Fable night club

1377 Kata
To love something invisible, maybe I should become a snake. Seorang gadis bertubuh mungil, menepikan sepedanya di halaman Club lalu masuk ke dalam untuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai Waitress Suara hingar bingar musik mengentak-entak membuat telinga bising. Waktu sudah lewat tengah malam, tetapi Fable night nama sebuah kelab malam tempat Elena bekerja, masih dipenuhi lautan manusia yang sedang menikmati duniawi. Aroma nikotin juga alkohol terasa menyengat dari berbagai sudut ruangan. Manusia terkurung dalam mimpi dan halusinasi menelan tanpa jeda hingga kelelahan dan membentengi diri dengan topeng kemunafikan hanya untuk bertahan hidup. Atau sekedar berpura pura bahagia karena rasa sakit yang dideranya. Berbagi wajah yang sama dengan pertemuan singkat. Tertawa riang berdansa mengikuti irama menyimpulkan luka masing masing. Elena menarik nafas panjang, berdiri didepan meja panjang, kaki nya sudah merasakan pegal dan lelah di sekujur tubuhnya. Dia harus fokus bekerja sebagai Waitress dan mengabaikan segala hal yang terlihat di depan mata. Mengabaikan pria yang usil karena terlalu mabuk sekedar untuk menyapa. "Elena.." sapa seorang wanita yang mengenakan gaun berwarna biru tua duduk di kursi depan meja bartender. Elena menoleh ke arah wanita itu dan tersenyum. "Risma" ucap Elena pelan menatap Risma yang tengah duduk didepan meja panjang langsung memesan sebuah cocktail rasa ceri. "El..kau lihat Alex datang ke sini?" Elena menggelengkan kepalanya. "Malam ini aku tidak melihatnya, ada apa?" tanya Elena lalu duduk di sebelah Risma. Risma menyecap cocktail lalu meletakkannya di atas meja. "Tidak apa apa, hanya saja seharian ini aku tidak melihatnya." Risma menoleh ke belakang mengedarkan pandangannya pada orang orang di lantai dansa berharap Alex suaminya ada di sana. Lalu ia beralih menatap Elena. "El, aku pulang dulu." Risma adalah orang pertama yang Elena kenal ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta. Iamengerutkan dahi memperhatikan kening Risma yang lebam tapi warnanya sudah sedikit pudar. "Ris, kau kenapa? Elena menunjuk keningnya sendiri dengan jari. Risma menatap Elena dia mengerti maksud gadis itu. Risma tertawa kecil memegang keningnya sendiri. "Oh ini..tidak apa apa, hanya...kebentur pintu tadi siang" ujar Risma menatap sahabatnya. Risma berdiri lalu membayar minuman yang sudah ia pesan. "Pulang sekarang?" tanya Elena mengambil uang ditangan Risma. "Aku mau cari Alex." Ia menatap Elena sekilas. lalu wanita itu berjalan meninggalkan Club dengan tergesa gesa. Elena menatap punggung Risma hingga menghilang dari penglihatannya. Ia menghela nafas panjang. Melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Suara dentaman musik sudah tidak terdengar lagi, semua pekerja sibuk membersihkan meja dan sampah yang berserakan dilantai. Sebagian sudah pulang lebih dulu, sebagian bersih bersih area tempat duduk. Elena melap lap meja dan merapikan botol botol bir yang berserakan di atas meja. Setelah semua selesai, Elena bergegas menuju ruang loker, mengganti seragamnya lalu dimasukkan ke dalam tas. Karena kelab akan segera tutup, dan semua karyawan siap untuk pulang. Elena berjalan keluar club menuju tepi jalan raya, tiba tiba hujan turun. Ia menoleh kebelakang lalu menepi di halte yang tak jauh dari club. Memperhatikan satu persatu temannya pulang dengan kendaraannya masing masing. Ada rasa iri menjalar dihatinya, namun Elena cepat menepisnya. Saat manusia terlalu berambisi. Mereka akan menemukan segala hal menjadi benar dan dipenuhi rasa sakit. Tapi kota tidak hanya menyangkut ambisi, bagaimana mereka berjalan gontai, mengumpat ketidak berdayaan yang akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Elena mengalihkan perhatiannya menatap langit, menghela nafas panjang, menguatkan hati dan berpura pura, bahwa semua akan baik baik saja. Hanya ada kesepian, kehampaan tiada akhir, amarah yang terpendam seakan meledak didalam d**a, dia tertunduk tersenyum miris menatap jari jari kaki yang hanya mengenakan sandal jepit. kemudia dia menatap sekitar jalan, yang terlihat masih sepi pengguna kendaraan roda dua dan empat. Angin berhembus kencang bersama datangnya petir. Siene berjengkit kaget dan memeluk erat tasnya. Detik, menit berlalu, namun hujan tak kunjung reda Elena sudah mulai merasakan udara dingin menusuk tulang, ia menunduk menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 4:05 pagi. Akhirnya Elena memutuskan untuk pulang, ia berdiri melangkahkan kakinya menerobos hujan dan berlari kecil menyebrang jalan. "Aaahhhhkkkk...! Elena berteriak kencang. Kilatan lampu mobil menyilaukan mata Kedatangan tak terduga dengan kecepatan tinggi membuat Elena kelu untuk kembali menepi ia memejamkan matanya menutup wajahnya erat. Mobil itu berubah arah dengan membanting stir ke kiri hingga menabrak pembatas jalan. "Brakkkk!! Suara benturan terdengar begitu keras, dari dalam mobil keluar seorang pria asing langsung mendekati Elena yang masih memejamkan mata. Pria itu terpaku menatap wajah Elena, yang mulai sadar dan berdiri menatap aneh pria asing didepannya. "Kau tidak apa apa?" ucap pria itu bernada lembut. " Maaf" ucap Elena pelan. "Apa ada yang terluka?" Pria itu memperhatikan Elena dari atas sampai bawah kaki. "Apa perlu ke rumah sakit?" Pria itu memegang tangan Elena. Elena menggeleng, menatap pria didepannya, yang berwajah tampan dan bersuara lembut bak di negeri dongeng. Elena tersenyum sendiri, membuat pria itu mengernyitkan dahi. "Maaf, apa kau baik baik saja?" pria itu mengibaskan satu tangan lainnya diwajah Elena. "Iya Pak, maafkan saya,' Elena menundukkan kepala sesaat dan menjauhkan tangannya dari pria itu. " Ayo saya antarkan pulang, pakaianmu basah" ucap pria itu. Elena memperhatikan pakaiannya yang basah, tanpa fikir panjang lagi, dia mengangguk. "Boleh." Lalu pria itu berjalan membukakan pintu mobil untuk Elena dan memasangkan sabuk pengaman, setelah itu dia masuk dari pintu mobil lainnya. Pria itu menoleh ke arah Elena yang sedang mengusap bekas air hujan diwajahnya, lalu dia mengambilkan Elena beberapa lembar tisu, dan di berikan padanya. "Terima kasih." Sesaat Elena menatap pria itu, lalu menyeka wajahnya yang basah bekas air hujan. Pria itu mengangguk lalu menjalankan mobilnya. " Namamu siapa?" Pria itu melirik Elena sesaat. "Elena," jawabnya lalu menoleh. " Dan kau sendiri?" Pria itu tersenyum melirik Elena. "Lucian Aghler ," jawabnya. "Rumahmu ke arah mana El? tanya Pria itu. "Jalan mandala pintu 10," sahut Elena sedikit menundukkan kepala menatap ke depan memperhatikan jalan. "Aku tahu daerah itu," sahut Lucian. Elena tersenyum tipis dengan tatapan lurus ke depan. Ia mulai merasakan kedinginan hingga mengabaikan semua cerita Lucian sepanjang jalan. Tak lama kemudian mereka sudah sampai di depan rumah Elena. "Terima kasih sudah mengantarkanku" ucap Elena sembari membuka sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil. Lalu ia bergegas menuju teras yang basah, dia buru buru membuka tasnya dan mengambil kunci rumah, lalu membuka pintu, mungkin ia akan belajar untuk tersenyum hari ini, meski itu hal yang paling sulit saat perasaan semakin melemah. Oleh peliknya hidup dan berbagai kegagalan. Terlahir dari keluarga yang tidak mampu membuat Elena harus berjuang keras, ayah yang sakit sakitan, dan tidak memiliki penghasilan, mengharuskan ia menjadi tulang punggung keluarga. Jika ada waktu senggang Elena lebih banyak menghabiskan waktu dirumah sendirian, dengan setumpuk buku buku. Dikamar kecilnya adalah kuil, tempat di mana dia bebas melakukan apa saja tanpa harus berpura pura, bahkan bertindak bodoh sekalipun. Kamar kecil ini sebagai penyembuh keseharian yang tak jelas dan tak tahu arah. Kamar ini pula tempatnya meredakan isi kepala dan menikmati kesendirian, atau ia akan memilih menikmati pagi hari dengan secangkir kopi hitam. Setiap sesapan kopi memberikan efek ketenangan tersendiri buat dirinya. *** Suara dering telepon dan bisingnya orang orang yang keluar masuk kantor Polisi. Mereka tengah membicarakan kejadian pembunuhan semalam. Seorang Polisi tengah duduk di depan monitor bersama rekannya menatap foto foto di layar monitor. "Menurut petugas patroli semalam, mereka melihat seorang gadis sekitar berusia 19 tahun tengah berada di tempat kejadian perkara." Yudha menghirup kopinya lalu kembali menatap foto foto. "Salavatrucha dan Alexis Reegan,dan Lucian pemilik Fable night Club memiliki keterhubungan yang semakin jelas arah dari keduanya.Tapi pihak kepolisian belum bisa menangkap Reegan karena belum mendapatkan bukti atas pembunuhan semalam. "Bagaimana kalau kita memulai dari awal, kita cari tahu siapa gadis itu, dia saksi satu satunya yang dapat meringkus Reegan." Keduanya menunduk memperhatikan kembali foto foto Reegan dan Lucian beserta anggotanya. "Lucian sejauh ini tidak ada pergerakan apapun di kelab miliknya, dia sudah tidak melakukan kejahatan." Prasetyo menatap yudha rekannya. "Kita harus menemui petugas patroli semalam, kita buat skema wajah gadis itu." Prasetyo mengangguk lalu mereka beranjak pergi meninggalkan ruangannya untuk menemui petugas patroli semalam. "Pak Pras..!" Prasertyo menoleh ke belakang. "ya?." "Untuk mengetahui siapa gadis itu, kita bisa lihat cctv salah satu pemilik toko perhiasan yang ada di ujung jalan itu." "Tunggu apalagi? kita pergi ke sana sekarang." Yudha bergegas melangkahkan kakinya mendahului Prasetyo. Akhirnya mereka menemukan titik terang untuk menangkap Reegan atas pembunuhan salah satu orang penting yang baru saja tiba di kota ini. Selama ini Reegan bebas berkeliaran sementara daftar kejahatannya sudah sangat jelas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN