Arsy - 8. Mertua

1766 Kata
'Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat). HR. Ibnu Majah. Aku tak mungkin melewatkan sore ini. Di mana ada janji pertemuan antara aku dan Mama Daffa. Sungguh, aku tak menduga, apa yang sebenarnya sekarang terjadi. Seolah semua terjadi begitu cepat, bagai hembusan angin yang tak dapat dihentikan. Aku tak bisa berbuat banyak selain mengikuti alurnya saja. Semua aku pasrahkan pada-Nya. Aku hanya bertawakal. Yaa, walaupun kini jantungku seolah berdetak lebih kencang dari biasanya. Entahlah. Aku dan Syfa duduk menunggu di kafe yang sudah di-booking, tempat kami bertemu sekaligus buka bersama dengan Mama Daffa Tak lupa aku juga sudah izin dengan kedua orangtuaku untuk berbuka puasa bersama dengan Syfa dan juga dengan mama temanku. Aku tidak mengatakan mama dari Daffa, karena pasti akan jadi pertanyaan untuk kedua orangtuaku dan juga sudah mendapat izin Bang Nail. Tak lama kami duduk, datang seorang wanita cantik dengan hijab syar’i menyapa kami. Maa syaa Allah, cantik sekali beliau ini dengan hijab syar’inya sedikit mengingatkan aku pada Umi di rumah. "Assalamu’alaikum, saya Mamanya Daffa. Benar dengan Arsy?" tanya beliau menatapku dan Syfa. "Wa’alaikumussalam. Benar, Bu. Saya Arsy." Aku langsung berdiri menjabat tangan beliau. "Dan ini siapa?" tanya beliau mengalihkan pandangannya pada Syfa. "Teman saya, Bu. Syfa namanya." Syfa berdiri di sampingku gantian berjabat tangan dengan Mama Daffa. "Mari duduk. Jangan tegang begitu. IIbu nggak menggigit kok, Nak," ujarnya sambil tersenyum. Kami serempak kembali duduk. Baru sekali ini aku menghadapi pertemuan dengan... apa namanya? Calon mertua? InsyaAllah. Sedikit gugup, jadi bingung mau ngomongin apa, padahal Syfa sudah membentur kakiku beberapa kali sebagai kode. "Arsy dan Syfa satu kampus, ya?" tanya beliau. "Iya Bu, satu kampus. Kami ambil jurusan sastra, " jawabku didukung senyum lega Syfa. "Bagus-bagus, meski perempuan kita juga harus punya pendidikan. Karena kita nantinya yang akan jadi guru pertama untuk buah hati kita, tapi yang penting jangan lupa ilmu agama. Benarkan?" "Iya, Bu." Terasa pipiku panas merona. Tentu saja, Umi contoh yang setiap hari hadir, beliau juga adalah guru yang hebat untukku. "Arsy, maaf kalau Ibu lancang bertanya. Arsy sudah lama memakai cadar?" "Oh, saya memakai cadar saat masuk kuliah, Bu. Kenapa ya, Bu?" Aku sedikit takut. Ada orang-orang yang masih menganggap cadar terlalu berlebihan untuk muslimah Indonesia, bahkan menganggap kami yang bercadar ini adalah islam fanatik. Mungkin saja Mama Daffa salah satunya. Jadi teringat candaan Bang Nail kemarin. Bagaimana kalau beliau gak suka Arsy? Beliau tersenyum, "Luar biasa. Jarang sekali loh perempuan yang rela menutup wajahnya. Apalagi di tengah masyarakat sekarang ini, yang sangat mementingkan kecantikan. Tapi Arsy mampu melakukannya," puji beliau terlihat bangga bukan mencela. "Ini belum seberapa dibanding dengan keberanian Rasulullah dan Ibunda Khadijah saat pertama kali wahyu diturunkan, Bu. Gunjingan, cibiran, cemohan nggak ada apa-apanya dibanding ujian yang beliau dan istrinya alami." Beliau tersentak, "Maa sya Allah, Daffa memang gak salah pilih, Nak. Ibu sangat ingin cepat-cepat bertemu keluargamu untuk melamarmu menjadi menantu Ibu." "Aamiin, Syfa setuju, Bu," celetuk Syfa tiba-tiba. Sementara aku terdiam atas penerimaan yang tiba-tiba tersebut. "Iya Nak. Syfa setuju kan, Arsy jadi dengan Daffa?" Syfa mengangguk pasti. Sahabatku ini lebih bersemangat daripada aku. "Sangat setuju, Bu. Ibu harus tahu, saat Daffa datang dan bilang ingin menikah dengan Arsy, kami langsung syok, Bu." "Syfa," bisikku memperingatkan. Penyakit hebohnya kumat dan membuatku malu setengah mati. "Oh ya?" tanya beliau nampak antusias. "Reaksi Arsy gimana?" "Arsy bilang, perjuangkan aku. Arsy ini sahabat Syfa, Bu. Maa syaa Allah, sholeha, pintar ngaji dan jaga diri. Pokoknya..." Aku menubruk kaki Syfa yang nampaknya bersemangat sekali mempromosikan aku. "Sst." "Gak apa-apa Arsy. Bagi Ibu, Daffa itu juga anak yang sholeh, dia nggak suka kalo didekati perempuan. Ibu pikir, dulu itu dia anti tapi ternyata ada alasannya dia begitu. Ibu senang Daffa memilih Arsy." Aku tertunduk malu. "Arsy biasa aja kok, Bu. Syfa ceritanya berlebihan." "Enggak, Bu. Serius deh, Syfa juga mau yang terbaik buat sahabat Syfa." Mama Daffa melihat Syfa yang membela diri sambil tersenyum. "Ibu percaya. Jadi, kamu mau, kan, jadi menantu Bunda?" ucap Mama Daffa seraya menatap dalam mataku. Mata beliau sendu, membuat hatiku tidak tega untuk menolak. Mata itu penuh dengan harapan. Tapi... apa yang harus kulakukan? Pertemuan ini saja masih dirahasiakan dari Abi dan Umi. *** Jujur saja, belakangan ini aku terus memikirkan semua yang terjadi begitu cepat. Tentang Daffa dan proposalnya yang sampai sekarang belum juga aku baca sampai tuntas, lalu pertemuan dengan Mama Daffa yang kemarin terjadi. Semuanya seolah memenuhi rongga pikiranku. Tidak lupa pula sholat malam yang aku lakukan beberapa hari ini, gambaran yang begitu jelas kudapatkan. Yang membuatku makin khawatir hanya kesempatan untuk mengabari orangtuaku tentang semua ini. Aku sedikit takut untuk meneceritakannya. Entahlah, ketakutan seperti apa, aku juga tak paham. Tapi, aku tahu, orangtuaku pun harus tahu. Mungkin, malam ini, selepas salat tarawih dan makan malam, aku akan membicarakan semua ini. Rencana awalku, aku akan bicara baik dan pelan secara rinci sesuai runtun kejadian, dan minta Bang Nail sebagai saksi. Namun, saat makan malam usai, justru Abi yang lebih dulu menghampiriku. "Arsy, Abi mau ngomong sama kamu," ucap Abi saat kami berempat berkumpul di ruang TV. "Ada apa, Bi?" tanyaku penasaran. "Tadi siang, Abi juga sudah ngomong sama Umi dan katanya bicarakan saja sama Arsy. Jadi begini, ini mengenai salah satu teman Abi." Sesaat beliau melihat Umi dan mendapatkan senyum bidadari syurga tersebut yang tampaknya memberi dukungan. Aku diam menunggu kalimat beliau. Sama sekali tak ada kelu apa hubungannya aku dengan teman Abi. "Salah satu teman Abi, dia punya anak laki-laki lulusan dari Kairo. Teman Abi menawarkan, bagaimana kalau anaknya itu dijodohkan sama Arsy?" jelas Abi pelan. "Apa?!" Reaksiku serempak dengan Bang Nail. Jelas Abang juga baru tahu hal ini sekarang. "Kalian kompak sekali," komentar Abi dengan tawa dan wajah geli. Aku dan Bang Nail hanya bisa saling tukar pandang. "Bi, Arsy nggak kenal dengannya, Bi. Apa Abi sudah mengiyakan?" Yang aku takutkan Abi sudah mengiyakan. Jelas ini akan jadi masalah! Bagaimana dengan Daffa? "Belum, Nak. Abi bilang mau membicarakannya dengan kamu dulu." "Alhamdulillah," ucapku agak lumayan lega. Kali ini, entah kenapa aku tidak terlalu suka dengan rencana Abi, biasanya aku akan selalu ikut saja apa katanya. Tapi sekarang, ada perasaan membangkang. Mungkin karena menikah itu butuh persiapan matang bagi yang akan menikah, dan bagi Arsy, menikah itu hanya sekali seumur hidup, sebagaimana para umulmu'minin yang menjanda setelah kepergian Rasulullah. Aku juga tidak ingin mengabaikan jawaban istikharah yang tanpa sadar memaksaku berharap pada seseorang yang beberapa hari ini dengan lancang berlarian di pikiranku. Aku hanya tidak bisa mengenyahkan, meski sudah kucoba. "Arsy, nggak suka ya, Nak?" tanya Umi ikut bersuara. "Arsy belum siap, Umi, lagian Arsy masih kuliah juga, kan," jawabku jujur. "Belum siap apa karena..." "Bang," cegahku menatap Bang Nail dengan permohonan. Abi melirik kami berdua dengan mata curiga. "Lho, lho ada apa ini? Arsy kenapa, Bang? Arsy punya pacar? Ingat Arsy, Abi, Umi terlebih Allah melarang keras kamu pacaran, Nak!" Aku menggeleng cepat. "Enggak, Abi. Bang Nail memang gitu orangnya, suka godain Arsy mulu," kilahku cepat. "Bang, jangan gitulah sama Arsy," kata Umi membelaku. "Eh ngadu ya, Adek Abang ini," ucapnya seraya mencubit pipiku. "Mentang-mentang pipi Arsy cubby dicubitin mulu. Abi, Umi... tolong Arsy." Aku menghindar dan memeluk Umi untuk berlindung. Sedikit usahaku mengalihkan pembahasan runyam ini. "Dek, mungkin lebih baik kamu ngomong sama Abi dan Umi. Mumpung suasananya pas," saran Bang Nail serius. "Abang..." Aku merengek lagi, memohon untuk tidak kembali membahasnya. "Arsy kenapa, Bang?" Abi bertanya. Kali ini pasti kacau, wajah beliau sangat ingin meminta penjelasan. "Yaudah. Abang aja yang ngomong. Abang juga perlu bertanggungjawab." Aku menghela napas. Sepertinya memang tidak boleh lebih lama dibiarkan. Bang Nail sudah cukup membantu. Lagipula Umi dan Abi sangat perlu untuk ikut andil dalam kasus Daffa ini. 'Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap k*********a. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.' HR. At Tharmidzi. "Baiklah kalau begitu. Abi, Umi begini...” Abang mengambil napas pelan sebelum melanjutkan. “Kemarin ada yang melamar Arsy kepada Abang. Bukan melamar sih, lebih tepatnya meminta izin untuk meminang Arsy," Bang Nail memulai. "Loh, kok Abang nggak bilang sama Abi. Masalah ini bukan main-main lho, Nak," protes beliau. Aku tertunduk malu. Banyak merasa berdosa dan bersalah kepada Bang Nail, Umi dan Abi. "Ini, kan Abang lagi ngomong sama Abi." "Maksud Abi, kenapa gak dari kemarin-kemarin? Kalau begini kan, Abi jadi nggak enak sama teman Abi." "Kok nggak enak, Bi? Kan, kata Abi tadi belom ngasih jawaban?" tanyaku tiba-tiba, aku takut secara tidak langsung Abi mengiyakan permintaan temannya. "Teman Abi ini cukup dekat dengan Abi, Nak. Jadi dia tahu kalau putri Abi belum dilamar orang. Kalau besok Abi bilang kamu sudah dilamar. Bagaimana coba?" "Anak ini juga baru meminta izin, Bi," kata Abang. "Meski baru meminta izin berarti dia ada niatan serius." "Abang juga awalnya ragu, Bi..." Bang Nail melirikku sedikit, "Tapi kayaknya dia lumayan juga buat Arsy." Aku sedikit tersipu. Entah apa maksud Bang Nail berkata begitu. Umi tiba-tiba saja mengelus rambutku, "InsyaAllah. Kalau dia menemui Abang, berarti memang bukan pacaran niatnya." "Orangnya juga cakep," timpal Bang Nail usil. "Ya, kan, Dek?" "Apaan sih, Bang," kilahku malu. "Nah, kapan dia mau kemari? Bertemu Abi dan Umi. Kan, Abi juga pingin kenal," kata beliau mengakhiri kalimat dengan tersenyum. Sepertinya saran Bang Nail sangat tepat. Aku lega kalau Abi tersenyum begini, paling tidak beliau tidak marah padaku. "Abi, serius mau bertemu dengannya?" tanya Bang Nail dengan mata bulat sempurna. "Tapi Bi, dia mungkin nggak seperti yang Abi dan Umi inginkan, dia masih kuliah." "Arsy bagaimana?" tanya Umi sendu kepadaku. "Memang dia masih kuliah. Selebihnya Arsy juga gak tau, Mi." Aku juga berpikir begitu. Kemarin mamanya Daffa juga tidak membahas banyak hal. Pembicaraan kemarin lebih terkesan kalau beliau mengorek informasi tentang Arsy daripada mengisahkan tentang Daffa. "Biarlah Abi yang putuskan. Apakah Abi akan suka atau tidak dengan pemuda ini. Yang pasti malam ini Abi menyukai sikap dia yang meminta izin lewat Bang Nail untuk meminangmu." "Iya, Bi. Alhamdulillah. Tapi teman Abi gimana?" tanya Umi. "Insyaallah, Abi akan jelaskan sama dia nanti." Setelah bercengkrama hangat dengan keluarga dan menyampaikan niatan Daffa aku jadi sedikit lega. Aku beranjak menuju peraduanku setelah berpamitan dengan semuanya. Daffa, sebelum bertemu dengan pemuda itu hidupku tenang, tiba-tiba semuanya berubah dalam sekejap. Sebelumnya pikiranku terfokus pada buku, tugas, kuliah. Kini semuanya berputar antara Daffa dan mamanya, pernikahan. Sudah siapkah aku jadi seorang istri?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN