Mas Andre terdiam kaku untuk beberapa saat. Bibirnya terkatup rapat dengan pandangan matanya yang terlihat kosong.
Aku tak bisa menebak apa isi kepalanya. Namun, yang jelas tertangkap dari pancaran matanya, kabar duka itu cukup memberikan efek syok dalam dirinya.
"Dimakamkan kapan?" Suara Mas Andre terdengar berat ketika bertanya. Sementara di sini, apa yang bisa kulakukan detik ini hanyalah diam. Tak ingin menyela pembicaraan suamiku dengan mantan kekasihnya.
"Kamu yang sabar, ya. Tenangkan dirimu. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja." Aku tak tahu Zahra mengeluh bagaimana pada Mas Andre, sampai suamiku mencoba menenangkannya demikian. Membuat hatiku terasa diaduk-aduk saat mendengarnya?
Apa saat ini janda muda itu tengah menangis sambil mengais simpati setelah kehilangan ayahnya? Kalau iya, kenapa pula dia harus menumpahkan keluh kesahnya pada suamiku?
"Ok. Dimakamkan di mana? Nanti aku usahakan datang," sambung Mas Andre dengan wajah yang masih menunjukkan gurat kekhawatiran. Membuatku meyakini kalau hubungannya dengan Zahra dulu dijalani dengan hati. Bukan sekadar cinta satu malam yang mudah terlupakan.
Mas Andre menutup sambungan telepon sesaat setelah memberikan banyak wejangan dan kata-kata motivasi untuk sang mantan kekasih.
Aku memalingkan wajah dengan rasa sesak di d**a dan mata memanas yang tak dapat kuhindari. Kenapa melihatnya care pada wanita lain membuat hatiku teriris, ya? Benarkah aku memang cemburu?
Benarkah aku telah jatuh cinta pada badboy satu ini?
Jujur, aku memang takut kalau sampai benar-benar jatuh cinta padanya. Karena aku tahu, tak akan mudah menjalaninya. Aku yakin itu.
"Nanti sore kamu mau ikut?" Aku terkesiap dan seketika menoleh menatap suamiku saat suara dingin Mas Andre memecah keheningan.
"Ke mana?" tanyaku lirih meski sebenarnya sudah tahu maksud pertanyaannya.
"Ke pemakaman ayah Zahra," jawabnya datar.
Aku tak buru-buru mengiyakan. Hati ini masih sulit menerima jika suamiku menaruh perhatian lebih mantan kekasihnya itu.
"Ya sudah, kalo nggak mau ikut. Aku nggak memaksa."
Apa-apaan dia ini. Tidak memaksaku untuk ikut dia bilang? Apa dia ingin pergi sendiri? Menemui Zahra?
"Ikut." Aku menyahut cepat yang disambut dengan anggukan ringan Mas Andre.
*
"Nak Andre …, maafin ayah Zahra, ya, Nak." Seorang wanita paruh baya dengan pakaian serba hitam berjalan mendekatiku dan Mas Andre saat kami menginjakkan kaki di area pemakaman. Raut kesedihan dari wajahnya tak bisa disembunyikan.
"Iya, Bu … Ibu yang sabar, ya." Mas Andre tampak mencoba menenangkan wanita yang kuyakini adalah ibu kandung Zahra. Wanita yang bisa dipastikan punya tempat spesial di hati suamiku di masa lalu.
"Maafin, ya, Nak." Seolah belum puas dengan jawaban Mas Andre sebelumnya, wanita paruh baya itu mengulang permintaan maaf untuk kedua kali.
"Iya, Bu. Sudah Andre maafkan."
Sebenarnya, apa kesalahan ayah Zahra pada Mas Andre di masa lalu? Kenapa Zahra dan ibunya sampai repot-repot berulang kali menyampaikan kata maaf?
Pro-sesi pemakaman ayah Zahra berjalan lancar. Isak tangis kesedihan dan kepiluan yang menyayat hati mengiringi saat raga tanpa nyawa itu dimasukkan ke dalam liang lahat. Terlihat Zahra menangis sesenggukan saat jasad sang ayah ditimbun tanah. Kesedihan mendalam di wajahnya tampak begitu kentara. Ya, aku bisa memakluminya. Setelah kehilangan suami, kini dia harus dihadapkan pada kenyataan pahit kalau lelaki nomor satu dalam hidupnya diambil Sang Pencipta. Pasti itu tak mudah.
"Makasih, ya, Mas, udah mau datang." Zahra yang matanya tampak sembap—berucap terima kasih saat aku dan Mas Andre mengucap kalimat bela sungkawa pada pihak keluarga mereka sebelum pamit pulang.
Mas Andre mengangguk samar dan mengulas senyum tipis pada wanita cantik berjilbab lebar itu.
"Nak Andre, ini istri Nak Andre?" tanya ibunya Zahra saat mengalihkan pandangan padaku.
"Iya, Bu." Seperti biasanya, Mas Andre bakal menjawab tanpa keraguan jika ada yang mempertanyakan statusku di sampingnya. Membuatku sedikit tersanjung karena merasa diakui.
"Cantik." Ibu kandung Zahra terdengar memuji. Aku mengulas senyum tipis menanggapi. Saat kulirik, Zahra terlihat mengulas senyum getir kala mendengar sang ibu melayangkan pujian untukku. Mata teduhnya menatap nanar padaku dan dan Mas Andre yang berdiri bersisian.
"Iya, Bu." Mas Andre tersenyum manis saat menoleh padaku lantas menggenggam tanganku semakin erat. Membuatku kepercayaan diriku naik beberapa kali lipat.
Mendapat perlakuan hangat Mas Andre, entah kenapa, aku tertarik untuk mengamati mimik wajah Zahra. Sejak cerita tentang pelakor marak di KBM, aku merasa perlu bersikap waspada pada wanita yang diindikasi gemar mencari simpati pada suami orang. Dan ... tebakanku tak meleset, Zahra tampak menelan ludah berat saat melihat sikap manis Mas Andre padaku. Mengingatkanku akan pesannya kemarin, yang mengatakan kalau dia menyesal karena dulu tak memperjuangkan cintanya dengan Mas Andre.
Nasi sudah menjadi bubur, Zahra!
*
"Mas." Aku merapatkan jarak saat suamiku tengah duduk santai di sofa ruang tengah sambil menonton TV.
"Hm?" Mas Andre menyahut tanpa menolehku.
"Sejauh apa, sih, hubungan kamu dengan Zahra dulu?"
Mengingat pesan Zahra kemarin, entah kenapa membuatku tertarik untuk menggali lebih dalam informasi tentang hubungan mereka di masa lalu.
"Kenapa memangnya?" Mas Andre langsung menajamkan pandangan mendengar pertanyaanku.
"Kayaknya kamu sampe akrab begitu sama keluarganya." Aku mencari alibi lain ketimbang harus membahas perihal pesan Zahra yang kuhapus kemarin.
"Rasanya … itu bukan hal yang penting untuk dibahas." Mas Andre mencebik bibir dengan menunjukkan raut wajah tak bersahabat.
"Tapi buat aku itu penting, Mas …." Aku bersikukuh.
"Kenapa? Kamu cemburu sama dia?" Mas Andre menatap wajahku lekat-lekat.
Aku diam tak menjawab.
"Zahra itu cuma masa lalu, Indri." Mas Andre mengusap lembut rambutku. Perlakuannya kali ini mampu menimbulkan getar indah dalam d**a.
"Dan … Indri masa depan?" Aku mendongak menatap wajah tampannya dengan senyum tersungging di bibir.
"Nah itu tau."
Mas Andre menarikku ke dalam pelukannya lantas menciumi pipiku berulang kali. Membuatku merasa tak perlu khawatir kalau suamiku bakal kembali pada mantan kekasihnya.
Mas Andre menghentikan aksi romantisnya ketika ponsel yang tergeletak di nakas kamar berdering.
Aku mengikuti langkah Mas Andre ke kamar saat lelaki tampan itu berniat mengangkat telepon.
Apakah Zahra lagi yang menelepon? Hatiku mendadak berkecamuk membayangkan jika memang tebakanku benar.
"Iya, Ra. Bisa dibicarakan besok, ya." Mas Andre menutup sambungan telepon setelah berucap demikian pada lawan bicara yang kuyakini adalah Zahra. Sebuah kalimat yang bagiku mengundang banyak persepsi.
"Bicara apa, Mas? Jawab!"
Mas Andre menggeleng—tak menggubris pertanyaanku. Membuat hatiku semakin dongkol.
"Jika benar Indri adalah masa depan dan Zahra adalah masa lalu. Blokir nomor Zahra sekarang!" ucapku penuh ketegasan.
"Apa?!" Mata Mas Andre menatapku tajam seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
Hei! Apa dia keberatan memblokir nomor janda muda itu?