Part 7

1913 Kata
“Untuk apa kau membawaku ke hotel ini, Fherlyn? Kau tahu tak sedang menyiapkan kencan buta untukku, kan? Saat ini aku sedang tak berminat berurusan dengan makhluk bernama betina.” Tak henti-hentinya Darren menggerutu sejak Fherlyn menipunya mentah-mentah dengan menyusup masuk ke kamar dan membangunkannya dari tidur lelapnya, kemudian menyeretnya ke hotel bintang lima yang biasa ia gunakan untuk bermalam dengan salah satu pemuas nafsunya. Masih mengenakan celana pendek dan kaos polosnya. “Jika kau memang ingin menjodohkanku untuk mencari menantu mama, kau tak seharusnya membawaku ke hotel ini. Mama tak akan suka jika dia sudah tak perawan lagi,” tambah Darren lagi. Keduanya keluar dari lift dan Fherlyn menyeret tangannya. Sepenuhnya mengabaikan segala celotehannya yang masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Entah apa yang tampak begitu mengganggu pikiran kakaknya itu. “Apa yang kauinginan, Fherlyn. Katakan sekarang atau aku akan pulang?” Darren berhenti. Membuat Fherlyn ikut berhenti dan pegangan tangannya di lengan Darren terlepas. Keduanya berdiri di lorong dengan deretan pintu-pintu berwarna hitam. Fherlyn tampak mendesah dengan gelisah. “Kaupikir aku harus menikah dengan Arsen?” Darren tertegun. “Kau sudah memakai cincinnya.” Darren menunjuk cincin berlian yang terselip di jari manis kakaknya. “Aku tak menyukainya, tapi sepertinya mama sangat menyukainya. Dan para oma serta opa sudah mempersiapkan semuanya untuk pernikahanmu. Apalagi yang kaukhawatirkan? Kau tak sedang ingin melarikan diri dari pernikahan ini lagi, kan?” Fherlyn menarik napas panjang, mengusap seluruh wajah dengan kedua telapak tangan. Dengan kepanikan yang semakin menggunung. “Apa kau siap untuk berpisah dengan anakmu? Meskipun pilihan ada di tanganmu, tapi aku sedikit penasaran. Seperti apa bentuk keponakanku. Alangkah baiknya jika kau tidak menurunkan apa pun padanya.” “Aku tidak ingin kehilangan Adara.” “Lalu untuk apa kau membawaku ke sini?” “Aku membuat janji temu dengan seorang pengacara.” “Kau membuat janji temu dengan pengacara di kamar hotel? Selarut ini?” “Ini satu-satunya tempat yang bisa kupikirkan yang tidak akan dicurigai oleh mama, papa, ataupun Arsen.” Darren berdecak sambil menggeeng-gelengkan kepala. Tak habis pikir dengan ketololan kakak perempuannya ini. Seujung kuku pun, keponakannya tidak boleh mendapatkan turunan otak dari Fherlyn. Walaupun ia membenci Arsenio Mahendra, tapi latar belakang dan kecerdasan otak Arsen patut ia kagumi. “Lalu untuk apa wanita yang hendak menikah pergi ke kamar hotel dengan pria lain?” “Fherlyn mengerutkan kening tak mengerti. “Pria lain?” “Orang yang tak mengenal kita, tak mungkin tahu kalau kita kakak beradik. Hampir tengah malam begini.” “Lalu bagaimana orang yang tak mengenal kita tahu aku akan menikah?” balas Fherlyn. Darren membungkam. Keduanya saling pandang dalam kebisuan di lorong dengan pencahayaan remang itu. Sampai kemudian keheningan itu terpecah oleh keributan yang berasal dari ujung lorong. Fherlyn dan Darren menoleh. Menatap seorang wanita yang mengenakan pakain tidur berlari terpontang-panting keluar dari salah satu pintu ke arah keduanya. Fherlyn mendekati Darren, memeluk lengan adiknya karena takut. Rambut wanita itu terurai berantakan. Semakin mendekat, Darren bisa melihat basah yang memenuhi seluruh wajah cantik wanita itu. Tubuhnya tampak begitu menggoda dengan pakaian tembus pandang yang hanya menutupi kulit mulus dan putih bersih wanita itu di bagian d**a dan pangkal paha. Selebihnya semua terlihat telanjang sepenuhnya. Sangat seksi dan membuat darahnya mengalir deras dipenuhi gairah. Darren mendadak mendapatkan rasa lapar yang bukan berasal dari perut. Sialan, ini semua gara-gara wanita bernama Natt yang membuat fantasi seksnya menjadi liar seperti ini. Dan sialnya sembarang wanita yang ia bawa naik ke ranjangnya tak mampu memuaskan sesuatu di dalam dirinya. Yang diakibatkan oleh w************n sok jual mahal itu. Wanita itu menoleh ke belakang, Darren mengikuti arah pandangan si seksi. Sumber ketakutan wanita itu muncul. Pria tua bangka dengan kancing kemeja yang sudah terbuka seluruhnya keluar dari salah satu pintu, berlari mengejar si seksi. Si seksi semakin mendekat, dan Darren sama sekali tak memindahkan kakinya. Dan ... Bruukkk ... Tubuh mungil itu menghantam d**a bidangnya dan dengan mudah tejratuh ke lantai. Pandangan Darren menurun, bertabrakan dengan mata  bulat kecil yang baru saja mengacaukan pikirannya. Well, well, well. Sungguh ini takdir paling menarik yang pernah datang di hidupnya. “T-tuan Darren?” cicit Natt yang langsung mengangkat tubuhnya, bertumpu dapa lututnya untuk meraih tangan  Darren. “Tuan, saya mohon tolong saya.” Fherlyn mendekatkan bibirnya sambil melirik wanita itu dengan iba, tapi tak berani melakukan apa pun karena tidak tahu sedang berhadapan dengan apa. “Apa kau mengenalnya?” Natt yang dilanda kepanikan tak punya waktu untuk memikirkan harga dirinya dan menjilat ludahnya sendiri. Ia harus terbebas dari pria tua bangka hidung belang itu. “Tolong saya, Tuan Darren. Selamatkan saya.”   Darren tak langsung menjawab. Seringai terbit di salah satu sudut bibirnya dan matanya berkilat. Nathalie Emilie, Darren tahu wanita itu akan berlari ke arahnya. Hanya saja ia tak menyangka akan secepat ini. Fherlyn menggoyangkan lengan Darren, dan berbisik lebih keras dengan panik. “Darren?” Pandangan Darren terangkat. Melihat tua bangka yang kini sudah berdiri di depannya, dengan samping wajah dipenuhi oleh darah. Dengan jarak sedekat ini, Darren bisa melihat kerakusan pria itu. “Maafkan keributan ini, kami sedikit bertengkar.” Tuan Sirait memaksa menyunggingkan senyum dengan matanya yang bersinar licik. Natt menggeleng-gelengkan kepalanya dengan isak tangis yang semakin menggebu. Kedua tangannya memegang erat tangan Darren, seolah hanya itu adalah penyelamatnya dari pria m***m ini. “D-dia mencoba memerkosa saya. Tolong selamatkan saya, Tuan Darren.” Wajah Tuan Sirait mengeras, kemudian mendecih dan berkata, “Aku sudah membayar tubuhmu dengan mahal. Memerkosa? Bukankah itu terdengar tak tahu malu, perawan?” “S-saya akan melakukan apa pun untuk Anda. Tolong selamatkan saya dari dia, Tuan.” Permohonan Natt semakin dilumuri keputus-asaan melihat keterdiaman Darren. Ditambah dengan wanita cantik yang berdiri di samping Darren. Yang jelas tak sebanding dengan dirinya. Apakah Tuan Darrennya itu akan memilih dirinya ketimbang wanita cantik itu? Ia bahkan tak pantas dibandingkan dengan wanita cantik itu. Fherlyn yang merasa tak tega dengan tangis kepedihan Natt, melepaskan tangannya dari lengan Darren dan membawa Natt berdiri di sampingnya. “Kami akan menyelamatkanmu.” “Apa-apaan ini?!” Tuan Sirait mulai berang “K-kau ingin kami memanggil keamanan hotel?” Fherlyn memberanikan diri. Melihat ketidaksetujuan seorang wanita untuk ditiduri mau tak mau menggerakkan hati nuraninya sebagai seorang wanita. Lagipula, pria gendut itu lebih cocok jadi ayah si wanita malang ini. Fherlyn menyenggol lengan Darren. Mencoba mendapatkan bala bantuan adiknya untuk melawan pria tua itu. Darren masih bergeming. Natt sudah berdiri tapi wanita itu masih tak mau melepaskan tangannya. Kulitnya serasa berdesir ketika kulit telanjang Natt menggesek di sekitar lengannya yang memang hanya mengenakan kaos pendek. Belum dengan bayangan tubuh seksi Natt yang membayang dan tanpa sengaja tertangkap maniknya. Membuatnya risih Natt berpakaian seperti itu di depan pria lain. ‘Sadarkan dirimu, Darren. Dia bukan siapa-siapamu. Tak layak mendapatkan sedikit pun perhatianmu,’ maki Darren pada dirinya sendiri. “Ini bukan urusan kalian!!” Tuan Sirait mulai kehilangan kesabarannya. “Kau akan mendapatkan hukumanmu, perawan.” Tudingnya ke wajah Natt yang langsung menunduk dalam-dalam. Tangannya merogoh ponsel di telinga, menghubungi Madam Lily. “Cepat kembali ke sini. Barangmu membuat masalah.” Secepat kalimat perintahnya usai, Tuan Sirai langsung memutus panggilan tersebut. Tak sampai lima menit, Madam Lily dan Jennifer muncul. Terlihat histeris melihat darah membasahi sebagian wajah Tuan Sirait. “Tuan, apa yang terjadi?” “Kau urus masalah ini. Aku tak suka menunggu.” Tuan Sirait berbalik pergi. Membiarkan Madam Lily mengurus perawan tak tahu diri itu. Madam Lily langsung memberi isyarat pada Jennifer untuk membujuk Tuan Sirait. Pria gemulai itu langsung mengejar Tuan Sirait sambil melancarkan segala jenis permintaan maaf. “Kau! Apa yang kaulakukan di sana?” Madam Lily memanggil Natt. Natt tak bergerak sama sekali, malah semakin menyembunyikan diri di balik tubuh besar Darren. “Kemari!” desisnya penuh ancaman di mata. “Cepat minta maaf pada Tuan Sirait.” “Siapa kau?” tanya Fherlyn. “Apa kau semacam murikaci?” “Mucikari,” desis Darren mengoreksi Fherlyn. “Ya, itu.” Wajah Madam Lily memucat dalam sekejap, memaksa sebuah senyum di bibir untuk Fherlyn. “Sepertinya Anda tidak perlu ikut campur urusan kami.” “Wanita ini meminta tolong pada kami untuk menyelamatkannya.” “Meminta tolong?” Madam Lily melirik ke arah Natt, tetap mempertahankan senyum tersungging di bibir. “Langsung saja. Berapa harganya?” Darren tak suka bertele-tele. Perhatian Madam Lily mulai teralih kepada Darren. Mengamati tubuh Darren dari atas ke bawah. “Aku akan membelinya tiga kali lipat dari yang si tua itu bayarkan.” Madam Lily mulai tertarik, senyum licik tersamar di sudut bibirnya. Sepenuhnya memperhatikan Darren ketika menangkap keseriusan pria muda nan tampan itu. “Tiga kali lipat?” Keseriusan dalam manik Darren tak berkurang sedikit pun. “Karena ini malam spesial, Tuan Sirait membayar dua kali lipat dari biasanya. Kauyakin dengan penawaranmu?” Darren melirik ke arah Natt, yang tampak begitu khawatir dirinya akan goyah karena penjelasan wanita gemuk dengan penampilan yang membuat matanya sakit. Bibir wanita itu bergerak tanpa suara memohon padanya. Penuh air mata penuh kesengsaraan. Lalu beralih pada Madam Lily. “Katakan.” Mata Madam Lily langsung dipenuhi binar keserakahan. “Tuan Sirait membelinya seharga tiga ratus juta.” Natt terpekik kaget. Matanya membelalak sangat lempat nyaris jatuh ke lantai saking terkejutnya. Dadanya tak bisa bernapas, seolah dicengkeram oleh tangan besar. Selesai sudah. Dengan harga setinggi itu, Tuan Darren tak akan sudi membantunya. Tidak setelah penolakan mentah-mentahnya pada pria itu, yang pasti telah menggores harga diri seorang Darren Ario Ellard. “Fherlyn, berikan dompetmu.” Darren menyuruh Fherlyn karena ia tidak membawa dompet miliknya. Fherlyn menoleh kebingungan ke arah kedua tangannya yang terangkat. Ia pun tidak membawa tasnya. Darren menoleh kepada kakaknya. “Kau tidak bawa?” Fherlyn menggeleng kaku. Darren memejamkan matanya. “Dompetku tertinggal di rumah,” bisiknya pelan. Agar hal memalukan ini tidak sampai didengar oleh wanita pendek dan gemuk di depannya ini. “A-apa kita bisa membayarnya besok pagi? K-kami berdua tidak membawa dompet.” “Seharusnya aku tidak berharap lebih.” Madam Lily berdecak kecewa. “Kalau begitu kau bisa membawanya besok.” Tangan kanan Darren tanpa sengaja menyentuh saku celananya. Merasakan benda pipih yang ada di dalam kantong celananya. Ia ingat Fherlyn memberikan ponselnya ketika mereka di mobil dan Darren memasukkan begitu saja ke dalam sana karena masih dalam pengaruh kantuk yang belum hilang sepenuhnya. “Berapa nomor rekeningmu?” Darren mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan jemarinya langsung menggeser-geser layar ponsel. Membuka aplikasi  ibankingnya. Madam Lily membeku, tertegun melihat ponsel di tangan Darren. Seberapa kaya pria itu jelas menjadi pusat rasa keingintahuannya yang membengkak di d**a. Yang dengan begitu ringannya menanyakan nomor rekeningnya. Tiga ratus juta jika dikalikan tiga adalah sembilan ratus juta. Tak pernah ada seorang p****************g yang rela merogoh kocek mereka dengan harga setinggi itu di klub malamnya. Pun untuk seorang perawan. Tak hanya Madam Lily yang begitu terkejut dengan pertanyaan Darren. Natt pun tampak tercengang bercampur bengong. Darren bertanya dengan nada seringan bulu, seolah bertanya berapa harga segelas es teh pada pemilik warung. Membuat Natt menangis haru dengan penyelamatnya ini. “Aku tak suka mengulang pertanyaanku.” Darren tak sudi membuang waktunya lebih banyak lagi. Madam Lily menyebutkan deretan angka yang langsung diketik oleh Darren. Tak lama sebelum Darren menurunkan ponsel, ponsel di dalam tas Madam Lily bergetar. Menandakan satu pesan masuk. Madam Lily langsung mengambilnya. Membeliak tak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Matanya berputar meliha banyaknya angka nol di pesan tersebut. Satu, dua, tiga, ... delapan angka nol. Seringai Darren meninggi. “Jadi, aku bisa membawa barang milikku pergi sekarang juga, kan?”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN