Daffa - 10. Lamar

1439 Kata
“Sesungguhnya barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” HR. Tirmidzi. Kenapa iman menjadi pondasi utama sebuah pernikahan? Selain karena tantangan dari Abi, aku juga penasaran dengan jawaban dari pertanyaan itu. Kalau bisa aku ingin membangun rumah tangga dengan pondasi yang kokoh hingga bisa bertahan dari cobaan apapun di dunia dan langgeng sampai surga sama-sama. Demi sebuah jawaban itu, kini aku di sini lagi, di sebuah toko buku untuk mencari satu di antara banyaknya tumpukan buku tentang bekal pernikahan dalam Islam. Sudah hampir setengah jam aku membolak-balik buku di bagian rak Buku Islam, tapi aku belum menemukan yang menarik minatku. Tengkukku mulai penat. Kuangkat kepala mencari sosok Bang Nail. Tadi kami janji bertemu disini, kemudian akan menghadiri sebuah kajian bersama, tapi sampai sekarang beliau belum juga menampakkan wujudnya. Aku mulai beranjak ke rak yang lain, sambil terus menunggu bantuanku datang. "Nihh..." Kurasakan sebuah buku menyentuh pundakku. Aku berbalik dan melihat seseorang yang sedari tadi kunantikan. "Abang? Ngagetin aja. Mana nggak ucap salam lagi." Bang Nail tersenyum, "Sorry, Daff. Assalamu’alaikum." "Wa’alaikumussalam, Bang. Ini apa, Bang?" tanyaku membolak-balikkan buku bersampul merah jambu dan kuning yang tadi Bang Nail serahkan. Jujur saja, warna terangnya lebih menarik daripada judulnya. "Buku," jawab Bang Nail datar. Aku bergumam, “Anak TK juga tahu kalau ini buku, Bang." "Ya. Jadi harusnya anak kuliahan juga bisa baca dong itu buku apa?" kata Bang Nail balas mengejek. Aku jadi tersenyum membayangkan gimana lucunya Arsy saat kesal dikerjain Bang Nail yang usil. "Iya deh iya, Pak Ustadz." Aku membaca sederet huruf yang kemudian membentuk judul buku. Menurutku, buku yang kini kupegang pantasnya dibaca perempuan, tapi mungkin ini bisa jadi referensi pertanyaan dari Abi. "Masih mau cari-cari lagi?" "Udah, Bang. Kayaknya ini cukup," jawabku cepat. "Kalau sudah selesai, Abang tunggu di parkiran, ya. Kita langsung berangkat, ntar keburu siang. Bisa-bisa nggak kebagian tempat duduk di depan," jelas Bang Nail. "Iya Bang, Daffa bayar ini dulu." Aku menuju kasir sementara Bang Nail langsung menuju pintu keluar. Hari ini kita memang ada janji untuk menghadiri kajian islami di Bogor. Rencananya kami akan memakai mobil sendiri-sendiri, tapi karena agak jauh dan takut menambah kemacetan, akhirnya diputuskan menggunakan satu mobil saja, sementara mobilku ditinggal di parkiran mall. Nanti seorang sopir akan mengambilnya. Aku tertegun sesaat ketika melihat Arsy dan temannya yang juga bercadar di kursi belakang. Kupikir kami cuma berdua saja, ternyata berempat. "Assalamu’alaikum, Arsy, Syifa," sapaku dengan perasaan berdebar. "Wa’alaikumussalam," jawab mereka serempak. "Jaga pandangan," tegur Bang Nail di belakang stir. Aku segera duduk dengan senyum malu. "Maaf, Bang. Daffa, kan juga manusia, Bang." "Pandangan yang pertama itu boleh, yang kedua itu panah syaiton." Janganlah kamu mengikutkan pandangan dengan pandangan berikutnya. Sebab hanya pandangan pertama saja yang dibolehkan bagimu, tidak untuk pandangan setelahnya.” HR. Abu Daud. "Iya nih, puasa-puasa juga," celetuk Syfa sinis. "Ingat Daffa, jangan sampai puasamu jadi sia-sia karena hilang pahala," suara datar Arsy juga ikut menegurku. "Terimakasih sudah diingatkan," ucapku menunduk. Memang wanita adalah ladangnya fitnah. Padahal Arsy sudah berhijab dan bercadar tapi masih bisa membuat hati ini jadi gundah gulana. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana besarnya fitnah yang dihasilkan perempuan-perempuan yang belum mau menutup aurat. Kuharap Abi menerima lamaranku agar terhindar hati ini dari nafsu yang merusak dan juga zina. Tiba-tiba tangan Bang Nail menepuk pundakku. "Daff, malah ngelamun." Aku menunduk, "Maaf, Bang." Bang Nail tersenyum, "Minta maaf terus." "Yah, Daffa merasa bersalah, Bang." "Kamu tahu nggak apa aja yang membatalkan pahala puasa?” tanya Bang Nail mulai menjalankan mobil. Aku menjawab dengan menggelengkan kepala. "Mungkin semua yang buruk." "Tepat. Tapi lebih spesifik lagi contohnya : mengucapkan kata-kata dusta atau bohong, menggunjing (membicarakan kejelekan orang lain), adu domba...” "Adu ayam yang kecil aja nggak boleh, apalagi adu domba, Bang," celetukku spontan. Bang Nail tersenyum lebar. “Bisa aja kamu. Banyak sih yang bisa membatalkan puasa, tapi yang penting, salah satunya adalah melihat perempuan lalu timbul nafsu. Puasanya memang tidak batal, tidak perlu mengganti, tapi tidak dapat pahala atau hilang nilainya. Cuma dapat lapar dan haus doang." "Sayang banget, ngerasain lapar dan hausnya tapi nggak dapat pahala," komentarku merenung. "Tepat banget. Jadi, dasarnya yang rugi itu kamu sendiri, Daff." Aku mengangguk. "Sekali lagi makasih, Bang." Di perjalanan aku mendengar Arsy dan Syfa sedang berbincang masalah pelajaran, mungkin sedang membahas tugas kuliah. Bang Nail juga fokus menyetir meski sesekali ngobrol kalau kondisi lagi macet. Aku teringat buku yang tadi kubeli. Kurogoh tas dan mengeluarkan benda dengan sampulnya yang terkesan feminim tersebut. Aku mulai membaca daftar isinya, dan aku pun menemukan sub judul yang menarik. Kutelusuri halaman yang ditunjukkan daftar Isi. Aku membacanya perlahan dan mataku mulai berbinar-binar pada sebuah narasi dalam buku tersebut, mungkin ini yang dimaksud Abi. *** Entah kenapa tema dakwah kali ini sangatlah pas dengan keinginanku. “Pernikahan Muda dalam Islam dan Kesehatan." Aku dan Bang Nail segera mencari tempat di antara para ikhwan yang juga sudah berdatangan. Arsy dan Syfa tadi juga langsung duduk di antara para akhwat yang hadir. Sepertinya yang datang memang kebanyakan para muda-mudi, mungkin dari kampus yang berbeda. Dalam layer di bawah spanduk tema tertulis jelas sebuah kalimat suci. QS. Ar-Rum : 21 “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isetri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesuangguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Suasana kajian khidmat dan kondusif. Pembahasannya juga menarik. Ini sungguh hari yang panjang untuk dilewati. Bertemu pemateri yang masih sangat muda. Lebih muda dariku, dan semuda itu beliau sudah bisa mengamalkan dan juga membagi ilmunya. Aku makin membulatkan tekad setelah selesai kajian tersebut. Hari ini mungkin saja bisa membuat tidurku tak nyenyak di hari salanjutnya. Hari ini juga mungkin akan menyebabkan hatiku gundah-gulana tak karuan. Entahlah, keputusannya sebentar lagi akan ketahuan. Setelah mengikuti kajian di daerah Bogor tadi, aku langsung memenuhi janji untuk bertemu dengan Abi Arsy ba'da shalat ashar. Aku menyiapkan mental. Berkaca pada cermin berkali-kali, sambil bertanya pada bayanganku yang diam. Sudah pantaskah aku untuk melakukannya? "Aku tidaklah meninggalkan cobaan yang lebih membahayakan bagi laki-laki selain dari (cobaan berupa) wanita.” HR. Bukhari. Aku teringat lagi sebuah hadis yang tadi disampaikan di kajian. Intinya bukanlah pantas atau tidak, tapi siap atau tidak. Rasa-rasanya aku tidak siap untuk membujang dengan maraknya fitnah wanita saat ini. Apalagi Arsy, tidak semua perempuan sepertinya... "Daffa..." panggil suara Bang Nail dari luar setelah ketukan terdengar. Aku segera merapikan rambut, dan melangkah ke luar kamar mandi. Bang Nail bertolak pinggang menungguku, "Ngapain sih di toilet lama-lama? Gak baik lho." "Anu, Bang..." "Yuk, Abi udah nungguin." "Ah, iya, Bang." Bang Nail memanduku, "Santai, relaks. Ikhlas aja, Daff. Kalau jodoh, pasti jadi." "Iya, Bang." Sama seperti sebelumnya. Abi dan Umi di ruang tamu menungguku. Bang Nail ikut duduk, sementara Arsy sudah bisa dipastikan tidak diizinkan ikut percakapan ini. "Maaf, Abi, Umi. Agaknya Daffa terlalu gugup," ucapku memamerkan cengiran sambil menempati kursi yang kosong. "Wajar, Abi dulu juga gitu, Nak. Jadi, sudah dapat jawabannya?" Aku mengangguk. "Bismillah. Kenapa pernikahan harus dibangun atas dasar keimanan? Karena tanpa iman pernikahan itu akan terasa mati. Pernikahan itu sendiri termasuk ujian dari Allah. Karena dalam menjalaninya kita akan terus dituntut menjadi suami yang baik, imam yang baik, ayah yang baik. Begitu pula bagi perempuan, menjadi istri yang baik, makmum yang baik, dan ibu yang baik. Baik dalam hal agama dan juga pendidikan." Aku menarik napas lagi. "Penikahan yang semata-mata karena harta, maka kelak pernikahan itu akan terjual oleh waktu. Padahal pernikahan itu bukan jual beli. Sementara penikahan yang didasari oleh rupa, ibarat membeli rumah tapi hanya terlihat cantik luarnya saja, lama-lama akan lapuk termakan usia. Hakikatnya pernikahan itu adalah upaya saling melengkapi antara dua insan yang tidak sempurna, yang di dalamnya ada basa-basi, diplomasi, dan toleransi. Basa-basi saat kita menginginkan sesuatu, diplomasi di kala kita mengajukan pendapat, dan toleransi saat pasangan kita menginginkan sesuatu. Jadi bila iman sudah menjadi dasar sebuah pernikahan, maka yang menikah akan yakin bahwa Allah telah mengatur sedemikian rupa takdir mereka dengan penuh kebaikan dan keberkahan." Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: Orang yang menikah dengan dilandasi keyakinan dan pengharapan kepada Allah, pasti ditolong dan diberkahi-Nya. HR, Ath-Thabarani. "Kamu mengutip buku?" "Bukan, Abi. Daffa membaca, dan menyimpulkan sendiri. Atas dasar iman kepada Allah, Daffa sepenuh hati yakin untuk meminang putri Abi menjadi pendamping hidup Daffa," kataku dengan rasa gugup yang luar biasa. "Kenapa memilih Arsy, Nak?" tanya Umi bersuara. Bang Nail tersenyum, "Oh, itu karena dulunya Daffa dan Arsy pernah satu TK, Mi." "Benar begitu?" tanya Abi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN