Daffa - 11. Nikmat

1098 Kata
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan? QS. Ar-Rahman. Aku mengatakan apa yang sebelumnya sudah kurenungkan secara matang. Aku sudah ikhlas dengan apa yang akan diputuskan Abi, apalagi kini rahasiaku sudah dibongkar Bang Nail. Aib yang sedikit membuat harapanku pupus. "Abang tau dari mana?" tanya Umi karena melihatku diam. "Daffa cerita. Arsy juga punya cerita yang sama. Udah Abang pastiin, Mi." Aku menunduk kepada telapak-telapak tanganku yang terasa dingin. "Iya, awalnya begitu. Tapi setelah mendapatkan jawaban ini, Daffa lebih yakin lagi untuk meminang Arsy. Daffa ragu bisa membangun pondasi pernikahan yang kuat kalau memilih calon yang salah. Daffa yakin Arsy bisa jadi partner terbaik bagi Daffa. Jujur, Daffa memang bukan pemuda yang baik agamanya, tapi Daffa mau belajar dan memantaskan diri, Abi. Mungkin bagi Abi, Daffa bukan orang yang tepat untuk menjadi pendamping Arsy. Daffa sadar Abi, bahwa ilmu yang Daffa miliki tidak sebanding dengan kekayaan agama Arsy yang diajarkan keluarga Abi. Tapi Daffa nggak mau nyerah sebelum mencoba." "Maa syaa Allah," kata Bang Nail tersenyum kepadaku. "Semangat, Daff." "Makasih, Bang," balasku segera. Abi mengangguk. "Jadi, kamu gak masalah kalau Arsy ternyata gak sesuai harapanmu?" "Iya, Nak. Arsy belum pandai masak," tambah Umi cepat. "Pondasi pertama Daffa adalah keimanan. Daffa sudah sangat yakin Arsy lebih baik daripada sekedar penilaian bisa memasak. Dari caranya menolak laki-laki dan menutup aurat, Arsy sudah sesuai harapan Daffa." Aku mengambil nafas sejenak sebelum melanjutkan. "Daffa berharap tidak serta merta memimpin, tapi juga Daffa ingin diingatkan dengan jelas saat cara memimpin Daffa salah." Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." QS. At-Tahrim : 6. "Sama halnya dengan Abi. Tentu akan sulit mendidik Arsy dan Bang Nail hingga jadi sosok shalih/shaliha seperti sekarang tanpa bantuan Umi," tambahku yakin. Ruang tamu tiba-tiba terasa sepi senyap. Umi dan Bang Nail diam. Abi juga tidak mengatakan apa-apa sebagai jawaban, malah beliau bangkit dari duduknya. "Bi..." panggil Umi heran. Abi tersenyum lelah. "Daffa, ikut Abi sebentar." Aku ragu, tapi tetap ikut berdiri. Kami meninggalkan Bang Nail dan Umi di ruang tamu. Meski dengan perasaan kacau aku tetap mengikutinya. Langkahku berat, sama hal dengan pelannya langkah Abi. Kami sampai di depan sebuah pintu, dan saat selembar kayu didepan menguak, aku bisa pastikan Abi mengajakku masuk ke dalam perpustakaan mini di rumah ini. Aku kembali fokus pada wali Arsy. "Abi, meski jika nanti Abi menolak Daffa sebagai menantu, bolehkah Daffa tetap menganggap keluarga ini sebagai keluarga Daffa sendiri? Daffa ingin banyak belajar dari Abi dan Bang Nail." "Tentu saja, Nak," kata Abi terbuka. "Alhamdulillah. Apapun keputusan Abi, Daffa siap menerimanya." Beliau menghela napas, "Sebenarnya beberapa hari yang lalu, teman Abi menawarkan anaknya yang baru lulus dari Universitas Kairo untuk Arsy." Jantungku rasanya akan lepas. Kakiku seketika lemas. Ini kabar yang belum pernah kudengar dan terpikirkan. "Maa syaa Allah. Allah hanya akan memasangkan hamba dengab yang sesuai." "Abi pikir kalau Arsy menikah dengannya, kamu mungkin gak akan datang lagi. Dan, Abi menyayangkan kedekatanmu dengan Bang Nail." Aku tertunduk. Aku sudah gagal. Mungkin benar. "Insyaallah Daffa akan tetap berteman dekat dengan Bang Nail, Bi. Hanya saja Daffa mungkin jarang berkunjung kalau Arsy masih tinggal di sini. Daffa berharap Abi dan keluarga ini masih bersedia membukakan pintu untuk Daffa belajar dan bersilaturrahmi di sini." "Kamu ikhlas?" tanya beliau ragu. Aku coba tersenyum, "Sesungguhnya ikhlas itu sulit. Lisan berkata ikhlas tapi sejujurnya hati dan ego mengatakan ketidak-relaannya. Setidaknya Daffa mendapatkan hidayah dari proses ini, Bi. Maa syaa Allah." Abi tersenyum menepuk pundakku. "Daffa, Abi punya satu lagi pertanyaan. Pertanyaan ini harus kamu jawab saat ini juga." "Insyallah, Abi." Aku gugup menunggu kalimat beliau. Meski sudah tau ujungnya, tapi tetap saja ini pertanyaan yang harus kujawab dengan resiko masa depan. Aku sudah mantap mempelajari islam dari keluarga ini, jangan sampai satu hari ini membuatku kehilangan banyak. Kehilangan calon istri sudah cukup. Aku tak ingin kehilangan panutan seperti Abi, dan sahabat seperti Bang Nail. "Di saat salah satu diantara istri dan ibumu meminta pertolonganmu, dan hanya satu yang kamu harus tolong. Siapa yang akan kamu pilih, Daffa?" "Bunda," jawabku tanpa berpikir dua kali. "Secinta apa pun Daffa terhadap perempuan yang jadi istri Daffa nanti. Daffa ingin dan akan periotaskan Bunda terlebih dahulu," ucapku mantap. "Bagaimana kalau Arsy yang jadi istrimu?" "Arsy?" ulangku ragu. "Iya, putri Abi. Bagaimana?" "Maaf, Abi. Siapapun itu, Arsy atau perempuan mana pun, Daffa tetap akan mendahulukan Bunda. Daffa sadar Arsy berharga, putri kesayangan Abi. Tapi bagi Daffa, Bunda tetap nomor satu." Abi menatapku ragu. "Kamu yakin?" Aku menghela napas, siap ditolak dua kali. Barangkali aku memang belum pantas menyunting bidadari. Dan Abi sudah cukup sabar dengan kalimat tidak sopanku. Aku mengangguk mantap. "Yang Daffa tahu, surga seorang laki-laki baik sebagai anak ataupun suami tetaplah pada ridho ibunya, bukan istrinya. Bahkan dijelaskan dalam hadis, kedudukan seorang ibu itu tiga kali dibanding ayah. Penting beristrikan wanita salihah, tapi lebihlah utama menjadi anak yang salih. Daffa mungkin bukan termasuk anak ataupun lelaki salih, tapi Daffa sangat menyayangi Bunda. Bunda adalah wanita pertama yang mencintai dan dicintai Daffa, Abi." "Abi minta maaf," kata Abi dengan raut wajah yang sangat berat. Aku menggeleng, "Jangan, Abi. Daffa pun, jika menjadi ayah tentu ingin memastikan seperti apa pendamping yang bisa dipercaya untuk putri yang Daffa rawat sejak kecil." "Terima kasih, Nak," Abi tersenyum paham. "Abi, boleh Daffa tetap datang? Untuk belajar, hanya sesekali," pintaku sangat ragu. Abi tersenyum, "Tentu. Tapi untuk besok, Daffa datanglah beserta orangtuamu, ba'dha zuhur." "Maksud Abi?" "Insyaallah Arsy akan mendukungmu berbakti kepada Bunda dan jadi patner terbaik untuk membangun rumah tangga yang hakiki." "Maa syaa Allah..." Abi tersenyum lembut, "Kamu meneteskan air mata lagi." Aku menyeka sudut mata, "Maaf, Abi. Daffa hanya begitu bersyukur. Sampai rasanya kelu untuk berkata." "Nanti, setelah menikah, ingatlah untuk menangis sebelum membuat putri Abi menangis." "Insyaallah Daffa tidak akan menyakiti atau membiarkan Arsy menangis." Abi tersenyum lebar. "Ayo kita kembali ke ruang tamu. Umi dan Arsy mungkin sudah menyiapkan meja untuk berbuka." Rasanya berat untuk dikatakan, tapi tetap harus kutolak tawaran Abi kali ini. "Maaf, Abi. Daffa sudah janji sama Bunda akan menemani beliau berbuka sore ini. Sekali lagi maaf, Abi." "Begitu..." Abi mengangguk. "Tentang tawaran teman Abi yang anaknya dari Universitas Kairo tadi, tolong kamu rahasiakan, ya." "Siap, Abi." "Sekali lagi terimakasih, Nak." "Harusnya Daffa yang berterimakasih, Bi. Sekali lagi maaf, Bi. Karena gak menuhin ajakan Abi buat buka bersama sore ini..." "Iya, Abi paham." "Tapi... Daffa tetap diterima sebagai calon mantu Abi, kan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN