Arsy - 18. Cinta

1549 Kata
Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” HR. Ahmad. Kakek dan Nenek sudah tiba selepas asar tadi. Daffa yang menjemputnya di bandara. Aku tidak ikut karena alasan membantu Bunda memasak—lebih tepatnya—belajar memasak untuk buka puasa nanti. Kan, tadi aku bilang, aku ingin belajar masak. Bisa dipastikan aku baru melihat Kakek dan Nenek saat mereka sampai di rumah. Dari awal aku menatapnya, aku sudah mengira bahwa mereka adalah pasangan yang unik. Kakek begitu ceria, dan nenek begitu gembira. Seolah jiwa muda akan selalu terpatri pada tubuh yang kian menua itu. Apa yang aku pikirkan? Sekarang ini sepasang sejoli berusia lanjut yang beberapa saat lalu menatap penuh senyum kepadaku. Dan sekarang aku hanya menunduk diam. Di sisiku, Daffa kulirik sedang tersenyum padahal baru saja diomeli, dan sepertinya masih akan berlanjut. "Iya, Nek. Besok akan kami temani, ke mana saja yang Nenek dan Kakek inginkan," Daffa membujuk. Mereka berdua saling pandang. "Kalian berdua menikah baik-baik saja, kan?" tanya Nenek hati-hati. Astaghfirullah. Begini banget rasanya nikah mendadak, tiba-tiba semuanya jadi berpikiran negatif. Apa mereka menganggap kami menikah karena aku sudah hamil duluan? "Maaf, Cu. Dunia ini sudah semakin tua, dan anak-anak banyak sekali yang ingin segera dewasa. Tapi nggak dibarengi dengan tingkah laku dan pemikiran mereka." Kakek tersenyum meminta maaf. "Kami menikah baik-baik, Nek. Lihat istriku ini, insyaallah dia wanita yang salihah dan Daffa sudah buktikan itu. Daffa meminangnya cepat-cepat supaya nggak didahului orang. Sudah sulit menemukan perempuan seperti mereka di masa seperti ini," jelas Daffa yang membuatku menunduk makin dalam. "Arsy, kamu nggak takut, dikatain kayak teroris gitu?" Pertanyaan santai Nenek langsung dibungkam Kakek dengan tangannya. "Maaf, mulutnya memang agak menyakitkan." "Tapi, Pa. Lihat, selalu, kan? Yang seperti itu...." "Bukan, yang Nenek pikirkan itu hanya bersifat individu, bukan pakaian mereka, juga bukan agama Islam," jelas Kakek terlihat sabar. "Mohon maaf, Kakek dan Nenek. Arsy semata-mata dengan niat menjaga diri dari zina mata para lelaki. Yang Arsy anut adalah agama Islam, yang sesuai dengan ajaran Rasulallah Shalallahu alaihi wasaalam dan kitbullallah." "Hoh. Daffa, istrimu lancang, ya," Nenek terperangah. Daffa syok, aku juga, namun kakek malah tertawa, yang membuat kami bertiga terperanga tak mengerti. "Jangan diambil hati, Arsy. Lihat, istriku lebih lancang daripada kamu. Lagipula, kita diharuskan membela diri dan agama. Kenapa itu harus dikatakan lancang, kalau orang yang berani menghina kita lebih lancang?" Aku nggak bisa komentar apa-apa. Rasanya aneh, merinding juga. Kulihat suamiku malah tersenyum. Beberapa detik berselang tawa Kakek sangat keras terdengar, hingga menggelegar di rumah besar ini. Sementara itu Nenek malah menampilkan wajah sinis. "Bagus, sepertinya aku sangat cocok jadi peran jahat, kan? Ketawa aja terus, Pa." Kakek setengah memeluk bahu Nenek dan menepuk pelan lengannya. "Maaf, Ma. Arsy, kami minta maaf ya, itu tadi sekedar sambutan hangat." Rasanya tuh... Jleb! Gubrakk! Gak ada kata yang keluar dari bibirku, tapi dalam hati aku syok berat. Ini Kakek Nenek jahil banget. "Sabar ya, sayang," ucap Daffa terkikik di sisiku. Aku terperangah. Sungguh mencengangkan, dan sepertinya suamiku berkomplot juga. Aku mencubitnya pelan. "Aa, juga? Astagfirullah!" "Sudah kubilang, ini ujian buat kita," katanya seolah aku yang berubah dari korban jadi tersangka. Aku mengelus d**a, menenangkan diri sendiri. "Ehm. Jadi, besok kita akan ke mana?" tanya Daffa kepada pasangan tua di seberang kami. "TMII," kata Kakek. "Kebun binatang," kata Nenek. Mereka mejawab bersamaan. "Cie, kompak." Daffa menggoda sementara kedua orang tua itu malah saling pandang sengit. Aku yang jadi penonton merasa malu. "Kok ke sana?" Sekali lagi keduanya kompak. Daffa langsung tertawa, aku hanya tersenyum geli. Mereka sungguh pasangan unik. "Kami bisa menemani Kakek dan Nenek ke kedua tempat itu Kek, Nek," kataku memberi jalan keluar. "Oke." Lagi. Keduanya kompak lalu saling buang muka dan saling memunggungi. "Yaa Allah. Ini toh yang rame-rame sampe ke dapur suaranya." Bunda muncul berkacak pinggang dengan celemek pink yang sedikit bernoda. Aku memang meninggalkan Bunda yang tadi sedang memasak. Beliau menyuruhku mengobrol dengan Kakek dan Nenek. Aku langsung berdiri tak enak hati. "Maaf, Bun." Beliau menghampiriku, "Gak apa apa. Bunda paham kok. Pastinya Kakek sama Nenek yang nyeret kamu untuk langsung di-bully." Beliau tersenyum membelai wajahku. "Maaf ya, kamu pasti syok." Lebih dari itu, Bunda. Arsy syok berat. "Sedikit, sih, Bun." "Dek, bohong pas puasa itu bikin nilai puasanya berkurang loh," celetuk Daffa sambil nyengir. Kulihat Kakek dan Nenek mengangguk serempak membelanya. "Arsy gak bohong, Aa. Kan, kadar syok Arsy sama Aa beda," jelasku sekedar berkilah. "Ayah belum pulang, Bun?" tanya Daffa serius. Bunda menggeleng, "Hm, mungkin sebentar lagi. Biasalah, kan macet, Nak." Aku merasa auranya agak berbeda. Tapi memilih diam. Aku ingin ingat baik-baik pesan Umi. "Mungkin dia perlu cuti sesaat untuk menikmati kebersamaan ini. Apa gunanya uang banyak kalau nggak bisa dinikmati? Kan, Ma?" Kakek berbicara pada istrinya. Aku menangkap basah mata Nenek melototi suaminya. Mereka sungguh pasangan yang nggak kaku satu sama lain. Aku kagum. Umi dan Abi, nggak begitu menunjukkan hal ini di depan kami. Mungkin takut anaknya pada baper. "Papa dulu juga begitu, Pa. Itu tuh, anak kita gila kerja kayak Papanya juga. Daffa jangan sampe kayak gitu, sayang. Kasian Arsy-nya." Nenek memperingati. Daffa tersenyum, "Insyaallah, Nek." Ucapan salam terdengar, dan sosok yang sedang dibicarakan mewujud dengan wajah lelah. Ayah Bima. Daffa dan aku menghampiri beliau untuk salaman. "Maaf, Ayah terlambat lagi," kata beliau tersenyum lelah. "Jangan gila kerja," celetuk Nenek saat Ayah menyalami beliau. "Sampai nggak ada waktu buat menyambut orangtua datang." "Maaf, Ma." "Sudah. Istirahat sana," kata Kakek saat menerima tanda penghormatan Ayah kepada beliau. "Hmm." Bunda menghampirinya dan mengambil tas dokumen dari tangan Ayah sambil memamerkan senyum manis. "Ayah mandi dulu, Yah. Udah jam lima, tuh." "Makasih, Bun." Ayah dan Bunda berlalu dengan senyum masuk ke salah satu pintu. "Kek, Nek, kami juga ke kamar dulu, ya." Daffa mengamit tanganku. "Ehm. Kita juga yuk, Ma?" Kakek menggoda. "Pa, mereka itu perlu berdua. Kita di sini aja, berdua juga, dengerin ceramah sambil nunggu beduk." "Kenapa gak mau ke kamar? Kan juga ada TV di sana?" Aku dan Daffa menggeleng, melihat percakapan mereka yang sepertinya akan berlanjut panjang. "Yuk, Aa tunjukkin kamar bujangan Aa." Aku memang sejak datang belum sempat masuk kamar Daffa. Sementara suamiku menjemput Kakek Nenek di Bandara, aku bertugas membantu Bunda masak. Tawaran ini jadi sedikit menambah rasa penasaranku. Aku mengangguk. "Aa, dunia ini singkat, jadi..." "Jadi?" Aku ragu. Langkah pelan kami sekarang terhenti di depan sebuah pintu dan sekali pintu itu menguak, aku hanya bisa menelan ludah. Itu kamar apa apartemen?! Luas luar biasa. Mana rapi pula. "Maaf berantakan. Maklum, kamar bujangan," celotehnya merona. "Aa, biasa beresin sendiri kamar Aa. Aa juga gak terlalu suka orang lain masuk kamar ini." Aku menatapnya. Dia memang keren, rapi, bersih dan untuk tindakan yang tak ingin merepotkan orang lain itu, aku salut. "Aa ternyata jauh sekali dari yang bisa Arsy perkirakan." "Emangnya yang Arsy perkirakan itu gimana?" Aku tak ingin menjawab. "Um, lemarinya mana, Aa?" tanyaku melihat sekeliling yang melompong tanpa lemari baju. Daffa mendekat dan tiba-tiba saja aku hanya beku menatap senyumannya yang memintaku untuk menurut itu. Setelah berhasil menghipnotisku dengan sebaris gigi yang begitu rapi, putih, terawat. Kini dia membawaku ke sebuah pintu. "Di sini." Jelas di depan mataku sebuah ruangan khusus. Bisa dilihat atasan dan baju terpisah tempat dengan celana panjang dan gamis. Aku sungguh seolah melihat istana dalam film-film jadul, sedikit seperti rakyat jelata yang terkagum. "Luas sekali, Aa. Berasa kayak istana ya, kayak ruang rahasia." Daffa mengelus wajahku. "Nggak seluas perasaan Aa untuk kamu." "Aa, tiba-tiba aneh lagi," kataku mengalihkan wajah merahku. Daffa memelukku dari belakang, lalu berisik, "Maafkan yang barusan ya." "Aku suka Kakek dan Nenek, mereka membuat suasana jadi nggak canggung." "Terima kasih, sudah menerimaku sebagi pelengkap agamamu." Ia melepaskan pelukannya, membalikkan badanku, lalu menatap mataku. "Jadi?" Aku bingung, "Jadi? Maksudnya Aa?" Daffa berwajah serius, "Dunia ini singkat, jadi?" Aku menelan liur. Syukurlah, gugup tidak membatalkan puasa. Kan, sayang kalo udah jam lima sore begini batal. "Jadi?" ulang Daffa menatapku lekat-lekat. "Aa kayak penasaran banget, mukanya maksa gitu, Aa." Aku tersenyum geli. Daffa juga tersenyum, wajah serius dan tegangnya musnah. "Yaa Allah, bakalan susah nih ciptain suasana romantis sama kamu." "Emang Aa bermaksud romantis gitu? Aa, yang barusan itu horor bukan romantis." Aku melepas tangannya dari wajahku. "Masa gak bisa bedain sih?" gumamku pelan. "Jadi, karena dunia ini singkat, plis bareng Aa sampe dunia yang kekal menyambut kita." Deg! Terasa ada manis-manisnya gitu. "Kok rasanya kayak romantis ya?" Daffa tertawa. "Kan, Aa gagal deh." Aku suka melihatnya seperti ini, seolah ada energi yang disebut kebahagiaan singgah dalam darahku. Aku ingin dirinya tetap seperti ini, tertawa bersamaku. "Aa, dunia ini singkat, jadi, bersabarlah denganku sesaat. Aku ingin melakukan ibadah bersamamu, dan banyak hal baik. Aku ingin kita berdua, Aa. Bukan seperti Nabi Luth yang istrinya durhaka. Bukan juga seperti Asiyah, yang suaminya penghuni neraka. Cukup sebagai sepasang umat Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang biasa, yang hidup lurus meski banyak...." Daffa memelukku. "Insyaallah. Aamiin." "Aa, belum selesai," keluhku. "Sudah. Aa mengerti." Dan kudengar suaranya berubah isak. Aku membalas pelukannya. "Maaf." Pelukannya sangat emosional, sedikit merengkuhku cukup erat. "Jangan minta maaf, jadilah seperti Aisyah yang nggak akan meminta maaf atas tuduhan yang nggak pernah dilakukannya. Sekali pun Rasulullah tidak memercayai beliau, hingga Allah menurunkan surah untuk membelanya." Allah tidak akan pernah salah, dan tulang rusuk tidak akan tertukar dengan pemiliknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN