Arsy - 3. Tugas

1024 Kata
"Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan." QS. Al-Faatihah. Malam selalu punya cara tersendiri, Bagaimana ia membuat ketentraman hati Dari teriknya siang dan lelahnya hari Angin membawa rasa sejuk dalam jiwa Membuat rasa gerah tiada lagi dirasa Air melepas rasa dahaga Membuat tanah kering kembali subur dan bermakna Aku membaca kembali tulisanku. Tapi belum juga merasa puas, jadi aku ingin mengulangnya sekali lagi sebelum besok diserahkan kepada dosen. Malam ini sehabis tarawih dan makan malam, aku kembali ke kamar untuk segera menyelesaikannya. Biasanya kami berkumpul dulu, tapi malam ini aku absen dan memilih ke kamar saja dan melanjutkan menulis tugas sajak. Terdengar suara ketukan pintu, saat aku sedang menulis kembali revisi sajakku. “Assalamu’alaikum, Nak. Kamu ada di dalam?” tanya suara Umi di balik pintu. Aku bergegas membukakan pintu. “Wa’alaikumussalam, Umi.” Kulihat beliau tersenyum. “Ada apa, Umi?” Aku menggandeng lengan beliau untuk mengajaknya masuk dan duduk di tempat tidurku. “Arsy besok mau dimasakin apa untuk makan sahur?” “Astagfirullah, Umi. Arsy akan makan apa pun yang Umi masak asalkan itu halal, Umi. Lagipula masakan Umi selalu nomor satu,” jawabku sambil tersenyum pelan. Umi ini sangat memanjakan kami, terutama aku. Sampai saat ini aku hanya sedikit menguasai resep dapur, itupun yang sederhana saja. Meski begitu, saat kami salah dan Abi menegur kami, Umi akan diam saja, tidak ikut campur sampai Abi selesai menasehati. Dan bila sudah selesai dengan ceramah Abi, Umi akan berkata, "Dengerin tuh kata Abi." “Umi besok mau masak sayur sop aja, ya? Nanti jam dua Umi bangunin Arsy buat bantu Umi masak.” “Iya, Umiku sayang. Apa sih yang enggak buat Umi?” godaku. Beliau tersenyum mencubit pipiku pelan. “Arsy kenapa tadi gak ikut berkumpul dulu setelah makan malam?” “Arsy lagi banyak tugas, Umi. Jadi pamit duluan. Emang tadi ngobrolin apa, Umi?” “Bahas tentang nikah muda.” Hm, tadi di Rohis bahas pacaran, sekarang malah bahas nikah muda. “Nikah muda? Kenapa tiba-tiba bahas nikah muda? siapa yang nikah muda, Umi?” Umi memperbaiki posisi duduknya. “Tadi itu kan, Umi lagi baca majalah Islam. Umi lihat ada berita tentang anak ustadz yang baru berumur delapan belas tahun meminang seorang gadis. Masya Allah, Nak, luar biasa sekali pemuda itu, dia memilih meminangnya dan berpacaran secara halal,” cerita Umi dengan mata berbinar. “Iyakah? Alhamdulillah kalau masih ada pemuda yang begitu berani menghalalkan perempuan yang dia inginkan. Berarti dia begitu menghormati perempuannya, kan, Umi? Dan tidak tergoda dengan nafsu sesaat,” dukungku. “Arsy ingat? ‘Dan janganlah kamu mendekati zina, zina itu sungguh perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk. Al–Isra : 32. Pacaran itu salah satu bentuk panah syaiton. Itu usahanya membawa manusia mendekati diri dengan zina. Umi akan lebih senang saat ada pemuda yang meminangmu daripada kamu berpacaran,” jelas Umi terdengar seperti peringatan. Aku berkilah cepat, “Umi ada-ada aja. Arsy belum siap, Umi. Arsy masih banyak kekurangan, mana bisa Arsy jadi istri di usia semuda ini, Umi,” kataku yakin kepada Umi dan diri sendiri. “Lah, yang dipinang anak ustadz itu malah lebih muda dari kamu, Arsy. Umurnya baru tujuh belas tahun, tapi kalau Allah sudah mengatakan dia jodohmu, siapa kita manusia yang dapat mengelak dari takdirnya? Dan harus diingat, jangan pernah mencari pasangan yang sempurna, karena sempurna itu hanya milik Allah. Saat kita hanya sibuk mencari yang sempurna, maka tanpa kita sadari kita telah meninggalkan yang terbaik dari Allah. Arsy harus ingat, kita tidak akan tahu bahwa yang kita terima itu adalah jodoh terbaik dari Allah buat kita. Jadi, daripada sibuk mencari yang lebih baik, mendingan sibuk memperbaiki diri. Bukankah jodoh kita itu cerminan dari diri kita?" Aku mengangguk. Umi tersenyum mengelus rambutku, "Jangan meminta suami seperti Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wa Sallam bila kita belum bisa menjadi seperti Ibunda Siti Khodijah, dan janganlah mengharapkan suami seperti Ali Radhiyallahuanhu bila kita belum bisa menjadi Fatimah Azzahra Radhiyallahuanhuma. Allah itu selalu memberikan apa yang kita butuhkan, Nak, bukan apa yang kita inginkan.” “Iya Umi, makasih Umi nasihatnya. Insyaallah, Arsy akan terus berdoa untuk diberikan jodoh terbaik, yang telah Allah pilihkan untuk Arsy,” ucapku sambil tersenyum. “Aamiin. Ya sudah, kalau begitu kamu tidur, biar besok gak kesiangan. Umi juga sudah mau tidur,” kata beliau bangkit dari duduknya. “Iya, Umi, Arsy akan tidur setelah ini,” balasku sambil menunjuk buku. “Assalamu’alaikum, Arsy. Jangan lupa wudhu dan berdoa, Nak.” “Wa’alaikumussalam, Umi. Beres Umi," balasku sambil menghantarkan Umi keluar. Aku mengunci pintu kamar, segera membereskan buku. Aku terkenang nasehat Umi, kenapa tiba-tiba beliau bahas begituan? Mungkin Bang Nail ngadu ke Umi Abi tentang laki-laki menyebalkan yang tadi gangguin Arsy? Aku menggeleng. Rasanya Abang kesayanganku gak mungkin begitu. Subhanallah, kenapa hari ini otakku isinya prasangka buruk semua? Aku melenggang ke kamar mandi, berwudhu. Segera kumatikan lampu kemudian berdizkir. Selesai dzikir kucoba memejamkan mata, tapi tiba-tiba kalimat nikah muda muncul lagi dipikiranku. Nikah muda? Aku berpikir keras. Ternyata tema ini cukup menyita perhatianku. Pemuda belasan tahun, dan gadis belia menikah? Maa Syaa Allah. Baik sekali seperti itu. Tapi tetap saja ada pro dan kontra. Mungkin mereka punya back up dana dari orang tua yang paham agama dan mampu membiayai. Bagaimana kalau yang masih kuliah? Uang semester masih minta orang tua, biaya hidup, tugas dan hal lain sebagainya? 'Barangsiapa mampu membiayai pernikahan hendaklah menikah, karena nikah lebih menahan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah wija’ (mengendurkan gejolak syahwat) baginya.' HR. Al-Bukhari. Aku menepuk kening. Puasa! Aku hampir lupa kalau Rasulullah mengandalkan puasa bagi yang ingin menikah tapi belum mampu. Aku menarik selimut lagi, akhirnya kini aku bisa tidur juga. Aku tersenyum lagi. Seperti biasa sebelum tidur aku mengingat seluruh kejadian hari ini, tapi masih hatiku bergelut kesal dengan kejadian tadi di kampus. Astagfirullah. Sepertinya aku harus banyak istighfar untuk menghadapi dia nantinya. Apalagi dia sekarang bergabung dengan Rohis juga. Meski sudah coba berhusnuzon diri untuk tidak curiga, tapi entah kenapa aku merasa kedepannya, aku dan dia akan selalu bertemu. Baru kali ini aku bertemu laki-laki itu, dan kesan pertemuan kami sangat buruk diawal. Biasanya aku tidak akan menganggap terlalu penting kejadian-kejadian biasa dengan laki-laki, tapi dengan Daffa ini firasatku berbeda. Semoga saja dirinya hanya ujian di hari pertama Ramadhan untuk Arsyila Farzana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN