Daffa - 9. Lega

1410 Kata
Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah.” HR. Tirmidzi. Setelah kucurahkan semuanya pada Bang Nail kemarin lusa, kini akhirnya aku sampai pada undangan berbuka bersama di rumah sang... calon istri. Ehm, positif sekali harapanku. Tapi tak masalah dong, bukankah kita harus berharap yang baik-baik saja? Kata Bang Nail, Allah itu sebagaimana kita berprasangka. Jadi kalau aku berprasangka baik sama Allah, siapa tahu bakal dimudahkan. Aku kini sedang duduk di ruang tamu rumah Arsy, setelah tadi siang aku diundang oleh abangnya untuk datang sebagai tamu. Abang bilang, Abi mereka ingin bertemu calon menantunya. Perasaanku sekarang bercampur baur antara gugup, gelisah, dan keringat dingin, seolah aku akan disidang. Salah, perasaan yang sekarang ini bahkan lebih penting dari sekedar mengejar gelar dunia. Mungkin seserius ini perjuangan yang akan dilalui setiap laki-laki demi mendapatkan tulang rusuk. Suara kekeh pelan terdengar. Kulihat Bang Nail mencuatkan wajah usilnya. "Dingin ya?" Aku melihat arah mata Bang Nail yang tertuju pada kakiku yang tak bisa tenang, memang terlihat seperti gemetaran. "Bukan, Bang. Daffa gugup, Bang." Bang Nail malah tersenyum, hampir menertawaiku secara terang-terangan. "Santai aja Daffa. Orangtua kami nggak galak kok. " "Abang akan rasain ini pas berhadapan sama calon mertua Abang kelak. Mau selembut apa pun orang tua calon istri Abang, Abang pasti akan gugup seperti ini," kataku sok tau. "Jadi mau mundur?" Aku menggeleng kuat. Aku harus berjuang. Memang benar, perlu ikhtiar sebelum Allah mewujudkan keinginan kita. Bahkan tanpa amal salih, bagaimana bisa kita mengharapkan surga? Menyunting bidadari, bagaimana bisa dianggap mudah? "Kalo Abang masih jauh Daff, calonnya masih ketutup awan. Jadi, nikmati saja dulu masa bujangan," balas Bang Nail tertawa. Bang Nail begitu nyaman diajak ngobrol, belajar bahkan bercanda. Calon kakak ipar yang menyenangkan. Semoga segera diijabah. "Assalamu’alaikum," ucap seorang lelaki paruh baya masuk ke dalam rumah. Beliau berjalan menuju tempatku dan Bang Nail. "Wa'alaikumussalam, Abi. Baru nyampe, Bi?" kata Bang Nail seraya mencium tangan beliau dan aku pun mengikutinya. "Iya Bang. Ini ya, yang namanya Daffa itu?" Dipandangi sedemikian rupa membuatku malu setengah mati. "Iya Oom. Saya Daffa." "Silakan duduk, santai saja. Abi mau mandi dan ganti pakaian dulu. Nanti kita buka puasa sama-sama." Beliau tersenyum lagi. "Iya, Oom," balasku. Setelahnya, beliau menghilang ke ruangan belakang. Aku dan Bang Nail pun kembali duduk. "Bener, kan? Orangtua kami baik Daff. Jadi, kamu santai aja," Bang Nail menepuk pundakku. "Astagfirullah, Bang. Perasaan dari tadi Daffa nggak ngomong orangtua Abang jahat deh. Daffa cuma bilang, Daffa gugup, Bang," jelasku yang malah ditertawakan sama Bang Nail. Asyik bercengkrama dengan Bang Nail, suara beduk terdengar. Segera kami menuju ruang makan. Secara canggung aku mengambil tempat duduk di sisi Bang Nail dan Abi yang masih kosong. Di depan kami terpampang berbagai jenis jajanan khas berbuka puasa. Arsy masih tetap mengenakan cadarnya, lain hal dengan ibunya yang hanya mengenakan jilbab panjang. "Nak Daffa, ini kolaknya mau nambah lagi nggak? Makan malamnya masih lama loh. Nanti tarawih dulu baru makan malam," ibunda Arsy menawarkan. "Udah, Umi. Maa syaa Allah, sudah kenyang," tolakku sopan. "Tadi udah Abang jelasin juga, Mi," kata Bang Nail menjawab tawaran Umi. Tadi beliau memang cerita, kalau Bang Nail dan Abi selalu buka puasa di masjid dan langsung salat berjamaah, terus lanjut isya dan tarawih di masjid. Sementara Arsy dan Umi, mereka akan menyusul ke masjid. Setelah tarawih mereka akan makan malam bersama. Khusus malam ini, demi menyambut kedatangan seorang calon menantu, kata Bang Nail, Abi memutuskan untuk berbuka di rumah biar asyik ngobrol, sholat maghrib juga berjamah dirumah. Setelahnya baru ke masjid untuk isya dan tarawih bersama. Setelah berbuka kami bersiap sholat maghrib. Kulihat sesekali Bang Nail bersikap usil terhadap Arsy, sampai Umi ikut menegahi. Aku melihat betapa bahagianya keluarga Arsy ini. Sederhana, tapi begitu nyaman suasana kekeluargaannya. Mereka masih ada waktu berkumpul bercanda bersama. Sedangkan keluargaku? Ayah selalu saja sibuk dengan pekerjaannya, lebih sering meninggalkan Bunda dan aku sendiri. Kami hanya sempat berkumpul pada saat sarapan, atau saat sahur. "Sebagai seorang lelaki, pantang bagi kita meneteskan air mata di depan perempuan. Meski sesedih apa pun kita, kita masih punya Allah untuk bercerita, Nak," bisik Abi mengingatkanku. Aku sedikit terlonjak karena suara beliau. Kuseka mata, terasa olehku cairan bening nan dingin tersebut diujung mata. Ah, mengingat Bunda yang mungkin saat ini sedang berbuka sendirian ternyata memancing bukti emosionalku mengalir. Harusnya tadi aku mengajak beliau juga. Aku segera menghapus air mataku sambil tersenyum kepada beliau. Akan memalukan kalau air mata ini dilihat Arsy, Umi dan Bang Nail. "Iya, Abi." "Ayo, di sini mushollanya." Aku mengikuti langkah beliau sambil sesekali memastikan airmataku sudah berhenti turun. "Air mata yang disukai Allah adalah air mata taubat, Nak. Yang tiap tetesnya akan memadamkan api neraka," lanjut beliau teduh. Aku menatap senyum beliau, benar-benar membuatku tertegun. Arsy dan Bang Nail sangat beruntung, mereka dididik langsung oleh orangtua yang salih dan paham agama. Nanti aku ingin keluargaku senyaman ini, akan aku pantaskan diri sebagai imam yang sanggup menjaga keluargaku. "Kita laki-laki, setiap tetes yang harus kita tumpahkan adalah tetesan keringat dan darah, Nak. Keringat itu bukti ikhtiarmu untuk menafkahi keluarga. Dan darah, para pejuang agama Allah mengorbankan nyawa mereka, mereka syahid dengan cinta kepada Allah," jelas Abi lagi. "Iya, Abi. Terima kasih, Abi." Aku merasa sangat diterima di keluarga ini. Bahkan kedua orang tua ini mintaku untuk memanggil Abi Umi seperti halnya Arsy dan Bang Nail. Rasanya nyaman sekali. Apa pun keputusan Abi kelak, aku akan tetap menganggap mereka adalah keluargaku. *** Setelah isya dan tarawih berjamaah di masjid kami kembali ke rumah dan menyantap makan malam. Arsy langsung pamit ke kamar setelah makan dan membantu Umi membereskan meja, sepertinya dia memang menghindar. Setelah Arsy pergi, pembicaraan Abi mulai serius. "Jadi, Nak Daffa serius mau meminang Arsy?" tanya Abi padaku. "Bismillahirahmanirahim. Iya, Abi. Insyaallah. Saya ingin menghalalkan Arsy untuk menjadi pendamping saya dan ibu dari anak-anak kami kelak," jawabku yakin. "Bekal apa yang sudah kamu bawa, atau paling tidak apa yang sudah kamu siapkan untuk mengarungi rumahtangga bersama putri Abi?" Rasanya seperti disidang. Sungguh. Apalagi Bang Nail dan Umi juga disini, ikut mendengarkan percakapan kami. Kuyakin memang begini harusnya keluarga, memastikan aku pantas untuk membahagiakan bagian dari mereka, Arsyila Farzana. "Saya memang belum lulus kuliah Abi, tapi saya InsyaAllah ada sedikit tabungan untuk menafkahi Arsy. Alhamdulillah, sekarang saya ada penghasilan sendiri, Bi, walau tidak banyak." Abi menggeleng sambil tersenyum, "Bukan itu maksud Abi. Daffa, pernikahan itu tidak melulu tentang masalah duniawi. Uang, harta, cinta, dan lain-lain semuanya bisa dicari dan dimiliki. Bahkan Allah katakan kita tidak akan meninggal sebelum menikmati semua yang sudah Allah takdirkan untuk kita di dunia. Ada hal yang lebih penting dari semua itu..." "Apa itu, Abi?" tanyaku cepat. Beliau tersenyum. "Iman. Iman akan menjadi dasar dari sebuah pernikahan yang hakiki." "Iman artinya percaya. Daffa percaya kalau putri Abi..." Abi mengangkat tangan, menghentikan kalimatku. "Pernikahan itu menyatukan dua keluarga. Dua hati. Bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang mustahil untuk mencapai keluarga yang berbahagia dunia akhirat." Aku diam mendengarkan dengan hati berat. Bisa kubandingkan bedanya cara Abi dan Ayah mengayomi keluarga. "Bagaimana denganmu, Nak?" Kulihat telapak tanganku memutih. Rasanya kepercayaan diriku menciut perlahan. "Abi ingin kamu mencari tahu lebih dulu, kenapa keimanan adalah dasar pernikahan yang hakiki. Katamu iman itu percaya?" Aku mengangguk dalam diam. "Nah, Abi percaya kamu serius ingin meminang putri Abi. Setelah kamu dapat jawabannya dan sesuai dengan maksud Abi, maka saat itulah Abi akan menjawab pinanganmu. Kamu bersedia?" "Jangan putus asa begitu, Nak," kata Umi dengan senyum ramahnya yang menyejukkan. "Kami sangat ingin melihat Arsy menikah dengan sosok lelaki yang bisa menjadi imam, guru, orang tua, sahabat, sekaligus kakak untuk Arsy." "Daffa mengerti, Umi." "Bila kamu bisa membuktikan semuanya, mungkin tanpa pikir dua kali Abi akan menerima pinanganmu. Bila perlu saat itu juga Abi skan menikahkan kalian," tambah Abi dengan senyum lebar. Hatiku menghangat. "Terimakasih banyak, Abi, Umi. InsyaAllah Daffa akan segera memantaskan diri." Aku tersenyum kepada Bang Nail yang sedari tadi diam hanya mendengarkan. "Boleh Daffa minta bantuan sama... Bang Nail?" Abi sedikit tergelak, "Maa syaa Allah." "Lha, curang itu," tolak beliau cepat. "Sesama manusia harus saling tolong menolong, Bang," ucap Umi sambil mengusap rambut Bang Nail dengan senyum sayang. "Alhamdulillah," ungkapku penuh syukur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN