Arsy - 5. Proposal

1551 Kata
Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga k*********a dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau. HR. Ahmad. Aku masih menganggap yang Daffa katakan kemarin sebagai sebuah keisengan. Jadi, sama sekali belum kuceritakan apapun tentangnya kepada Bang Nail, Umi dan Abi. Aku sedang menyelesaikan rangkuman sementara sebagian besar penghuni kelas sudah bubar setelah mata kuliah selesai. Aku sadar beberapa dari mereka melewatiku begitu saja, dan beberapa yang lain menyapa berpamitan. "Assalamu'alaikum." "Waalaikumsalam," jawabku tanpa mengangkat wajah. Kulihat sepasang sepatu kets berhenti di depan kursiku. Aku jadi memperhatikan celana cokelat di atas mata kaki yang dikenakannya. "Aku dengar bila kita serius dengan seseorang, kita boleh mengajukan sebuah proposal. Aku ingin menyerahkan proposal ini padamu. Maaf kalau kamu akan membaca catatan keburukanku saja," kata sebuah suara sambil menyerahkan sebuah map kepadaku. Aku beralih pandang dari map tersebut ke pemiliknya. Tak kusangka dia kembali menemuiku lagi hari ini. Aku meliriknya sekilas dan melihat ada sedikit lebam di sudut bibirnya. Aku cukup penasaran, tapi tidak ingin ambil pusing menanyakan sebabnya. "Terima kasih," ucapku sambil menerimanya. "Aku pergi. Maaf mengganggu. Assalamu'alaikum." Daffa segera pergi meninggalkan kelasku. "Waalaikumussalam." Aku sedikit berbalik badan, ada beberapa orang tersisa, tapi untung saja teman-temanku di sini tidak ada yang terlalu dekat, jadi mereka juga tidak menanyakan ini-itu. Aku segera memasukkan proposal Daffa ke dalam tasku, mungkin aku akan membacanya nanti. Aku baru kali ini menerima proposal dari seorang laki-laki. Mungkin nanti aku akan menemukan semua hal pribadi tentang Daffa, baik dan buruknya, juga tipe perempuan yang dia minati. Entah apa yang harus aku lakukan setelah ini. Satu-satunya yang terlintas hanya memberitahu Umi, Abi dan Bang Nail. Tapi aku masih belum yakin. Setelah selesai dengan rangkuman, aku kini menunggu di bangku taman. Bang Nail tadi sudah berjanji, setelah selesai kelas akan menghampiriku di sini. Seperti biasa, kuperhatikan bunga dan sekitar sambil buku kumpulan puisiku menemani dengan pulpen menari. Merah, merekah mekarmu Putih, sebersih warnamu Cokelat,... Ah, aku teringat celana cokelat yang tadi Daffa kenakan. Aku menggaruk kepala dengan ujung pulpen karena tiba-tiba merasa malu akan diri sendiri. "Assalamu’alaikum, Arsy," sapa seseorang yang suaranya mulai tak asing bagiku. Aku terkejut. Daffa datang menghampiriku lagi. Ia sepertinya tak jengah-jengah untuk terus datang bertemu denganku. Baru saja aku terpikir tentangnya, sosoknya langsung mewujud di depanku. "Wa’alaikumussalam, Daffa. Ada apa, ya?" tanyaku sekilas mengangkat kepala lalu kembali menunduk. Berusaha menghindari zina mata, karena memandangnya yang bukan termasuk mahramku. "Bagaimana penampilanku?" tanya Daffa dengan penuh percaya diri. Ditodong pertanyaan seperti itu, aku sedikit merasa gerah. Rasanya sudah sangat risih teringat celana cokelat tadi, sekarang dia malah memintaku untuk memperhatikan penampilannya lagi. "Penampilan apa maksudnya? Maaf, bukannya saya tidak mau berkomentar, tapi Anda bukan mahram saya. Akan berdosa kalau saya memerhatikan Anda dengan sengaja," jelasku seraya masih menunduk dalam. Daffa sedikit berdehem, "Maafkan aku Arsy. Kalau begitu aku akan bertanya pada Abangmu saja. Bang Nail, kan, namanya?" "Tunggu!" cegahku. Sejujurnya sekilas tadi pun aku sudah bisa menyimpulkan penampilan Daffa. Dia seperti biasa, rapi dan baik-baik saja. Dia mematikan langkah, "Hm?" "Boleh aku mengatakan sesuatu?" "Iya, Arsy. Ada apa?" Sebenarnya ada sedikit perasaan tidak suka di hati ini tentang rencana Daffa menemui Bang Nail. "Pertama, jangan menemuiku bila aku sedang sendiri, agar tidak terjadi fitnah. Kedua, jangan berpenampilan menarik karena ingin dipuji sesama manusia. Berpenampilanlah yang wajar, dan perbaiki diri, agar terpuji di hadapan-Nya," jelasku secara gamblang. "Bukan untukmu saja. Ini sekaligus, aku juga sedang menasehati diriku sendiri, bahwa pujian itu hanya akan melalaikan." "Arsy, tahukah kamu, bahwa ternyata aku tidak pernah salah pilih untuk menjadikanmu halal bagiku," ucapnya pelan. Aku tertegun. Salahkah apa yang tadi kukatakan? Aku memintanya menjauh, tapi efeknya malah berbalik arah. "Assalamu’alaikum," lanjutnya sebelum aku sempat protes, dan segera meninggalkanku. "Wa’alaikumussalam," jawabku meski dia tidak mendengarnya. Tidak tahu kenapa ada rasa berdebar di hatiku atas kalimat pujian terakhir itu. Yaa Allah jangan jadikan debaran ini membuatku lalai terhadap-Mu. Aku pun segera bergegas pergi. Ingin mencari Bang Nail untuk pulang. Mungkin saja beliau lupa akan adiknya yang menunggu lama untuk janji menemani beli buku. Stok buku bacaanku bulan ini sudah habis. Jadi aku harus membeli buku lagi untuk mengisi waktu luangku. Kutemui Bang Nail yang sudah membunyikan klaksonnya di tempat biasa. Sebuah kode yang memintaku untuk segera masuk. Aku pun bergegas menghampirinya, membuka pintu, lalu duduk dengan nyaman di dalam mobil. Ada keheningan yang sempat hadir di antara kami berdua. “Jadi ya, Bang?” tanyaku memecah keheningan. Bang Nail juga sudah pasti paham apa yang kumaksud. Yaitu mengantarku ke salah satu toko buku langgananku. "Jadi? Jadi apa?" Aku merengut. "Kan, beneran Bang Nail udah tua, udah pelupa." “Iya, ini segera meluncur,” jawabnya dan memilih fokus menyetir. "Ke mana?" tanyaku memancing ingatannya. "Toko buku langgananmu, kan. Abang belum lupa," jawabnya sambil terkekeh. Keheningan muncul lagi. Aku mendenguskan napas. Bang Nail sengaja mempermainkanku. "Kenapa, ya? Abang rasanya melihat akan ada hal luar biasa yang terjadi." "Hal luar biasa?" "Sepertinya pemuda itu begitu gigih untuk menemuimu." Kali ini Bang Nail memecah keheningan di sela-sela konsentrasinya membelah jalanan ibu kota. “Pemuda itu?” tanyaku heran dan menatap Bang Nail. “Jangan pura-pura. Tadi Abang ingin menghampiri kamu di pelataran. Tapi nampaknya pemuda itu sedang berbicara serius. Abang pun ingin segera menghampiri kamu supaya tidak terjadi fitnah, tapi ternyata pemuda itu keburu pergi duluan. Jadi, Abang putuskan saja untuk ambil mobil.” Lagi lagi Daffa. "Dia hanya menanyakan penampilannya ke Arsy," jawabku seperti biasa. "Lagi pula Arsy sedang gak duduk sendiri di pelataran kampus, mahasiswa-mahasiswi juga berlalu lalang di depan Arsy." "Lalu apa yang kamu bilang padanya?" "Arsy mengatakan Arsy tidak bisa menilai penampilannya, karena akan berdosa saat memerhatikan secara sengaja yang bukan mahram Arsy," jelasku apa adanya. “Kamu mematahkan hatinya, Dek?" goda Bang Nail sembari tersenyum jahil. "Abang apaan sih," elakku segera. "Tadi curiga sekarang malah ngeledek," rengutku menatap wajah Bang Nail sembari melotot. "Adek Abang udah dewasa, ya?" katanya sambil mengusap kepalaku. "Ingat, saat ada laki-laki mendekatimu jangan biarkan dia hanya datang tanpa kejelasan. Allah sangat menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan, jadi jangan sampai karena kamu sendiri yang lalai menjaganya akan membuat dirimu hancur. ‘Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Aku mengangguk, "Alquran surah Al Ahzâb ayat ke 59." "Iyap. Itu salah satu ayat yang membuktikan betapa Allah sangat melindungi perempuan," tambahnya lagi. "Iya Abang, Arsy ngerti. Tapi Bang, kalo ada seorang mengajak kita ta'aruf, bagaimana?" "Dalam Islam, ta'aruf itu sah-sah aja, Dek. Ta'aruf, kan, istilahnya mengenal orang yang kita ajak serius. Tapi ingat, ta'aruf belum tentu berakhir dalam pernikahan. Meski ada seseorang yang mengajak ta'aruf, bukan berarti sudah boleh saling berhubungan, saling kirim pesan dan lain-lain. Memangnya Adek Abang ini ada yang ngajakin ta'aruf?" "Ih, Abang. Arsy nanya serius kok malah digodain sih!" "Siapa yang godain coba? Kan, Abang cuma nanya," elak Bang Nail sambil ketawa pelan. Aku tak membalas. Daripada jadi perkara, lebih baik aku diam dan mengalah. Abangku ini memang paling jago dalam hal menggoda adiknya. Dan ujung-ujungnya seperti ini, aku berakhir cemberut padanya. Bang Nail tidak menanggapi lagi. Ia hanya tersenyum seolah penuh kemenangan. Kembali fokusnya menyetir, mobil kami mulai menembus jalanan ibu kota. Meski masih siang, Jakarta tetaplah Jakarta yang penuh dengan kemacetan. “Oh iya, kemungkinan mulai senin depan, kamu berangkat sendiri ke kampus. Alhamdulillah Abang sudah mulai magang." "Alhamdulillah." "Kamu hati-hati ya, jaga diri baik-baik,” ucap Bang Nail ditemani mobil yang masih berusaha mengurai padatnya jalanan ibu kota. "Arsy punya Syfa. Juga jangan remehin Arsy, Bang. Arsy bisa jaga diri kok." "Iya, iya." Sampai di mal tujuan, aku langsung menuju toko buku kesukaanku. Tak ada tempat lain yang lebih menarik bagiku untuk segera disinggahi selain ini. Sebab, bagiku melihat tumpukan buku yang berjejer adalah suatu kenikmatan batin yang tak bisa aku jelaskan. Entah kenapa, aku selalu suka melihat buku-buku di atas rak yang berjejer rapi. Aku memang gemar membaca, entah itu buku agama, pelajaran, buku ensiklopedia, n****+ islami, dan lain-lain. Dengan membaca aku jadi makin banyak tahu, bukan berarti aku lebih pintar tapi setidaknya aku punya pengetahuan yang lebih. Bang Nail juga suka membaca buku. Namun sepertinya, beliau tidak secandu diriku. Di sini, ia pun ikut memilih beberapa buku, mungkin juga hanya sekedar melihat sampul atau sinopis buku. Sedangkan aku, sudah berlari dari rak ke rak. Di tangan kananku, aku menggenggam catatan kecil berisi daftar buku yang menggiurkan untuk dibeli pada bulan ini. n****+ islami, buku sastra, buku puisi, dan buku kumpulan cerpen masuk dalam daftarku. Aku harus segera mencarinya. Dan tak perlu waktu lama, karena aku sudah hafal di mana buku-buku itu berada. Aku mulai pencarian dari rak buku sastra dulu, kemudian kumpulan cerpen, buku puisi dan terakhir n****+ islami. Aku mengurutkannya sesuai dengan jarak tempuh rak buku. Aku hampir menyelesaikan misi, seluruh buku sudah ada di tanganku, tinggal satu lagi. Tubuhku berbelok ke rak buku islami untuk mencari n****+, namun kakiku memaksa mundur beberapa langkah, tanganpun ikut menutup wajah yang sebenarnya sudah tertutup cadar. Aku melihatnya lagi, laki-laki itu, yang tadi bercelana cokelat diatas mata kaki. Kenapa dia ada di sini?!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN