Arsy - 12. Nikah

1652 Kata
Termasuk berkahnya seorang wanita, yang mudah khitbahnya (melamarnya), yang mudah maharnya, dan yang mudah memiliki keturunan.” HR. Ahmad. Aku masih belum bisa percaya kalau ini semua akan terjadi begitu cepat. Aku hanya memasrahkan semuanya pada-Nya sambil berharap apa yang terjadi nanti sudah termasuk pilihan terbaik dan yang pasti diridhoi Allah. Hari ini rumah orangtuaku sangat sibuk karena nanti keluarga Daffa akan datang. Abi sudah menerima pinangan Daffa kemarin, beliau mengatakannya pada kami semalam. Aku sempat bertanya kenapa beliau menerima lamaran Daffa begitu saja. Kata beliau seorang lelaki yang lebih mengutamakan ibunya dibanding orang lain adalah lelaki yang patut dijadikan imam. Tapi di balik jawaban itu, sebelumnya Abi juga sudah menilai bagaimana Daffa sejak dari kunjungan pertamanya dulu, juga dari dua pertanyaan yang diberikan beliau pada Daffa kemarin. Selalu nasehat yang Abi katakan, saat datang seorang lelaki untuk melamar maka hal pertama yang harus dinilai adalah agamanya dan sholatnya. Jangan persulit pernikahan dengan mahar yang mahal. Sejatinya pernikahan bukan tentang seberapa besar mahar tapi hakikatnya sebuah pernikahan adalah bagaimana pernikahan itu dijalani setelah diucapkannya kata sah dari penghulu. Apakah aku bahagia saat Daffa akhirnya diterima? Entahlah, aku sendiri bingung dengan perasaanku. Satu yang pasti, aku tidak menyesal akan pinangan dari Daffa. Aku hanya masih takut mengecewakan. Aku masih ragu sanggup tidaknya Arsyila Farzana ini menjadi istri shaliha seperti keinginanku dan harapan Daffa. "Cie calon pengantin," Syfa menyentakku. Aku mengusap d**a karena kebiasaannya yang sering muncul tiba-tiba. "Ih, Syfa. Apaan sih kamu ini." "Aku cuma bilang calon pengantin. Kan, memang benar, Sy." Aku diam, wajahku rasanya panas. Benar. Baru calon, pengantin. Memang kami akan mendiskusikan semuanya hari ini, tapi mana bisa menduga rencana Allah selanjutnya. Apakah sesuai keinginan kami atau kehendak Allah yang lebih baik. Syfa mengibaskan tangan di depan mataku. "Sy, kok kamu di dapur sih. Kan, kamu nggak boleh masuk dapur." "Kata siapa?" "Kata orang dulu, pamali katanya. Wah, ada kue bikang..." ucap Syfa antusias melihat piring yang nantinya akan menjadi jamuan makan untuk tamu. Tanpa basa-basi Syfa mencomot lalu memakannya begitu saja sebelum aku bisa mencegahnya. "Syfa, kok dimakan? Kamu nggak puasa?" tanyaku gelagapan. "Astagfirullah." Syifa langsung meletakkan kuenya di meja. "Aku lupa Sy, gimana dong?" Aku tersenyum menenangkan, "Gak pa pa." Barangsiapa yang lupa sementara dia dalam kondisi puasa, kemudian makan atau minum. Maka hendaknya dia sempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberi makan dan minum kepadanya. HR. Imam Bukhari. "Beneran boleh?" Aku mengangguk. "Asal jangan diterusin. Kalau kita dalam keadaan lupa maka kita bisa melanjutkan puasa dan gak perlu menggantinya. Tapi kalau kita pura-pura lupa... ingatlah, Allah Maha Mengetahui hati setiap hamba-Nya." "Sebenarnya aku nggak lupa, Sy. Karena aku sedang berhalangan. Yang aku lupa itu, kalau kamu sedang berpuasa dan itu gak sopan," jelasnya sambil nyengir. "Tapi terima kasih infonya. Puasa tahun lalu aku sempat mengalaminya." "Dasar Syfa nyebelin. Itu ambil lagi bikangnya, abisin dari pada mubazir." "Kok keluarga Daffa belum datang, Sy?" tanyanya sambil kembali melahap kue bikang. "Rencananya ditunda. Ba'da ashar," kataku beranjak menuju kamar. Syfa seperti biasa membuntutiku dengan pertanyaan bersuara mencicitnya, "Kenapa gak bilang aku? Terus calon mertuamu udah tau?" Aku tersenyum malu mendengar kata calon mertua. "Abi udah nelpon Ayah Daffa." Rencananya acara hari ini akan dimulai setelah zuhur, tapi Umi ingin mengadakan buka bersama dengan keluarga Daffa. Acara pun diundur ba'da asar, sekalian mengundang sanak saudara pihak Umi dan Abi. Syfa segera melepas cadar, duduk di tempat tidurku setelah pintu kamar tertutup. "Apa kamu dan Daffa saling telponan juga?" "Untuk apa?" "Yah, untuk menentukan warna apa gaun kalian. Konsepnya. Sovenirnya. Tamunya..." Aku terhibur dengan gairah yang Syfa tunjukkan akan pernikahanku. "Sepertinya kamu yang ingin menikah, bukan aku." "Ih, Arsy. Serius, nih." "Jawabanya enggak. Bahkan aku gak punya nomornya sama sekali." "Kenapa gitu?" "Karena belum resmi." "Yah..." "Syfa, kami taaruf untuk menjaga diri dan menikah secara syar'i sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Kalau telpon-telponan, apa bedanya dengan yang pacaran?" "Hmm..." gumamnya mengangguk setuju. "Kenapa? Ada yang ajakin Syfa taaruf juga?" "Eh... Enggak kok. Belum," ralatnya dengan senyum manis. "Sy, gimana kabarnya hatimu hari ini. Apakah berdetak dengan cepat?" Syfa kembali kepo. "Maksudnya? Bukannya yang berdetak itu jantung ya, bukan hati?" godaku pura-pura mengusilinya. "Yaa Allah, Arsy. Tahu ah, mending aku siapin bajumu, dan tidur," katanya membuka lemari bajuku dan meletakkan salah satu gamis hitamku di luar lalu setelahnya Syfa menghempaskan tubuh di kasurku. "Eh, kamu di ajak ke sini buat bantuin aku, bukan malah numpang tidur." "Bodo," balasnya tak acuh membalik badan. Aku menggeleng heran, tapi tidak mempermasalahkan tindakannya. Lagi pula dia sahabatku, yang selalu hadir dengan semua kehebohannya. "Sy, berarti nanti kamu akan buka cadar dong di depan Daffa?" tanyanya muncul lagi. "Iya, nanti didampingi sama Umi, Abang dan Bunda Daffa. Kita berlima saja." "Aku?" tanyanya dengan mata berharap. Aku tersenyum berhasil menggodanya. "Iya, berenam sama kamu." "Yeay." "Bagaimanapun juga Daffa yang ingin mengkhitbahku. Jadi, Daffa berhak dan diperbolehkan melihat wajahku bila itu diperlukan untuk menyakin dia." Jika salah seorang dari kalian meminang seorang wanita, maka apabila dia bisa melihatnya hingga memiliki hasrat untuk menikahinya, maka hendaknya dia melakukannya. HR. Abu Daud. "Terus kalau Daffa terfitnah setelah liat wajahmu, gimana?" "Insyaallah enggak, Fa. Ini kan memang prosesnya. Sesuai anjuran Rasulullah. Makanya hanya boleh nadzor ketika niatan menikah sudah bulat." "Maa sya Allah. Sebegitu luar biasanya Allah memberikan peraturan pada setiap hambanya untuk melindungi hambanya dari segala dosa." "Iya, Fa. Alhamdulillah." "Ehm, jadi kamu sudah yakin dengan Daffa?" "Aku belum sepenuhnya yakin. Tapi bismillah aja. Lucu juga, laki-laki yang di awal pertemuan kami membuatku banyak beristighfar, ternyata hari ini akan datang melamarku. Rasanya kayak mimpi. Gak ada yang tau datangnya jodoh, Fa. Siapa dia dan dari mana dia datang. Kalau sudah Allah takdirkan, maka akan terjadi juga." "So sweet. Semoga dia jodoh kamu, Sy. Aamiin." "Aamiin." Daffa dan keluarganya datang sebelum azan ashar dikumandangkan, dan saat azan berkumandang para laki-laki langsung menuju masjid untuk melaksanakan salat berjamaah. Kursi-kursi dan barang yang biasanya di ruang tamu dipindahkan semua, diganti dengan tikar untuk duduk. Para wanita bercengkrama beralaskan tikar selagi menunggu para laki-laki kembali. Aku duduk di antara Bunda Daffa dan juga Umi, Syifa duduk di sebelah Umi. "Cantiknya calon menantu Bunda ini. Gak salah Daffa memilihmu, Nak. Mbak, kalau bisa pernikahannya dipercepat aja. Masalah resepsi habis lebaran juga gak apa-apa, yang penting sah dulu," Bunda Daffa berbicara kepada Umi. "Insyaallah, Mbak. Bagaimana suami-suami kita saja," balas Umi dengan senyum juga. "Kamu setuju kan, Nak?" tanya beliau mengamitku. "Insyaallah, Bun." Aku nggak tahu harus bicara apa. Lamaran ini saja sudah mendadak, bagaimana lagi kalau tiba-tiba pernikahan dipercepat. Jangan-jangan nikahnya besok. "Arsy, nanti kalau sudah menikah jangan lupa, Nak. Bagi seorang istri, suami yang lebih utama, bukan lagi orangtuamu. Tapi bagi laki-laki, yang lebih utama tetap ibunya. Jadi kelak, seandainya Daffa lebih mengutamakan keperluan ibunya kamu jangan merasa diabaikan ya, Nak.” Nasehat Tante Humaira, adik Abi yang juga hadir hari ini. Aisyah Radhiyallahu Anhuma pernah bertanya kepada Rasulullah. Hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri? Rasulullah menjawab: (Hak) suaminya. Lalu, Aisyah kembali bertanya, sedangkan bagi suami hak siapakah yang lebih utama? Beliau menjawab: (Hak) ibunya. "Insyaallah, Tante..." Akhirnya acara yang ditunggu-tunggu akan segera dimulai. Cadar kembali menutupi wajah kami. Para laki-laki yang tadi shalat berjamaah kembali dan sudah duduk tenang. Setelah selesai beramah-tamah, perwakilan dari keluarga Daffa mengucapkan salam perkenalan dan menyampaikan maksud kedatangan dan dibalas oleh perwakilan dari keluaga kami, yaitu Oom Adnan, kakak Abi. Sementara para laki-laki mengobrol, aku diajak Umi dan juga Bunda Daffa untuk ke ruang perpustakaan, tak lupa kutarik Syfa untuk ikut bergabung. Daffa dan Bang Nail sebagai pendamping menyusul. Saat kaki Daffa masuk ruangan, jantungku begitu cepat berdetak, gugup sekali rasanya. Daffa juga tampaknya sangat canggung, melihat ragu kepada Umi, Bunda dan Bang Nail beberapa kali. "Arsy, bolehkan aku melihat wajahmu?" Daffa membuka suara, meminta izin dengan lirih. Aku lebih dulu melihat bergantian pendampingku. Semuanya mengangguk setuju, terlebih Syfa yang anggukannya paling bersemangat. Kehadiran sahabatku tersebut membuat suasana jadi sedikit santai. "Bismillaah...." Aku menarik uluran kain yang semula menutup wajahku ke atas, sampai benar-benar memperlihatkan wajahku kepadanya. Namun kepalaku tetap menunduk karena malu. Rasanya begitu risih membiarkan Daffa melihat wajahku yang hampir dua tahun ini aku tutup dengan niqab kecuali ketika di rumah atau kajian khusus akhwat. "Sudah cukup Arsy. Terima kasih. Alhamdulillah," ucapnya sambil tersenyum-senyum malu kepada Bunda. Aku kembali memakai cadarku seraya menyembunyikan rona malu di sana dari mata yang memandang. "Alhamdulillah," ucap serempak mereka. Daffa dan Bang Nail keluar untuk bergabung melanjutkan acara karena sebentar lagi azan magrib. Kami segera ke dapur, menyiapkan bekal berbuka untuk para lelaki agar dibawa ke masjid. Kami para perempuan tetap di rumah. Sebagian mengobrol karena sedang berhalangan, sedangkan sebagiannya lagi berjamaah dimushola. Termasuk aku, Umi dan Bunda. Acara kembali dilanjutkan setelah shalat magrib, sampai makan malam sebagai penutup. "Nak Arsy, ini ada sebuah cincin. Bunda ingin pasangkan pada jari manismu. Bukan sebagai pengikat ya, karena ikatan yang sebenarnya nanti, ijab kabul. Ini hanya sebuah hadiah." Bunda Daffa mengambil kotak cincin dan mengeluarkan cincin yang sangat cantik lalu beliau memasangkan padaku. "Terimakasih, Bunda." "Sama-sama," kata beliau mencium keningku. Umi juga ikut memelukku dan mencium kedua pipiku. "Terimakasih, Umi," ucapku haru tanpa kuasa menahan jatuhnya bulir air mata. Acara sudah selesai. Kami melepas kepergian keluarga Daffa di teras rumah. Hasilnya pernikahan kami akan diselenggarakan minggu depan. Benar-benar lebih cepat dari yang kuperkirakan. Di bulan Ramadhan ini, aku akan menjadi seorang istri dari Daffa. Tiba-tiba kurasakan tubuh seseorang menubruk, memelukku. Aku tersenyum membalas pelukan Syfa, sahabatku. "Selamat, Arsy," katanya teredam seperti menangis. "Makasih, ya, Fa. Udah banyak bantuin aku." "Kita tetap sahabat, kan?" tanyanya bernada cemberut dengan mata basah. "Insyaallah, kita tetap sahabat sampai sama-sama jadi penghuni surga." Jika sesuatu yang memang sudah menjadi garis takdir, maka secerdik apa pun cara menolaknya, tetap tak akan berhasil. Termasuk persoalan waktu yang begitu cepat, dan persoalan takdir yang sudah begitu tertata rapi dari-Nya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN