Aku, Atau Dia?

2026 Kata
Melihat ada peluang, aku mengambil ponsel Mas Andre tanpa permisi. Membuat suamiku menatap heran akan aksi yang kulakukan. “Mau apa, ha?” Mas Andre bertanya dengan wajah garang dan tatapan menyelidik curiga. “Blokir nomor Zahra,” jawabku ketus tanpa menatapnya. “Jauhkan sikapmu yang kekanak-kanakan ini, Bocil!” desisnya tajam. Ya, memang sepeduli itu dia pada janda muda tak tahu diri itu. Tanpa mengindahkan ucapan Mas Andre, aku menekan tombol blokir di nomor kontak janda muda yang aku yakin masih memiliki perasaan spesial pada suamiku. Sungguh, aku tak mau memberi ruang pada wanita lain untuk mengacaukan rumah tanggaku. Tidak mau! Bukankah semua bisa terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi kesempatan juga? "Hentikan kekonyolan ini, Indri!" ujar suamiku sambil menjambak rambutnya sendiri. “Aku nggak akan memberi kesempatan pelakor menghancurkan rumah tangga kita, Mas,” tegasku seraya menyimpan kembali ponsel Mas Andre di atas nakas. Mas Andre yang tampak geram akan aksiku, mengusap wajahnya berkali-kali. Sefrustrasi itukah dia? “Tapi memberi celah pebinor untuk menghancurkan rumah tanggamu? Begitu maksudmu? Iya?” Tuduhnya menyebalkan. “Jangan sembarangan, ya, kalau ngomong!” Aku mengangacungkan telunjuk dengan perasaan kesal pada lelaki yang gemar melakukan tuduhan-tuduhan menyebalkan padaku. “Lalu, aku harus berpikir bagaimana, hah? Apa kamu pikir aku laki-laki bodoh yang tidak bisa menebak jalan pikiranmu? Siapa yang egois sebenarnya? Aku, atau kamu?” desis Mas Andre sambil menekan dadaku dengan telunjuknya. Tanpa meminta izin, dia pun mengambil ponselku dan melakukakan hal yang sama pada nomor kontak Mas Rafly. Ya, dia memblokirnya. Ternyata … usia 29 tak menjadikannya terlihat lebih dewasa. Bahkan, masih terlihat labil dan tak mau kalah. Huh! “Impas, kan? Kalau sampai kamu membuka blokir nomor si sialan Rafly, aku pun akan melakukan hal yang sama pada nomor kontak Zahra. Ingat itu!” Oh, dia sedang mengancam rupanya. Baiklah. “Ayo tidur!” Mas Andre menarikku ke dalam pelukannya sebelum kami terlelap setelah lelah pindahan dan lelah adu mulut dan adu argumen. Tak mengapa, Mas Andre memblokir nomor Mas Rafly karena nyatanya sejak awal memang aku tak pernah menaruh hati pada seniorku itu. Yang terpenting sekarang, Mas Andre telah menyatakan secara tersirat kalau dia tak akan membuka blokiran nomor Zahra selagi aku tak membuka blokiran nomor Mas Rafly. Bukan syarat yang terlalu berat untukku. It's easy. *** Sehari sebelum Mas Andre kembali bekerja, dia menyempatkan diri mengajak diriku untuk berbelanja kebutuhan bulanan di pasar swalayan pada pagi menjelang siang hari ini. Dari apa yang aku tangkap selama berbelanja dengannya, dia termasuk tipe yang cuek dan tak mempersoalkan apa pun yang ingin aku beli. Semua terserah padaku. Baguslah! "Indri …!" Aku yang tengah mengambil peralatan mandi di rak pasar swalayan ini, dibuat terkejut saat menyadari seseorang yang suaranya tak asing di telinga, memanggil namaku. "Mas Rafly?" Aku berucap lirih sesaat setelah menatap ke arah sumber suara. "Hai." Kakak tingkatku mengulas senyum manis ketika tatapan kami bertemu. Mas Andre yang berdiri di belakangku sambil mendorong troli, berdeham saat mungkin mendengar nama siapa yang kusebut belum lama ini. "Belanja?" Mas Rafly yang menenteng keranjang kecil di tangannya, bertanya ramah ketika langkahnya terayun mendekatiku dan Mas Andre yang entah seperti apa ekspresinya saat ini "Iya, nih. Mas Rafly sendiri ….?" Dia tersenyum manis sambil menganggukkan kepala. "Stok bulanan pribadiku habis. Jadi pas lewat tadi, sekalian mampir," urainya terdengar ramah. Seperti biasanya. "Sendirian, Mas?" tanyaku masih ingin berbasa-basi. "Iya, nih," balasnya sambil menorehkan senyum. "Sayang. Ada yang perlu dibeli lagi?" Seolah tak ingin memberiku kesempatan berbincang dengan Mas Rafly lebih lama, Mas Andre bersuara seraya menatap lelaki berparas manis yang berdiri di depanku sambil melempar pandangan tak suka yang amat kentara. Lihatlah, kekanak-kanakan sekali bukan? "Ada yang perlu dibeli lagi, Honey?" ulangnya yang membuatku tak habis pikir. Apa-apaan dia ini pakai mengubah panggilan segala? "Eng-enggak, Mas, cukup." Aku menyahut cepat. Saat kulirik, tampak Mas Rafly—lelaki yang terang-terangan menyukaiku semenjak aku masih bergelar mahasiswa baru, menatap nanar padaku dan Mas Andre yang telah siap mendorong troli ke arah kasir. Apa yang tengah dipikirkannya saat ini? Apakah dia cemburu atau … patah hati? Ah! Bukan satu persoalan besar yang pantas kupusingkan. Bukankah selama ini kami tak pernah menjalin hubungan spesial? Jadi, tentang bagaimana perasaannya saat ini, itu bukan menjadi urusanku, 'kan? "Ya udah, Mas, duluan." Aku menganggukkan kepala ramah sesaat sebelum menarik diri dari hadapan lelaki jangkung tersebut. "I-iya." Mas Rafly yang masih menenteng keranjang belanjaan di tangan, tampak gugup saat aku pamit pergi. Huft! Sungguh, aku tak pernah menyangka jika dunia ternyata bisa sesempit ini. Baru tadi malam menjadi topik pembahasan, eh … siangnya langsung dipertemukan. Ajaib! *** "Oh … jadi itu yang namanya Rafly?" Mas Andre yang tengah mengemudikan mobil saat dalam perjalanan pulang, tertarik juga untuk membahas pasal Mas Rafly. Lelaki 21 tahun yang dijumpainya di pasar swalayan tadi. "Iya, kenapa emang?" sahutku cepat. "Biasa aja, gantengan juga gue ke mana-mana." Mas Andre yang tangannya tengah mengendalikan stir tersenyum penuh keangkuhan saat membandingkan dirinya dengan kakak tingkatku itu. Aku mendecih melihat sikapnya yang terlampau jemawa dan menganggap remeh orang lain. Ya, memang aku mengakui paras bule yang ada dalam dirinya bisa menjadi nilai plus, tapi … apa iya, dia harus merendahkan orang lain seperti ini? "Masih kalah jauh," tambahnya masih sambil mempertahankan senyum angkuhnya. "Tapi yang jelas dia cowok baik-baik, bukan badboy kayak kamu!" sambarku ketus. Dia mendengus pelan. "Orang ganteng jadi badboy mah wajar, kalo muka pas-pasan kayak dia mah nggak ada pantes-pantesnya. Asli. HAHAHA." Tawanya menggelegar dan memekakkan telinga. "Dih, jadi bad boy, kok bangga,' cibirku kesal. Dan anehnya dia hanya mengurai tawa mendengar sindiranku. Orang aneh! *** Sore hari. "Masak yang enak, ya, Cil." Aku yang tengah memasak untuk pertama kali sejak pindah rumah, dibuat tersentak saat Mas Andre tiba-tiba memelukku dari belakang dan membisikkan kata demikian. "Iya iya, ya udah sana, nggak usah gangguin, nanti yang ada malah jadi ambyar kalau kamu di sini terus," ujarku pada lelaki tampan tapi menyebalkan ini. Dia melepas pelan pelukannya. "Nggak mau, aku tetep mau di sini. Pengen liat aja, kamu jago masak kayak Sandra enggak," ucapnya sambil bersedekap layaknya pengawas. Aku mendelik saat menatapnya. "Lah, hari itu kan aku udah pernah masak pas di rumah Mama. Emang kamu nggak inget apa? Please, deh, nggak usah berlagak amnesia." Aku mengungkit dengan nada kesal. Pada dia yang sepertinya selalu menganggap diriku seperti bocil yang tidak bisa apa-apa, kecuali membuat dirinya geram. "Iya, sih .. tapi hari itu, 'kan ada campur tangan Bi Mirah, bukan murni hasil karyamu, Cil." Mas Andre menutup mulutnya sesaat setelah menyembur tawa. Mukanya yang putih bahkan sampai memerah, padahal aku tidak sedang melawak kali ini. Aneh! "Ish, pake disamain sama hasil karya segala. Kayak orang nulis n****+ aja." Aku mencebik sebal. Melihatku tampak kesal, Mas Andre yang baru berhenti tertawa, terpekik dibuatnya. Padahal, sama sekali tak ada yang lucu. *** "Huek, asin …." Mas Andre melepeh sayur kangkung buatanku pada momen makan malam kali ini. Membuatku benar-benar jadi serba salah dan hampir tak percaya dibuatnya. Ya ampun! Benarkah memang asin? Dia tidak sedang mengerjaiku, 'kan, kali ini? "Emang asin, Mas?" Aku bertanya ragu-ragu saat menatapnya. "Cobain aja sendiri kalo ga percaya." Melalui isyarat mata, Mas Andre memintaku mencicipi sayur kangkung yang telah terhidang di meja. Ragu-ragu aku mencicipi tumis kangkung yang takaran bumbunya tadi rasanya sudah sesuai takaran. "Gimana?" Mas Andre menaikkan sebelah alis, seperti ingin mendengar penilaianku tentang bagaimana masakanku sendiri. Aku meringis lantas tersenyum kecut. "Asin nggak, Cil?" Agar harga diriku tak semakin jatuh, aku cukup menjawab dengan anggukan samar. "HAHA, mikirin apa, sih, kamu, Cil-Cil? Pengen kawin? Sabarlah …." Tawanya kembali pecah saat menggoda diriku dengan candaannya yang terdengar menyebalkan itu. "Ih … apaan, sih?" Aku bersungut-sungut kesal dengan tuduhan keji yang dia lontarkan. "Udah … nyantai aja, Cil. Malam ini, kita makan di luar aja, ya. Di kafe Mamas …. Gimana? Mau nggak?" Mamas? Aw, manis sekali bukan? "Gimana? Mau nggak?" "Boleh, deh," balasku sekedarnya. Ya … walaupun perutku sudah keroncongan dan minta segera diisi, apa salahnya pura-pura jual mahal? Biar dia tak semakin jemawa. Iya, 'kan? *** Setelah membereskan semuanya, aku dan Mas Andre lantas bergegas pergi ke kafe miliknya untuk mengganti makan malam yang gagal ini. Berbagai macam menu yang rasanya bisa menggugah selera, sudah berputar di kepala saat suamiku tengah menjalankan mobilnya menuju ke kafe yang konon adalah miliknya. Beberapa karyawan menunduk hormat begitu aku dan Mas Andre melewati pintu masuk kafe yang didominasi oleh warna ungu ini. "Mau duduk di mana?" tanya Mas Andre, meminta pendapatku tentang tempat ternyaman yang pantas kami ambil untuk melewati makan malam kali ini. "Di situ aja, deh, Mas," ujarku sambil menunjuk ke satu arah. Lebih tepatnya … sudut ruangan yang terlihat nyaman. "Oke." Kami pun lantas duduk berhadap-hadapan di kursi yang terletak di pojok kafe. "Silakan." Deg! Jantungku seakan hampir melompat dari tempatnya saat menyadari siapa yang melayani aku dan Mas Andre di kafe bernuansa ungu yang kami datangi malam ini. "Zahra?" Tak berbeda denganku, Mas Andre pun tampak sangat terkejut ketika tahu pelayan yang membawa daftar menu ke hadapan kami adalah Zahra. Wanita muda yang sudah menyandang gelar janda, tapi seperti masih ingin masuk dan mencampuri kehidupan sang mantan. Mikael Andreas Watson, suamiku. "Iya, Mas." Zahra mengangguk pelan penuh keramahan pada laki-laki 29 tahun yang sepasang mata menatap nanar pada dirinya. Aku yakin, siapa pun yang melihat ini, pasti akan menyimpulkan jika perjumpaan sepasang mantan kekasih ini bisa dikatakan terlihat mengharukan tapi tetap terlihat manis. Lihat saja bagaimana suamiku menatap janda muda itu, persis seperti protagonis dalam drama-drama Korea yang mudah membuat hati meleleh saat menyaksikannya. Tanpa bisa kukendalikan, hatiku bergemuruh hebat saat tahu Zahra nekat memilih bekerja di kafe milik suamiku. Tak adakah tempat lain yang bisa ia coba peruntungannya untuk mencari kerja? Kenapa dia seolah ingin selalu berusaha mendekati mantan kekasihnya yang kini telah menjadi suami orang? "Aku liat kafe ini masih butuh lowongan, jadi aku putuskan buat mendaftar kerja di sini. Boleh, 'kan?" Tanpa diminta, Zahra menceritakan ikhwalnya sampai bekerja di kafe milik Mas Andre. Tampak janda muda itu menatap suamiku dengan tampangnya yang terlihat memelas. Membuat kakak kandung Gerald menatap iba padanya. "Boleh, 'kan, Mas?" ulang wanita itu, masih sambil menunjukkan wajah yang seperti mengharap dikasihani. Mas Andre terdiam kaku tak langsung mengiyakan. Namun, dari sorot matanya jelas mengisyaratkan kalau dia sama sekali tidak keberatan menerima Zahra kerja di kafe miliknya. Membuat hatiku begitu dongkol saat melihat kenyataan ini. Tahu apa yang kurasakan sekarang? Rasa lapar dalam diriku mendadak hilang saat melihat bagaimana suamiku menatap Zahra dengan tatapan dalam dan penuh makna. "Boleh kan, Mas. Aku kerja di sini?" Lagi, Zahra menunjukkan wajah memelas seperti mengharap simpati Mas Andre yang sedari tadi masih memilih diam. Bahuku berguncang hebat saat akhirnya Mas Andre menanggapi permohonan Zahra dengan sebuah anggukan. Samar memang, tapi tetap terasa menyakitkan. "Zahra! Memangnya nggak ada tempat lain yang bisa kamu datangi untuk mencari kerja? Kenapa harus di kafe Mas Andre, ha?" tanyaku berapi-api tanpa menimbang-nimbang lagi. Mendengar protes yang kulayangkan, Mas Andre dan Zahra sontak melayangkan tatapan nyalang saat memandangku. Kompak sekali mereka. "Jangan keterlaluan kau, Indri!" berang Mas Andre sambil melotot padaku. Dapat kulihat Zahra masih menunjukkan raut wajah innocent saat tanpa menunggu lama, suamiku memilih untuk memperingatkan diriku dan membela wanita itu. "Sekarang kamu pilih, Mas. Aku atau dia?!" Dengan d**a bergemuruh dan suara yang terdengar bergetar, telunjukku mengarah tepat di depan wajah Zahra saat memberikan sebuah pilihan. Padanya yang jelas-jelas lebih berpihak pada mantan kekasihnya. "Tolong jangan memberikanku pilihan konyol ini, Indri," desis Mas Andre sambil menatapku tajam. Aku mendesah resah. Pilihan konyol dia bilang? Apa dia serius masih ingin membuka hati untuk mantan kekasihnya? Jika iya, bukankah sebaiknya aku mundur mulai sekarang? Untuk apa bertahan dengan lelaki yang masih menyimpan rasa pada seseorang di masa lalunya. Aku tak mau hidup konyol! No way! Tanpa pikir panjang, aku yang tersulut emosi, berlari menjauh dari hadapan dua orang munafik yang membuatku terlihat seperti pecundang malam ini. "Indri!" Seruan Mas Andre tak kupedulikan. Dan aku tetap memilih untuk menjauh dari suamiku yang tak pandai menjaga perasaan istrinya itu. Sampai di jalan raya, bersama hati yang bergemuruh, aku mengambil ponsel dari tas selempang yang kukenakan dengan perasaan tidak sabar. Setelahnya, jemariku menari-nari dengan lincah di atas layar ponsel meski dengan tangan yang terasa dingin dan bergetar. "Mas Rafly, jemput aku sekarang!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN