Part 6

1844 Kata
Madam Lily, wanita pendek dengan badan berisi dan pakaian super ketat yang membungkus tubuhnya itu memperkenalkan diri pada Natt. Kepala Natt yang pusing setelah bangun dari pingsan, kini bertambah pusing karena melihat make up yang berwarna seperti pelangi di wajah lebar wanita berumur sekitar empat puluhan tahun lebih itu. Ditambah bau parfum yang sangat menusuk hidung, lengkap sudah penderitaan Natt. Lahir batinnya tersiksa. “Perawan. Buat dia mendapatkan lima ratus juga seminggu.” Mike langsung menyebut nominal yang diinginkan di depan muka Natt. Tanpa memedulikan kengerian yang membayangi wajah cantik pucat di depannya. Natt tak basa menahan tangisan yang meluap tak terkendali di kedua kelopak matanya. Di sisi kanan dan kirinya berdiri Mike dan teman pria itu yang siap siaga jika ide nekat kembali muncul di kepalanya. Madam Lily semakin mendekat. Tangannya terangkat menyentuh dagu Natt, yang langsung dihempaskan oleh Natt dengan kasar. Ia hanya tersenyum tipis menurunkan tangannya dengan sikap kasar Natt. “Sepertinya dia butuh dijinakkan. Dua minggu?” Mika tampak berpikir sejenak, kembali menawar. “Sepuluh hari. Wajahnya di atas rata-rata.” Kali ini Mike mencengkeram wajah Natt dan menunjukkan lebih dekat ke arah Madam Lily. Rontaan Natt sama sekali bukan tandingannya. Madam Lily langsung mengangguk setuju. Kemudian memanggil salah satu pengawalnya yang berjaga di pintu. Untuk membawa Natt masuk lebih dalam. “Dia butuh mengerti kerasnya hidup lebih dulu,” sahutnya pada Mike. Mike hanya menyeringai. “Kami akan datang sepuluh hari lagi.” Setelah Mike dan temannya pergi, kaki tangan Madam Lily menghambur masuk. Kepanikan memenuhi seluruh wajah maskulin itu dengan gaya feminim yang dibuat-buat. Pakaiannya yang dipenuhi gemerlap dalam setiap gerakannya karena pantulan lampu di ruangan itu yang dibuat berwarna-warni. “Madamm!!!” jeritnya dengan kedua tangan menyentuh kedua sisi wajahnya dengan sentuhan kemayu. Madam Lily mengambil kipas di meja dan mengipasi wajahnya ketika menggumamkan jawaban. “Hm?” “Gawat, Madam. Ini gawat darurat. Kode merah.” “Ada apa, Jennifer?” Madam Lily berjalan ke balik mejanya dengan sikap santai. “Pelanggan VVVVIP kita datang.” Madam Lily menurunkan kipasnya. Pandangannya bertemu dengan Jennifer. “Tuan Sirait. Dan kita kehabisan perawan untuk menemaninya malam ini. Pusing, pusing.” Jennifer mengetuk-ngetuk sisi kepalanya dengan gemulai. Kemudian memutar-mutar wig rambut merahnya yang bergelombang dengan gerakan cepat. Senyum lebar seketika terbit di wajah Madam Lily, kemudian melanjutkan mengipasi wajahnya. “Sungguh malam yang beruntung. Sepertinya Mike bisa datang lebih cepat.” “Kenapa Madam malah tertawa?” tanya Jennifer terheran. “Apa kita masih punya stok perawan di Doll Room?” Madam Lily mengangguk. “Kita baru saja kedatangan perawan.” “Madam, Jen.” Seorang pelayan wanita mengenakan seragam hitam putih muncul menghambur masuk. Dengan napas terengah berhenti di samping Jennifer. “T-tuan ... t-tuan ... S-sirait ... pergi!” pelayan itu berusaha berkata di antara napasnya yang terengah. “Apa?!!” Madam Lily dan Jennifer serentak terpekik. Mata keduanya nyaris jatuh ke lantai. Madam Lily langsung berdiri tegak dan menjatuhkan kipasnya. Pelayan itu menggeleng, tangannya menyentuh d**a menunggu untuk bernapa dengan  normal. Lalu menyodorkan selembar kertas pada Madam Lily. Madam Lily menerima lembaran kertas tersebut dengan terheran. Kepala Jennifer melongok berusaha untuk mengintip penuh rasa ingin tahu. “Hotel Night Sleep? 1507?” Madam Lily membaca sambil bertanya maksud alam tersebut itu pada pelayannya. Pelayan itu mengangguk. “Tuan Sirait akan membayar dua kali lipat seperti biasanya jika malam ini Madam berhasil membawa perawan untuk menemaninya di sana. Dia tadi pergi dengan terburu karena ada panggilan mendadak. Jadi dia ingin perawan itu siap sebelum tengah malam.” Jelas pelayan itu dalam sekali tarikan napas, yang membuatnya kembali terengah. Tak bisa menahan kegembiraan akan kabar baik yang disampaikannya kepada Madam Lily. Karena yang pasti ia akan mendapatkan bonus sangat besar mengingat pelanggan kali ini adalah pelanggan kelas kakap. Seringai Madam Lily semakin meninggi. Matanya melirik jam di dinding dengan rakus. Tak ada waktu, mereka harus bergegas. “Jen dan kau, siapkan peralatan make dan pakaian. Lima menit lagi kita pergi.”   ***   Pengawal Madam Lily baru saja membanting tubuh Natt masuk ke ruangan sempit tanpa jendela dengan cahaya redup karena merasa sedikit kewalahan dengan pemberontakan Natt. Lengannya rasanya benar-benar terasa akan patah saking kuatnya ia memberontak dan usaha keras pengawal itu untuk memaksanya menurut. Natt  meringis, menyentuh lengannya dan mengusap-usapnya demi meredakan rasa sakit di sana. Saat itulah pintu kembali terbuka dan Madam Lily muncul. “Ini benar-benar malam keberuntunganmu. Ikut aku.” Madam Lily menangkap pergelangan tangan Natt dan langsung kembali menyeret Natt keluar dari ruangan itu. Natt sudah lelah untuk memberontak, tenaganya pun sudah terkuras habis. Tapi ia tak menyerah untuk melawan yang berganti-ganti sangat tertarik untuk membawa dirinya jalan-jalan. Natt kembali naik mobil, diapit dengan kedua orang. Seorang dengan seragam pelayan dan seorang lagi yang setengah wanita dan setengah pria melihat otot besar di lengan atas yang sama sekali tak bisa tersamarkan oleh pakaian berwarna pink muda yang berkilau dan menyilaukan pandangan Natt. Sekitar lima belas menit, mobil berhenti. Natt kembali diseret masuk ke sebuah hotel berbintang lima. Berhenti di lobi sebentar, naik lift, menyusuri lorong, dan masuk ke sebuah kamar. Madam Lily yang mengurus sesuatu yang lain di lantai satu datang menyusul tak lama kemudian. “Aku tidak mau!” Natt melempar lingerie berwarna ungu muda itu ke lantai. Menghapus lipstik di bibirnya yang baru beberapa detik lalu dioleskan oleh Jennifer. “Ada apa ini?” Madam Lily muncul. Melihat Natt yang sama sekali belum siap. Jennifer hanya menunjuk lingerie di lantai. Tak sekali dua kali mendapatkan perawan yang susah diatur seperti ini. Tapi ia memaklumi hal itu karena Natt benar-benar datang beberapa menit yang lalu dan belum terbiasa dengan terjalnya karang kehidupan. “Kita tak punya waktu, Jen.” Madam Lily meletakkan tasnya di sofa dalam perjalannya mendekati Natt yang berdiri dengan mata berapi ke arah Jennifer dan pelayan itu, kemudian berpindah pada Madam Lily. Secara bersamaan, Madam Lily dan Jennifer mendekati Natt setelah tatapan mereka bertemu dan saling mengisyarat. Keduanya menyerang Natt dari arah yang berlawanan, mencekal kedua tangan Natt sebelum wanita itu menyadari. Natt berteriak, tak mampu melawan ketika Jennifer dan Madam Lily menyeretnya masuk ke kamar mandi. Mengabaikan tangisan tanpa dayanya. Pelayan wanita itu mengambil lingerie di lantai dan menyusul ke kamar mandi untuk memberikannya pada Madam Lily dan keluar lebih dulu untuk membereskan peralatan make upnya di meja. Ketiganya keluar tak lama kemudian dengan Natt yang sudah mengenakan lingerie seksi tersebut. Memamerkan kulitnya yang putih, mulus, dan pucat. Dengan wajah basah berurai air mata. Bibirnya yang tanpa polesan lipstik pun tampak masih merah secara alami. “Dengan wajah seberuntung ini, kau cukup meringankan tugas kami,” komentar Madam Lily. “Malam ini kau hanya perlu menuruti keinginan penolongmu. Besok kau akan bangun dari mimpi burukmu. Hidupmu akan menjadi lebih mudah.” Mata Natt yang basah membalas tatapan Madam Lily dengan tajam. Entah bagaimana caranya, kedua orang itu dengan mudah menanggalkan pakaiannya dan memakaian pakaian sialan ini di tubuhnya. Kekuatan mereka jauh melebih penampilan mereka. “Dasar wanita iblis,” desis Natt. Yang hanya dibalas senyuman mencemooh oleh Madam Lily. “Kau harus membayar mulut pedasmu itu dengan sangat mahal,” sahut Madam Lily dengan santai. Dering ponsel terdengar, dan Jennifer mengangkat ponselnya yang tergantung di dadanya. Matanya membelalak penuh binar ketika melihat layar ponsel tersebut. “Shh, Tuan Sirait.” Jennifer langsung menyerahkan ponselnya pada Madam Lily. “Ya, Tuan?” “...” “Kali ini Tuan pasti akan puas. Kami menyiapkan yang terbaik dari yang terbaik.” “...” “Di depan pintu?” Madan Lily menoleh ke arah pintu. “...” “Baik, Tuan.” Madam Lily menurunkan ponselnya. Memberi isyarat pada kedua anak buahnya untuk berjalan keluar dan meninggalkan Natt di kamar tersebut. Dengan alarm yang semakin nyaring menusuk gendang telinganya, Natt kebingungan untuk mencari jalan keluar. Kepalanya berputar mengelilingi kamar yang luas tersebut dan merasa benar-benar putus asa karena sekeliling kamar itu hanya di kelilingi tembok dan dinding kaca yang menampakkan pemandangan gemerlap kota di malam hari. Hanya pintu satu-satunya jalan keluar. Madam Lily dan kedua anak buahnya sudah keluar. Natt berlari ke pintu, tangannya sudah menyentuh handle pintu untuk memutarnya terbuka ketika pintu didorong dari arah luar. Natt tersentak dan jatuh terjungkal ke lantai saking kagetnya. Saat itulah pandangannya tertuju pada sepasang sepatu pantofel hitam mengkilat yang ada di hadapannya. Pandangan Natt perlahan terangkat, dan tangisannya semakin histeris. “Madam Lily memang tidak pernah mengecewakan,” komentar pria tua dengan perut besar yang mengenakan setelan jas berwarna abu muda itu, Tuan Sirait. “Jangan mendekat!” Natt menggeleng-gelengkan kepala dengan putus asa. Pria tua itu bahkan sudah terlihat jelas lebih tua dari ayahnya yang tak bertanggung jawab. Tuan Sirait melepaskan jasnya sambil menjilati bibir, memandang tubuh Natt dengan rakus. “Aku sudah tak sabar.” Natt merangkak mundur ketika Tuan Sirait melempar jas ke lantai dan melepas satu-persatu kancing kemeja sambil berjalan mendekati Natt dengan perlahan. Tampak jelas bola mata pria tua itu dipenuhi kabut karena kemolekan tubuh Natt yang semakin terlihat. Tuan Sirait hanya tersenyum. Semakin tergugah dengan penolakan yang diberikan oleh Natt. Dan kini melepas ikat pinggangnya. Natt berhasil berdiri dan berusaha tetap menjaga jarak sejauh mungkin dengan, tepat ketika ia hendak memutar tubuh untuk kabur. Pinggangnya ditangkap oleh Tuan Sirait. Natt menjerit keras, seluruh tubuhnya bergerak demi terbebas dari lengan Tuan Sirait yang melingkari pinggangnya. Tubuhnya dibanting di atas kasur. Natt mengambil kesempatan itu untuk merangkak mundur saat Tuan Sirait berusaha memanjat ke kasur menyusulnya. Lagi-lagi usahanya berakhir sia-sia, Tuan Sirait menangkap pergelangan kakinya dan punggung Natt menyentuh kepala ranjang. “Kumohon, jangan sentuh aku.” Tangisnya penuh permohonan. “Tahan permohonanmu sebentar saja, gadis manis. Sebentar lagi kau akan memohon untuk meminta lebih.” Tuan Sirait mulai merangkat naik di atas tubuh Natt. Natt mendorong d**a Tuan Sirait di atas tubuhnya dengan kedua tangan, kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri menghindari bibir pria tua itu yang berusaha menyentuh wajahnya. Saat itulah matanya melihat lampu di nakas. Salah satu tangannya berusaha menggapai lampu tersebut, berhasil. Tanpa pikir panjang ia memukulkan lampu itu ke kepala Tuan Sirait. Tuan Sirait mengerang kesakitan, tubuhnya berguling ke samping tubuh Natt dengan kedua tangan menyentuh kepalanya yang mulai mengucurkan darah. Natt melompat turun, berlari ke arah pintu. Kebingungan ketika mencari kartu untuk membuka pintu tersebut. Di antara kepanikan yang semakin memuncak ketika melihat Tuan Sirait yang berhasil turun dari ranjang dengan rentetan makian yang ditujukan pada Natt, Natt melihat jas yang tergeletak di lantai. Sebuah kartu yang sama dengan yang digunakan oleh Jennifer ketika membuka pintu kamar ini, tampak terselip di saku jasnya. Natt mengambil kartu tersebut, dan berhasil keluar kamar tepat sebelum tuan Sirait menangkap dirinya. Membanting pintu keras-keras dan berlari menyusuri lorong. Langkahnya semakin kencang ketika menoleh ke belakang melihat Tuan Sirait yang berhasil keluar dari kamar dan mengejarnya. Saat itulah ia pun tak melihat sesuatu yang menghadang di arah depannya. Dan menabraknya. Tubuh Natt terpental dan jatuh di lantai dengan keras. Natt berharap seseorang yang ditabraknya bukanlah salah satu dari tiga orang yang menjualnya pada pria tua bangka m***m itu. Tangisan Natt semakin mengalir deras. Tapi kali ini tangisannya dipenuhi keharuan. Harapan terakhirnya benar-benar terkabul. “T-tuan Darren?” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN