Arsy - 17. Cerita

1221 Kata
Wanita yang baik yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci. HR. An-Nasai. Setelah dari kantor Daffa kami memutuskan untuk berjalan-jalan dulu. Daffa mengendarai mobil menuju salah satu tempat yang tak bisa kutebak tujuannya. Aku juga merasa agak asing dengan jalanan yang dilalui kami. Namun, saat kaki ini melangkah turun dari mobil, aku bisa pastikan kalau kami sedang berada di taman. “Adek suka taman, bukan?” Aku tersenyum lebar dibalik cadar, “Bagaimana Aa bisa tahu?” “Banyak penulis yang menjadikan taman sebagai penyulut idenya. Bahkan kadang, sebagian dari mereka menjadikan taman sebagai kambing hitam dari karyanya. Jadi, Aa menebak mungkin Adek juga suka taman. Ingat pertemuan pertama kita di Perpus? Ah, waktu di taman juga.” Aku makin kagum akan perhatian dan logikanya yang peka. “Aa, Arsy boleh ambil buku catatan dan pulpen?” “Silakan, Dek. Kalau bisa, Aa pesan satu buah karya tulis yang bisa mengabadikan kebahagiaan kita di hari ini. Pertama kalinya Aa berpuasa didampingi oleh kekasih halal Aa.” Daffa terus melancarkan gombalannya, aku tak tahan. Aku pun langsung mengambil buku dan pulpen yang selalu kubawa di tas. Saat memulai langkah Daffa langsung menggandeng tanganku untuk memasuki taman. Bergandengan tangan antara suami istri di jalan umum, pada asalnya tidak masalah, dan tidak ada dosa untuk perbuatan yang mereka lakukan. Tapi tetap kita harus menjaga sopan santun, terlebih banyak remaja dan anak di bawah umur. *** Kami dalam perjalan menuju rumah Abi Umi. Setelah tadi kami sempat mampir ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan. Entahlah, ada sesuatu yang hal membuatku bingung. Aku melirik Daffa, entah seperti apa romantis yang orang lain maksud, tapi bagiku, caranya menatapku saja sudah sangat romantis. Bikin hati luluh gitu. Apalagi bahasan bulan madu yang diajukannya secara tiba-tiba, buat perasaan tak karuan. Aku menunduk. Sudah, tapi juga belum. Ragu dan bingung. "Hm, hari ini kita akan ke rumah Bunda, ya?" Daffa yang sedang menyetir bekernyit, "Tiba-tiba mengalihkan pembicaraan." Aku mengibaskan tangan refleks, "Bukan, Aa...." "Lalu?" "Ih, Aa. Arsy lagi nyiapin hati buat serumah sama mertua. Pasti beda rasanya," jawabku pelan-pelan. Daffa tertawa, lalu menggeleng singkat. "Biasa aja kali, Dek. Bunda suka masak, lho. Jadi, gak sulit dong beradaptasi." "Aa, Arsy gak terlalu bisa masak. Gimana dong? Yaa Allah, pengen nangis rasanya," ucapku refleks yang langsung menyadari kekuranganku. Pikiranku pun langsung menjalar ke mana-mana. "Beneran Adek kurang bisa masak? Hm, gimana ya?" tanya Daffa malah mengolokku. "Ish, Aa. Serius nih, gimana kalo Bunda...." "Ssh. Tenang,” potong Daffa sembari meletakan satu jarinya di depan bibirku. “Kami punya pembantu, Dek. Tapi Bunda memang lebih suka masak sendiri buat keluarga kami. Bunda pasti senang bisa ngajarin menantunya memasak. Selama ini Aa juga sering diajak masak sama Bunda," jelasnya tenang. Aku sungguh menatapnya. Jangan-jangan suamiku ini pintar memasak juga. Yaa Allah, mau taruh di mana muka ini? Sedangkan aku cuma bisa masak yang seadanya aja. "Aa, yang sabar ya nanti..." "Hmm?" Daffa bergumam. "Arsy akan belajar masak kok,” balasku cepat. “Jadi, Aa sabar dulu kalo awal-awal rasa masakan Arsy buruk banget. Maaf, ya, Aa." Aku menunduk lagi. "Sudah, sudah. Insyaallah, Aa bisa bersyukur dengan apa yang Arsy buat untuk Aa. Kan, buatnya pake hati. Jadi, Aa juga menikmatinya juga pake perasaan gitu." Aku tersenyum, "Gombal aja terus, awas kalo nanti protes ya." "Ih, lagi puasa kok marah-marah, nanti batal loh." "Arsy gak marah," kataku bersedekap. Daffa pun menginjak rem mobil saat kami sudah sampai di parkiran rumah. Pagi masih tenang, belum cukup terik menyengat. Aku hanya menyruti keinginan suamiku yang ingin ditemani jalan-jalan pagi selepas subuh tadi. "Alhamdulillah. Ayo, sudah sampai. Mari kita berkemas!" Aku mengangguk dan kami masuk rumah. Umi menyambut kami dengan senyum. Rumah sudah lebih sepi dari biasanya. Bang Nail sudah kembali ke jadwal magang dan Abi sedang bekerja. Kami langsung menuju ke kamar dengan beberapa tentengan kantung plastik yang berisi beberapa keperluan yang sempat kami beli tadi. Tak lupa juga, kami membelikan beberapa barang untuk Umi, Abi, dan Bang Nail. Saat aku sedang membereskan koper, tiba-tiba Daffa duduk di depanku. "Ada apa, Aa?" Dia tersenyum, dan menggenggam tanganku. Rasanya hangat dan nyaman. Aku duduk di sisinya. "Bicaralah, Aa." "Arsy sebelumnya pernah tidur di tempat lain? Menginap maksud Aa?" "Hmm pernah. Di tempat Syfa juga. Kenapa Aa?" jawabku sembari tetap memasukan barang-barang ke dalam koper. "Aa cuma khawatir kamu nggak nyaman," jawabnya. Aku tersenyum. "Aa, Arsy istri Aa. Kan di sana juga ada Aa. Arsy akan baik-baik saja, Aa." "Jadi sudah nyaman nih tidur sama Aa?" Godaannya membuat mukaku langsung berubah merah. "Ih, Aa kok makin gombal sih?" "Iya-iya, maaf Arsy, sayangku." "Dimaafin," jawabku tersenyum manis. Kan, menyenangkan hati suami dapat pahala. "Kalau kita lagi ada masalah, jangan ragu untuk saling bicara ya. Aa harap kita bisa menjadi satu seutuhnya." "Iya,” balasku sembari menutup resleting koper. Kami sudah selesai berkemas. “Yuk, jangan sampe kita ditungguin Ayah sama Bunda." Kami pun berangkat dan berpamitan dengan Umi. "Arsy, baik-baik di sana ya, Nak. Di sana memang keluarga Arsy juga, tapi tetap harus bersikap lebih baik daripada di sini, ya." Nasehat Umi sebelum kami berangkat. "Iya, Umi, Insyaallah. Cuma seminggu kok," balasku riang supaya Umi nggak terlalu khawatir. "Kami juga akan banyak di luar rumah, Umi. Karena tugas baru kami adalah menjadi tour guide Kakek sama Nenek untuk mengenang kembali masa muda beliau di sini," tambah Daffa yakin. Umi tersenyum, "Berasa kayak double-date ya," canda beliau. "Umi bisa aja," balas Daffa. "Kami berangkat ya, salam sama Abang dan Abi." Di perjalanan kali ini aku lebih banyak diam, memikirkan kira-kira akan seperti apa keluarga baruku. Dari yang kudengar, Kakek dan Nenek baru datang dari Singapura, kemarin karena pesawat delay, mereka terlambat datang ke pernikahan kami. Makanya, kami diikat bersama mereka selama seminggu untuk menebus kesalahan yang tidak kami perbuat. Tapi dari yang Bunda katakan, aku yakin sekali itu hanyalah alasan beliau untuk bisa menghabiskan waktu bersama Daffa, cucu mereka yang sudah cukup lama tak bersua. "Yuhu, dipanggil gak dijawab...." Aku menoleh, masih mobil melaju pelan membelah jalanan padat pagi ini. "Em, Aa manggil Arsy?" "Yaa Allah, iya, Dek. Siapa lagi kalo bukan kamu. Kok ngelamun?" Aku menggeleng. "Hm, Aa... suka..." Aku ragu. Percuma saja tahu makanan kesukaannya, kalau aku juga gak bisa masakin. Arsy nyesel Umi. "Suka?" "Aa suka Arsy?" tanyaku aneh. Daffa tertawa melihat dahiku yang mengkerut, "Seratus persen suka Arsy." "Pasti banyak yang suka sama Aa juga kan..." Daffa menatapku aneh. "Ehm. Kok Aa ngerasa kamu cemburu, ya?" Aku diam, melirik kiri dan kanan. Apa aku cemburu? "Mungkin." Daffa tersenyum geli. "Menggemaskan. Susah sekali menahan diri saat puasa gini, ya." "Kan memang itu arti sebenarnya dari puasa, Aa. Yaitu, menahan diri dari hawa nafsu." Daffa menggeleng, "Menahan diri dari yang sudah halal ini lebih sulit." "Ih, Aa, kok gitu sih. Arsy berasa jadi... jadi godaan gitu. Kan Arsy gak ada maksud begitu," jelasku membela diri. "Iya, maaf. Bagi Aa kamu selalu menggemaskan." "Aa, cukup. Kita bahas Kakek dan Nenek saja, daripada menimbulkan kesan aneh gini," elakku untuk mengganti pembicaraan. Lebih baik kita membicarakan Kakek dan Nenek, karena merekalah yang menjadi alasan kuat kami harus tinggal di rumah Daffa. Daffa mengangguk, "Oke. Nenek itu cerewet, dan Kakek juga cerewet." Aku melongo. "Gimana bisa dua-duanya gitu, Aa?" "Itu godaan puasa kita selanjutnya," jelas Daffa dengan senyum penuh arti yang belum bisa kupahami. Astagfirullah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN