cowok lain," balasnya sengit. Membuatku geram setengah mati. Apakah semua lelaki seperti dirinya? Tak pernah merasa bersalah? Kenapa dia tak pandai berkaca, ha? "Hei! Gatel katamu?" Jelas aku tak terima dengan tuduhannya yang tak beradab padaku. Mas Andre menarik senyum sinis tanpa dosa. "Terus, kamu sendiri gatel sama janda apa maksudnya?" tanyaku berapi-api. Mencoba membuatnya sadar diri jika dirinya pun belum bisa dikatakan sebagai suami yang baik. "Hei! Aku bukan gatel, ya, Indri. Sebagai sesama manusia, aku cuma ingin berbuat baik. Nggak ada yang salah, kan? Rasul saja mengangkat derajat janda," balasnya ringan dan sama sekali tanpa beban. Sungguh, jawabannya membuat dadaku hampir meledak saat ini juga. "Tapi bukan janda muda seperti Zahra kau tahu?!" Lagi-lagi, dia tersenyum miring tanpa dosa. Membuatku berpikir, perlukah aku melabrak calon pelakor itu agar tak mengganggu kehidupan pernikahanku dengan mantannya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN