Arsy - 4. Takdir

1244 Kata
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). QS. Al An’am:59 Pagi ini, aku sedang duduk di salah satu tempat favoritku di kampus. Sengaja aku memilih salah satu bangku taman kampus, mengobrol santai dengan beberapa teman dekatku Kak Mella, Kak Wulan, dan Syfa. Awalnya, kami sedang menceritakan hari-hari di kampus kami. Namun, akhirnya, Kak Mella mengganti topik pembicaraan. “Jadi, Arsy, apakah kamu sudah siapkan materi untuk acara kita?” tanya Kak Mella. “Sudah dong, malah semalam Arsy dapat tambahan materi dari Umi. Jadi Arsy mau pakai judul ini kalau kalian semua sudah setuju,” kataku menyodorkan print-out materi yang sudah kurangkum. “Apa itu?” tanya Syfa. “Pacaran halal, ya seputar itulah,” jawabku cepat. “Arsy gimana, sih? Kan, pacaran itu mendekati zina? Kok malah ada sebutan pacaran halal?” protes Kak Wulan. “Pacaran habis nikah itu halal lho, Kak,” jawabku yakin. Aku melihat ketiga temanku ini masih mencerna maksud dari perkataanku. Aku tersenyum di balik cadarku melihat mereka yang tampaknya makin bingung. “Maksud kamu... berarti nikah muda dong? Kan, ranah dakwah kita kali ini anak SMA?” “He-eh, itu maksudku. Ya kan, biar mereka berpikir dua kali buat ngajak pacaran atau terima ajakan untuk berpacaran gitu.” “Bagus banget. Mereka akan tertarik dengan judulnya semoga mereka juga bisa suka dengan isi materinya. Nah, karena sasaran kita anak muda, tinggal kita cari konsepnya yang membuat mereka jadi makin tertarik bahkan sebelum materinya disampaikan!” usul Syfa sehati. Aku mengangguk, begitu pun dengan kedua kakak yang lain. Saat kami sedang asyik membahas konsepnya, ada yang mengintrupsi pembicaraan kami, dan lagi-lagi, aku melihat Daffa berdiri di depan kami. “Assalamu’alaikum," sapa Daffa ramah. Tumben. “Wa’alaikumussalam,” jawab kami serempak. “Ada apa, ya?” tanya Kak Wulan mewakili rasa penasaran kami. “Bisakah saya meminjam Arsy sebentar?” Aku mendongak melihat Daffa. Apa maksudnya dengan kata meminjam? Memangnya aku barang, bisa dipinjam?! “Maaf, kita bukan mahram tidak boleh berduaan tanpa pendamping,” tolakku sopan. “Kita hanya berbicara di sana,” tunjuknya pada kursi yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari tempat kami sekarang. “Aku mau, tapi ditemani Syfa.” Syfa melihatku dengan wajah bingung, mungkin dia sedang berpikir kenapa aku melibatkannya dalam masalahku. Tapi aku tidak suka terlibat dengan Daffa ini, firasatku selalu berakhir negatif tentangnya. “Baiklah, kalau begitu aku bicara di sini saja,” putusnya mengalah. “Silakan,” kataku sopan. “Arsy, aku suka kamu,” ucap Daffa tiba-tiba. Aku dan ketiga temanku bengong dengan apa yang barusan Daffa katakan. Aku menimbang kemungkinan salah pada pendengaranku, tapi Daffa tersenyum meyakinkan bahwa yang dikatakannya memang seperti yang telingaku dengar. “Terimakasih,” kataku setelah mampu mengendalikan keterkejutanku, berbeda dengan ketiga temanku ini yang sepertinya masih terkaget-kaget. “Arsy, maukah kamu menjadi kekasih halalku?” tanyanya lagi. “Aku tahu aku bukanlah lelaki dengan ilmu agama yang bagus, bukanlah seorang yang tidak punya banyak dosa, bukan pula lelaki yang jauh dari nafsu, tapi karena aku menghormatimu dan menganggapmu sebagai calon ibu yang baik untuk calon anak-anakku, maka aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu lagi untuk memintamu jadi kekasih halalku. Maukah kamu menungguku, untuk memantaskan diri bersanding denganmu?” Daffa ini aneh. Aku tidak mengenalnya, bagaimana mungkin dia melamar seseorang semudah ini? Apalagi dia melamarku, tapi bukan kepada orang tuaku. Bagaimana aku bisa percaya padanya. “Apa yang membuatmu yakin aku begitu pantas untuk menjadi ibu yang baik?” Aku penasaran. Sungguh. Aku punya Umi yang baik, tapi belum sepenuhnya yakin diriku bisa seperti itu. Bagaimana dia bisa berasumsi aku mampu, padahal aku sendiri masih ragu. “Ahklakmu. Bagaimana kamu bersikap dan menjaga diri membuatku yakin kamu akan jadi sosok pelindung untuk anak-anak kita kelak. Ketegasanmu membuatku yakin bahwa kelak kamu akan bisa mengajarkan kemandirian untuk mereka. Kepandaianmu membuatku yakin bahwa kelak kamu akan menjadi guru terbaik untuk mereka. Kelembutanmu membuatku yakin mereka akan mendapatkan kasih sayang melimpah darimu. Keramahanmu, membuatku yakin bahwa mereka kelak akan kamu ajarkan untuk peduli dengan sesamanya,” jawabnya jelas. "Astagfirullah...." Aku segera beristigfar. Segala puji bagi Allah. Aku hanya hamba, sedang mengusahakan yang terbaik bagi bekal akhiratku. “Aku pernah mendengar sebuah hadist. ‘Perempuan dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka menangkanlah wanita yang baik agamanya, maka engkau akan beruntung.’ Tapi aku lupa hadis tersebut riwayat siapa,” katanya lagi sambil tersenyum malu. “Aku...” “Alkhabiitsatu lilkhabiitsiina walkhabiitsuuna lilkhabiitsati waaththayyibaatu liththayyibiina waththayyibuuna liththayyibati aulaika mubarrauuna mimmaa yaquuluuna lahum maghfiratun warizqun kariimun. Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga). QS. An-Nur ayat 26. Aku tahu aku bukanlah laki-laki baik, jadi aku seharusnya tidak begitu lancang meminangmu. Maaf. Assalamu’alaikum,” kata Daffa dan dia langsung berbalik meninggalkan kami. Aku benar-benar bingung. Tadi dia dengan lantang melamarku, tapi tiba-tiba dia merasa tidak pantas untukku. Apa dia hanya mempermainkanku? Aku tertegun sesaat. “Kalau menurutmu aku baik untukmu, kenapa tidak kamu coba perjuangkan aku dulu? Bagaimana hasilnya serahkan semua pada Allah,” kataku refleks. Dia berbalik dan tersenyum seraya mengacungkan jempolnya, “Tunggu aku,” ucapnya dan kembali berjalan pergi meninggalkan kami. Aku... Umi mengatakan jangan mencari yang sempurna. Kesempurnaan itu milik Allah. Menikah itu menyempurnakan agama kita, dan ketika Allah sudah datangkan waktu untuk takdirnya, maka itu pasti akan terjadi juga. Aku tidak tahu apakah yang aku katakan itu baik atau tidak menurut Allah, aku hanya tidak suka dengan ucapannya yang merendahkan diri, dan mengatakan ia tidak pantas untukku. Kita hanya manusia, mana bisa menilai seseorang pantas atau tidak. Allah saja meletakkan standar bukan dari rupa. "Arsy, apa aku baru saja bermimpi?" tanya Syfa. Sepertinya dia sudah sadar dari kejutan yang dibawa Daffa. "Apa kamu tadi tidur Syfa, sampai-sampai kamu bermimpi?" tanyaku serius. "Sy, tadi Daffa ngelamar kamu, kan, ya?" tanya Kak Mella. "Dan tadi kamu mengatakan perjuangkan aku?" sambung Kak Wulan. "Ah, sepertinya kalian memang sedang tidur tadi," kataku menggoda mereka. "Arsy!" ucap mereka serempak. "Iya!" balasku sambil tersenyum. "Aku laporin Bang Nail nih, kalau adeknya dilamar Daffa," ancam Syfa mengeluarkan ponselnya. "Eh, jangan. Nanti Bang Nail marah, serem ih." "Ya udah, kalau begitu ceritain tadi gimana," rengut Syfa terlihat penasaran. "Tadi kalian di sini juga, kan?" "Tapi aku tadi terlalu syok sehingga gak ngerti apa yang kalian bicarakan," Kak Wulan menimpali pertanyaanku. "Aku juga syok dengan apa yang barusan terjadi. Bagaimana ini? Apa aku terlalu gegabah menjawabnya? Apa tadi aku salah menjawab?" kataku balik bertanya dengan perasaan panik yang baru muncul tiba-tiba. "Nggak tahu, Sy. Intinya yang kita tangkep, Daffa ngelamar kamu dan kamu mengiyakan," jelas kak Mella. "Eh enggak. Aku belum mengiyakan, kok." "Dari ucapanmu, itu artinya mengiyakan. Kalau didengar oleh telinga kami bertiga sih gitu. Iya, nggak?" tanya Kak Mella pada Kak Wulan dan Syfa yang disetujui mereka dengan anggukan. "Cie, dikhitbah nih," goda Syfa padaku. Aku menyangkal, "Bukan..." "Ehm," olok mereka saling memberi kode lewat senyum usil. Aku yakin kalau aku tidak memakai cadar mereka pasti sudah melihat warna merah di wajahku. Dan akhirnya obrolan yang awalnya membahas tentang konsep dakwah beralih menjadi godaan yang ditujukan kepadaku karena Daffa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN