Ada dorongan dalam diri Natt untuk menjawab pertanyaan Darren dengan sikap yang dingin dan penuh kebencian. Akan tetapi, mengingat sebesar apa hutang yang ia miliki pada pria itu. Harga dirinya tertunduk lemas di sudut, menelan dalam-dalam segala macam ego yang meronta di dalam d**a. “Maafkan aku,” lirih Natt di antara isakan yang berusaha ia redakan tapi malah semakin menjadi.
Darren menarik tubuhnya menjauh. “Aku tak berselera meniduri wanita yang menangis dan terlihat begitu menyedihkan seperti ini.”
Natt tak bisa menghentikan tangisannya. Merasakan tubuh Tuan Darren yang turun dari ranjang dan tak lama kemudian suara pintu dibuka dan ditutup. Natt masih berbaring di kasur. Menangis sepuasnya sendirian hingga kelelahan dan tertidur.
Esoknya ia bangun masih dengan tubuh yang nyaris telanjang. Matanya terasa berat dan bengkak karena tangisannya tadi malam. Natt bangun terduduk sambil menutupi tubuhnya yang telanjang dengan jubah mandi. Kepalanya berputar, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Kosong dan sunyi. Dan hanya dirinya seorang yang ada di sini.
Tuan Darren tidak pernah kembali. Ada ketakutan yang perlahan membebani hati Natt. Ia sudah membuat kecewa Tuan Darren. Bagaimana jika Tuan Darren tidak berminat menidurinya lagi? Kemudian menarik uang pria itu dari Madam Lily dan ia akan menjadi anak buah Madam Lily lagi? Yang menjualnya pada pria-pria tua dan hidung belang. Natt tak bisa membayangkan mimpi buruk itu lagi.
Natt mulai gelisah. Ponselnya tidak ada dan ketika melihat telepon di nakas, ia pun tak tahu berapa nomor Tuan Darren. Putus asa, ia menghubungi nomor Ronald. Tetapi nomor kekasihnya itu tidak aktif hingga di percobaan ketiganya.
‘Kenapa saat ia benar-benar membutuhkan Ronald, pria itu tak pernah ada untuknya?’ Natt mengerutu dalam hati. Dalam keputus-asaannya menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Tak tahu ke mana lagi hidupnya akan mengarah. Bahkan untuk pulang pun ia sudah tak punya rumah. Ia tak mungkin kembali ke rumah tempat orang yang sudah menukar putrinya demi minuman keras dan judi. Natt bahkan yakin akan mendapatkan masalah yang lebih besar jika kembali ke rumah.
Dalam ketermenungannya, suara pintu kamar diketuk dari luar. Natt mendongak dan berpikir itu mungkin Tuan Darren. Ia pun beranjak berdiri, menalikan jubah mandi dan menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari tangannya dalam perjalanannya menuju pintu. Menghela napas sejenak, ia menarik handle pintu.
“Selamat pagi,” sapa petugas hotel dengan senyum lebar dan suara merdu.
Natt tertegun. Saat itulah ia menyadari ketololannya. Jika ingin masuk, Tuan Darren pasti punya kartu untuk menerobos masuk tanpa memedulikan apa yang tengah dilakukannya di dalam kamar hotel ini.
“Saya membawakan makan pagi seperti yang Anda pesan, juga ini.” Petugas hotel itu menunjukkan kantong besar berwarna putih dan mengulurkannya kepada Natt.
Natt mengambil kantong tersebut, sedikit memiringkan tubuh memberi jalan bagi petugas hotel untuk mendorong troli makanan ke dalam. Setelah membereskan sisa makan malam di meja dan menggantikannya dengan menu makan pagi, petugas hotel itu berpamit keluar. Natt berdiri di samping pintu masih sibuk dengan kebengongannya. Mengintip ke dalam kantong yang ternyata berisi pakaian ganti lengkap dengan pakaian dalam dan ... sebuah ponsel.
Natt belum pernah menyentuh ponsel secanggih ini. Berwarna silver dan berpenampilan mewah. Natt membolak-balik benda pipih itu penuh kekaguman sampai kemudian benda itu bergetar dan panggilan masuk mengagetkan Natt. Butuh beberapa saat bagi Natt untuk mengangkat panggilan tersebut karena kebingungan bagaimana cara mengangkat panggilan yang masuk. “H-hallo?”
“Kau sudah bangun?” Suara Darren menjawab dari seberang.
Natt tak terkejut. Satu-satunya orang yang tahu ponsel ini pasti adalah Tuan Darren.
“Baguslah. Cepat bersihkan dirimu dan habiskan makananmu. Kemudian turun ke lobi. Kuberi kau waktu tiga puluh menit.” Darren langsung menutup panggilannya. Tak memberi kesempatan bagi Natt untuk membuka mulut.
Entah kenapa, Natt menuruti semua perintah tersebut dengan patuh dan keluar dari kamar lima menit lebih awal. Ia langsung menuju lift yang membawanya ke lantai satu. Hanya ada beberapa orang di lobi, dan salah satunya bukanlah Tuan Darren. Natt pun memutuskan untuk melewati pintu putar dan melihat Tuan Darren yang sedang berdiri bersandar di pintu mobil menyadari kedatangannya.
Natt menuruni anak tangga dengan langkah yang selambat mungkin. Merasa sangat tak nyaman dengan tatapan mengamati Tuan Darren ke arah dirinya.
Darren sangat puas dengan pakaian pilihannya untuk Natt. Dress tanpa lengan itu menampakkan kulit pundak Natt yang berkilau dan bahannya yang tipis samar-samar membayangkan lekuk tubuh Natt. Sialan, jika bukan karena tangisan buaya wanita, ia pasti sudah mendapatkan apa yang begitu didambakan dari kemolekan tubuh indah itu. Bahkan wanita yang sudah ditidurinya semalam pun tak membuat hasratnya pada tubuh Natt mereda sedikit pun. Dan ...
Umur panjang.
“Darren?” panggilan manja dari arah belakang Natt membuat Natt menoleh dan menghentikan langkahnya. Menemukan seorang wanita dengan pakaian super minim dan ketat berwarna merah dan rambut bergelombang yang nyaris mencapai pinggung berjalan mendahului Natt dan langsung menjatuhkan tubuh moleknya menempel di tubuh bagian depan Darren. “Kau tidak membangunkanku? Aku benar-benar bermimpi indah.”
Darren hanya membiarkan ketika wanita itu mencoba menempelkan bibir di lehernya. Kedua tangannya masih tetap tenggelam di saku celana, sama sekali tak berminat untuk membalas pelukan mesra teman kencannya. Setelah semua urusannya dengan wanita itu selesai di atas ranjang dan Darren memberi wanita itu hadiah dengan sangat dermawan, ia tak pernah menyapa teman kencannya untuk kedua kali. Tetapi pengecualian untuk kali ini.
Wanita yang entah bernama siapa itu datang di saat dan tempat yang tepat. Pandangannya melekat erat pada Natt yang berdiri terpaku di antara anak tangga, dan terlihat begitu terkejut dengan pemandangan yang menyambut. Kemudian memalingkan wajah karena tak tahan. Darren menarik wajahnya mundur ketika mantan teman kencannya mencoba menemukan bibirnya. Sudah cukup.
“Apa kau menungguku?” tanya wanita itu. Tangannya mengelus-elus d**a Darren dengan menggoda dan tak berhenti mencoba untuk menempelkan bibirnya di bibir Darren.
Darren menunduk. Mengambil tangan wanita itu dari dadanya dan memberi jarak di antara mereka sembari memaksa satu senyum tipis dengan keengganan yang tersamar. “Sekretarisku sudah datang untuk menjemput, jadi ... aku harus segera ke kantor.”
Wanita itu mengikuti arah pandangan Darren. Matanya memindai Natt yang berdiri di tengah anak tangga dari atas ke bawah dengan pandangan tak suka. “Sepertinya sekretarismu kurang menarik untuk mewakili wajahmu,” komentar wanita itu dengan suara sedikit tinggi agar Natt mendengar cibirannya.
Darren hanya tersenyum tipis. Melirik ke arah Natt untuk menilai reaksi wanita itu langsung tertunduk malu. Sejujurnya ia tak suka dengan cibiran dengan mantan teman kencannya, tapi setidaknya kata-kata itu harusnya bisa menyadarkan Natt bahwa wanita sangat beruntung dengan perhatian dan ketertarikan lebih yang dimilikinya untuk Natt. Di antara sekian banyak wanita yang mengemis untuk berakhir di ranjang bersamanya.
Darren mengangkat salah satu tangan untuk melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. “Aku akan pergi sekarang.”
Wanita itu terlihat enggan dengan perpisahannya, tapi kemudian mengeluarkan secarik kertas dan bolpoin dari dalam tasnya, menuliskan deretan-deretan angka dan memberi cap stempel bibir sebelum kemudian melipatnya jadi dua dan memasukkannya ke saku kemeja Darren. “Telepon aku,” katanya diikuti kerlingan mata yang nakal.
Darren hanya mengangkat bahunya dan wanita itu melangkah pergi sambil tak henti-hentinya melemparkan ciuman jauh yang diabaikan oleh Darren. Karena perhatian teralih pada Natt.
“Masuklah.” Darren membuka pintu untuk Natt.
Masih dengan kepala tertunduk dalam-dalam, Natt masuk ke mobil. Darren memutari mobil dan duduk di balik setir. Membawa mobil melaju meninggalkan halaman hotel.