Arsy - 13. Persiapan

1603 Kata
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” QS. Al Imran: 14. Tiba-tiba dilamar oleh orang asing yang kuanggap menyebalkan kini menjadi salah satu sejarah dalam hidupku. Aku sama sekali tak pernah membayangkannya, bahkan untuk menikah diusia semuda ini. Tapi semua ini bukan mimpi, nyatanya sekarang aku sudah resmi dikhitbah olehnya. Oleh seorang laki-laki yang baru aku temui seminggu yang lalu, yang sekarang sudah berubah status menjadi calon imamku. Aku masih menatap pantulan diriku di cermin kamar. Daffa, lelaki itu sudah melihat wajahku. Sebelum bercadar aku sudah menghapus semua fotoku di sosmed bahkan aku menghapus akun f*******:-ku juga. Dan sekarang setelah dua tahun biasa bercadar, aku kembali membuka cadarku di depan seorang lelaki yang akan jadi imamku. Kenangan itu, bisa kulihat pantulan rona merah pipiku yang dihadirkan cermin kini. Aku menutupnya karena malu, tapi malah terangkat sesuatu yang berbeda dari jemariku. Cahaya dari permatanya, cincin indah yang Bunda berikan. Aku teringat pertama kali bertemu Bunda, dan saat dulu pertama memutuskan bercadar. Aku bersyukur beliau mendukung cadarku. Dulu, banyak sekali pertanyaan bahkan hujatan yang dilayangkan padaku. Orang-orang mempertanyakan tentang hadis mana yang mengharuskan perempuan bercadar dan alasanku mengenakannya. Aku hanya menjawab dengan apa adanya, bahwa aku ingin lebih menjaga diriku. Ada yang percaya, tapi lebih banyak yang berbicara dibelakang tentang pendapat mereka. Spekulasi mereka tidak jauh-jauh dari prasangka bahwa wajahku rusak. Sok alim. Sok suci. Yang paling parah adalah tuduhan ikut aliran sesat dan radikal. Entah dari mana mereka bisa berpikir seperti itu. Padahal kenal dekatpun tidak. Banyak yang mentolerir bertato itu tak semuanya jahat, yang tidak berhijab itu tak semuanya nakal. Anehnya tidak berlaku demikian untuk urusan cadar. Masalahnya mungkin karena segelintir orang yang tak bertanggung jawab tapi yang disalahkan selalu islam dan cadarnya. "Dek, kamu ada di dalam?" Terdengar suara Bang Nail menyadarkanku dari balik pintu kamar dan kenangan masa lalu. "Iya, Bang, masuk aja." Aku kembali menyisir rambutku yang masih setengah basah. "Lagi ngapain, Dek?" tanyanya sudah duduk di tempat tidurku sementara pintu kamar dibiarkan terbuka lebar. Aku mengcungkan sisir sambil berbalik menghadapnya. "Habis mandi. Ada apa, Bang?" "Mandi malam-malam begini, gak baik lho, Dek." Aku memamerkan cengiran, "Gerah sih. Sekali-kali boleh kok, Bang." Bang Nail menghela napas, "Huft. Abang nggak menyangka bakalan kalah telak dari Daffa. Dia dengan gagah beraninya menghalalkan kamu. Sedangkan Abang? Belum mampu untuk menghadapi calon mertua, bahkan mengatakan pada Abi untuk melamar seorang gadis saja rasanya belum sanggup." Aku tersenyum. Aku pun pernah ditanyakan dan terpikir hal serupa. Siapa yang akan dan mau melamar wanita bercadar. "Bang, semua sudah diatur sama Allah. Insyaallah, mungkin keberanian Daffa dapat memotivasi Abang kalau nanti sudah ketemu yang cocok." "Aamiin. Insyaallah. Apa kamu bahagia, Dek?" "Insyaallah, Arsy ikhlas. Semoga keikhlasan ini akan membawa kebahagiaan buat Arsy, Bang. " "Aamiin. Tadi salat magrib Daffa yang jadi imamnya, lho." Aku sedikit menunjukkan minat, "Iya, Bang?" "Iya. Ustadz Alif tadi yang minta dia untuk jadi imam. Maa syaa Allah, suaranya luar biasa. Mungkin dia memang berpenampilan anak modern, tapi sepertinya keluarga mereka tetap menanamkan nilai agama juga." "Mungkin dia seperti Abang dulu. Abang dulu juga gitu, sebelum hijrah. Ngaji suka, pacaran juga jalan," timpalku teringat masa sebelumnya. "Idih, kayak kamu nggak pernah aja. Siapa ya, yang dulu suka diantar pulang tapi cuma sampai depan kompleks?" balasnya sepenuh hati. Aku sedikit terpojok. "Ih, Abang...." "Subhanallah," ucapnya tersenyum seperti menyesali kesalahan dulu. "Kita kalah dari Daffa. Daffa aja sampai sekarang nggak pernah pacaran loh, Dek." "Iyakah?" remehku ragu. "Serius." "Hah? Yang bener, Bang? Nggak mungkin. Secara penampilan dia seperti anak modern banget gitu. Pasti...." "Jangan menilai orang dari penampilannya," ingat Bang Nail datar. Aku terdiam. Benar. Aku pernah mengalaminya sendiri. Perempuan bercadar dipandang sebelah mata. Sedangkan yang mengumbar aurat dipuji-puji. Pernah aku menangis sejadi-jadinya saat itu. Meski sudah terbiasa dengan hijab lebar, tapi saat aku memakai cadar, aku seolah jadi pribadi yang baru, berbeda dan terkucilkan. Padahal perempuan yang mengenakan cadar secara tidak langsung menjaga pandangan laki-laki dari wajah-wajah yang ingin setan hiasi, membantu kaum Adam menundukkan pandangan agar tidak terjerumus nafsu. Wanita adalah aurat. Jika ia keluar, setan memperindahnya. HR. At Tirmidzi. "Nangis? Pasti ingat keluhan kamu dulu waktu awal pake cadar, kan," tebaknya sudah berada di dekatku. Aku mengerjap. "Iya sih, tapi Arsy gak bakalan nangis karena itu lagi kok. Terus apalagi yang Abang tahu tentang dia?" "Itu aja." Aku sedikit merengut. "Kirain mau ngomong apa." "Oh ya, hampir Abang lupa. Besok Abang akan antar kamu ke rumah sakit, terus ke kantor desa dan lain-lain buat ngurus persyaratan nikah kamu. Hadeh, mau nikah aja ribet banget ya, padahal cukup ijab kabul doang." "Ngeluh," ucapku mengingatkan. "Ikhlas, Bang..." "Ikhlas sih, tapi Abang ikutan ribet. Rencana magang Abang diundur juga. Umi dan Abi bilang acara ini hanya ijab dulu, resepsinya nyusul habis lebaran. Dua kali acara. Gimana nanti saat resepsi ya? Sekarang untuk ijab aja udah ribet. Ternyata gini rasanya jadi humas pernikahan," celotehnya tanpa jeda. "Itu tuh tandanya gak ikhlas, Bang," kataku memasang wajah cemberut. "Eh, bukan gitu juga, Dek. Abang cuma shock, ternyata nikah itu gak mudah. Udah ah, Abang mau tidur biar nggak telat sahur. Yang nikah kamu, yang malah kepikiran Abang." Aku tersenyum, sedikit menertawainya. "Makasih Bang Nail, udah bantuin Arsy." “Sok imut," cibirnya mencubit pipiku. "Jadilah istri yang patuh sama suami, biar bantuan Abang gak sia-sia." "Siap! Insyaallah." *** Meski sudah resmi dikhitbah bukan berarti aku dan Daffa boleh pergi berduaan tanpa pendamping. Maka lagi-lagi kami menyeret Bang Nail dan Syfa ke butik langganan Bunda, dengan tujuan mencari gaun untuk acara Ijab kabul. Aku melihat gaun bersama Syfa. Daffa bersama Bang Nail untuk melihat baju koko yang akan dipakainya nanti. Di ruang ini sudah ada beberapa gaun yang diminati Bunda dan sengaja dipersiapkan untukku. Gaun-gaun putih yang sangat indah dengan manik-manik yang tidak terlalu ramai. Ada beberapa model, ada yang di bagian dadanya semacam tambahan kain menutupi hingga perut. Ada yang modelnya seperti cardigan, dan pilihan lain-lain. Tapi kesemuannya bagus dan tidak terlihat membentuk lekuk tubuh. Kalau pendapatku pribadi gamis simpel lebih nyaman, tapi Bunda kepalang antusias menyiapkan ini dan aku pun tak ingin mengecewakan beliau. "Kamu pilih yang mana?" tanya Daffa kepadaku. "Terserah Daffa saja." "Kok terserah aku, kan yang menikah kita." "Semua bagus. Arsy bingung," jawabku jujur. "Ehm! Kita bukan manekin loh," tegur Bang Nail dengan ekspresi jahilnya. "Menurut Abang bagus yang mana?" ucap Daffa dengan senyum malu-malunya. "Dasar nggak peka. Mentang-mentang mau nikah." Bang Nail merangkul Daffa dan menjitaknya pelan. "Sadis banget sih, Bang." Daffa menggosok pelan bekas jemari Bang Nail di kepalanya. "Ini mau nyari pakaian pengantin apa mau berantem sih?" celetuk Syfa yang dari tadi diam. Entah apa yang membuatnya agak pendiam hari ini. Syfa juga menyela dengan wajah masam, padahal kemarin-kemarin dia terus menggodaku. "Dek, kamu mau yang mana?" tanya Bang Nail. "Yang pertama aja, ya. Ini bagus." Aku menunjuk salah satu gaun yang terlihat paling sederhana, paling tertutup, lebih lebar dan tetap elegan ketika dikenakan. "Dicoba dulu, ukhti. Kalau pas bisa langsung dibawa, kalau kebesaran biar dipermak dulu baru diambil," kata pegawai butiknya. "Daffa setuju?" tanyaku sedikit ragu. "Apapun pilihan kamu, aku setuju," ucapnya seraya melihat jas pilihanku untuknya, yang juga sepasang dengan gaun pengantinku. "Aku akan coba dulu. Arsy juga coba dulu." Aku mengangguk segera melakukannya. Karena aku pun tidak sabar untuk melihat tubuhku terbungkus gaun pengantin. Alhasil, aku takjub. Kupikir akan biasa saja, akan sama saja gaun dan gamis tapi ternyata aku hanyalah perempuan biasa. Yang bagaimanapun silau akan kecantikan, keindahan dan kilauan. Syfa mengintip, "Maa syaa Allah! Daffa pasti langsung klepek-klepek. Aku panggilin ya?" "Eh, tunggu!" "Kenapa?" "Sudahlah. Aku gak mau mengundang pikiran macam-macam. Biar nanti saat akad saja," jelasku sambil cepat-cepat berganti gamis. "Hmm." Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan Allah telah mempercayakan kalian untuk mengurusinya, Sehingga Allah melihat apa yang kalian perbuatan (disana). Maka berhati-hatilah kalian dari fitnah (cobaan) dunia dan takutlah kalian terhadap fitnah (cobaan) wanita. Karena sesungguhnya fitnah (cobaan) pertama pada Bani Isra’il adalah cobaan wanita. HR. Muslim. Selesai mencoba gaun yang ukurannya pas tanpa perlu dipermak, kami pergi ke tempat lain untuk memilih desain undangan. Bunda sebenarnya memakai jasa WO, tapi undangan acara akad kita cari sendiri karena hanya terbatas teman dekat dan keluarga saja yang diundang. Untuk acara resepsi baru kita akan pakai jasa WO yang diusulkan Bunda. Benar kata Bang Nail, belum apa-apa udah sangat capek duluan. Aku akhirnya menemukan desain undangan yang unik. Sebuah undangan yang terikat dengan pita dengan pinggiran yang berbentuk ukiran simpel tapi jelas. "Bagaimana kalau yang ini? Sepertinya bagus, simpel tapi indah." "Bagus. Kita pake ini saja," jawab Daffa setuju. "Menurut Syfa, gimana?" Syfa menelaah sesaat. "Bagus kok. Aku jadi penasaran gimana reaksi anak kampus saat tahu kalian nikah. Apalagi Kak Wulan dan Kak Mella, yang nggak kita kasih tahu sama sekali." "Apa pun reaksi mereka, nggak akan berpengaruh. Asal Allah sudah merestui. Ya, nggak?" Dimintai pendapat begitu oleh Daffa rasanya memalukan. Aku hanya bisa mengangguk. "Cie, salting. Jadi pingin nikah muda. Ya, Fa?" seloroh Bang Nail menggoda kami. "Iya nih, Bang," jawab Syfa spontan. "Semoga kalian cepet nyusul," doa Daffa. "Aamiin." "Ini, fix ya?" Aku mengangguk. "Undangan di sini kalau hanya 100 pcs, seharian bisa langsung jadi. Lusa kita bisa langsung sebar undangannya," jelas Daffa sambil mendahului kami menuju kasir. Akhirnya persiapan hari ini selesai dan berjalan dengan baik. Karena hampir beduk kami langsung mencari tempat untuk berbuka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN