Daffa - 19. Dilema

1790 Kata
Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih maka untuk keluargamu. Jika ada lebih maka untuk kerabatmu. HR. Muslim. Hari ini sesuai dengan rencana awal, kami berangkat piknik dan bertugas sebagai tour guide Kakek dan Nenek. Sementara ini kuliahku dan Arsy sedang libur sementara pekerjaanku saat ini hanyalah sebagai penyalur hobby semata. Kata orang kerja yang paling enak itu adalah yang merupakan hobi kita, dan menurutku itu opini yang seratus persen tepat. Aku sengaja belum mengenalkan Arsy ke media, kecuali beberapa rekan kerja yang dekat tahu pernikahan kami. Alasannya aku ingin menikmati waktu lebih lama bersamanya seperti pasangan pada umumnya tanpa diganggu Media. Untungnya aku bukan salah satu artis papan atas yang sering diburu paparazi. Syukurlah, paling tidak kami punya waktu berduaan, dengan istriku. Aku sebenarnya agak khawatir dengan pekerjaanku yang menuntut banyak mata, berbanding terbalik dengan Arsy yang sangat tidak suka dilihat orang. "Kenapa nih, manten baru kok diem-dieman?" celetuk Nenek dari kursi belakang. Aku tersenyum melihat Arsy sesaat. Kutemukan dia juga melirikku sekilas sebelum kembali mengalihkan matanya pada Nenek. "Gak kenapa-kenapa, Nek," jawabku santai. Aku yakin sebenarnya mereka berdua tidak begitu saja percaya dengan apa yang aku katakan, karena memang pada kenyataannya aku dan Arsy sedang ada sedikit masalah. Pelukan sore kemarin itu menjelaskan bahwa Arsy ingin menghabiskan banyak waktu bersamaku. Karena ini adalah pernikahan lewat taaruf, agar kami saling mengenal. Aku malah sangat sependapat dengannya, tapi saat makan malam, Ayah labgsung memberi usul untukku agar belajar mengelola perusahaan. Katanya buat latihan selagi libur kuliah. Alasan lain beliau cukup kuat, Ayah mengatakan aku sudah menjadi kepala keluarga, ada Arsy sebagai tanggung jawabku sekarang. Tidak mungkin aku terus mengandalkan Ayah untuk memberi nafkah Arsy. Arsy sendiri memang tidak protes, tapi istriku ini menyembunyikan responnya sejak kalimat Ayah mencuat. Bunda sepertinya cukup paham, beliau protes secara terbuka. Menurut Bunda, aku dan Arsy butuh banyak waktu berdua. Tapi Ayah kembali memojokkan kami untuk setuju. Beliau akan pergi ke luar kota untuk urusan pekerjan dan minta Bunda juga ikut. Aku paham, aku pun inginnya selalu berduaan saja dengannya, menjauh dari kesendirian dan keluarga. Malah, aku berharap kita berbulan madu . Tapi kan, lagi puasa. Apa enaknya bulan madu jalan-jalan, tapi tak bisa menikmati intim kebersamaan secara keseluruhan. "By the way, kita ke mana dulu nih?" tanyaku akhirnya memecahkan keheningan yang menurutku tidak seharusnya ada diantara kami berempat. "TMII," Kakek menjawab. "Kebun binatang, Pa!" Nenek protes. "Hmm, kenapa Kakek dan Nenek mau ke sana?" tanya Arsy bersuara. "Paling Kakek mau liat anak muda pacaran," jawab Nenek sinis. "Eh? Engga, engga gitu. Di depan kita ini juga ada yang lagi pacaran, ngapain jauh-jauh. Nenek kali, mau ketemu mantan kekasihnya di sana!" balas beliau balik menyerang. "Papa masih aja berpikiran gitu, kita ini udah tua, Pa. Masa masih cemburu juga sama yang dulu-dulu." "Jadi kita ke mana?" tanyaku coba melerai. "Antar Nenek sama Arsy ke kebun binatang," putus Nenek tegas. "Daffa nemenin Kakek, sekalian cari Nenek baru," balas Kakek tak mau kalah. Arsy menatapku, pasangan tua ini jelas melibatkan kami dalam masalah mereka, padahal kami pun punya hal yang perlu dibicarakan juga. "Loh, kok gitu?" protesku. "Pokoknya harus gitu!" Nenek melotot, tapi senyum tuanya cerah membujuk Arsy. "Arsy mau kan, temenin Nenek?" Godaan itu membuat Arsy menatapku sekali lagi. "Rencananya, kan, kita sama-sama, Nek," kata Arsy berisyarat menolak secara halus. "Pergi aja sendiri, jadi bisa berdua dengan mantanmu itu!" ujar Kakek. "Oke. Siapa takut. Kita batalin aja ke Bali-nya." Mereka masih bertengkar. Aku diam. Biasanya pertengkaran mereka selalu membuatku ingin segera menikah, tapi kali ini rasanya aku cukup takut. Ini cukup berbahaya. Aku dan Arsy juga sangat perlu berdua dan pasangan lansia dijok belakang memperparah ini. Mungkin akan lebih tentram seandainya kasus ini milik Ayah Bunda. Bunda tentu akan mengalah senang hati. Ayah akan menang tanpa perlu melukai harga dirinya. Masalah selesai. "Aa..." panggil Arsy pelan sementara Kakek Nenek beradu buang muka. Aku menggenggam tangan lembutnya. "Gimana, Dek?" "Arsy nemenin Nenek aja, Aa." "Tapi..." Ada perasaan tak rela untuk menggantung masalah kami demi menyenangkan hati orang tua, tapi kuyakin Arsy memilih jalan yang benar. "Gak pa pa, Aa. Kita malah akan khawatir kalo Nenek sendirian. Benar-benar ujian puasa, ya?" katanya tersenyum antara ekspresi geli dan pasrah. Aku mengeratkan genggaman. "Makasih, Dek. Maafin Aa, ya." Akhirnya, setengah hati aku menurunkan kedua wanita tersebut di tempat yang mereka inginkan. "Hati-hati, Aa." Arsy menyalamiku. "Arsy juga, sayang." "Kalo Nenek merepotkan, bawa saja ke kandang ular! Dia pasti menangis," kata Kakek tersenyum untuk Arsy. Aku dan Arsy saling pandang tak mengerti. Kurasa kali ini mereka sungguh bertengkar. "Pergilah. Jangan sampai kalian tersesat ya. Istriku itu agak buta arah," lanjut Kakek dengan wajah puas. "Kakek ngalah aja, Kek. Yuk, sama-sama di sini dulu," ajak Arsy. "Iya, Kek. Kan, Daffa juga maunya sama Arsy." Kakek menggeleng, sungguh mengecewakan. Nenek pun tampaknya tidak berniat baikan. "Ya sudah. Kami akan telepon kalau mau pulang." Arsy dan Nenek pun menjauh, meninggalkan kami di mobil. Kulihat langkah keduanya menjauh. Arsy nampak seolah ingin memapah tubuh ringkih Nenek yang tegak jalannya. Keduanya seperti kolam waktu. Arsy muda dan bersahaja, Nenek senja dan rapuh. "Kalian bertengkar karena permintaan Ayahmu semalam?" tanya Kakek dengan nada lembut saat Nenek dan Arsy sudah berbelok arah makin menjauh. "Hm, kami nggak bertengkar, tapi..." Entahlah. "Entahlah. Hanya saling diam," jawabku linglung. "Jadi, serius ke..." "TMII." Kakek lalu menatap jalanan di depan, "Sebaiknya kalian saling bicara saja daripada masalahnya melarut." "Kakek juga. Gak wajar lagi Kek, untuk cemburu seusia Kakek," balasku. Kakek tersenyum, beliau sekarang duduk di sampingku memasangkan sabuk pengaman di sela-sela perjalanan menuju TMII. "Aku kenal sekali Nenekmu, Daffa. Aku yakin dia sengaja ingin kita berpisah." Aku bingung. "Sengaja?" "Aku masih terus mencintainya, Daffa. Dan kuharap apa yang kulakukan ini bisa membantunya." Jawaban ambigu beliau membuatku semakin bingung. Wajah sedih Kakek menambah kesan berat perjuangan untuk bertahan dalam rumah tangga mereka. Apa dalam cinta mereka ada orang ketiga? "Jadi, Kakek sungguh mencari Nenek baru?" godaku mencairkan suasana. Tapi Kakek tetap dengan eksepresi tak terbaca, hanya diam. "Kalo Daffa rasanya nggak bakalan rela, Kek." Kakek tiba-tiba tertawa. Makin bertambah rasa keingintahuanku. "Kamu perlu memercayai istrimu, Cu. Mereka para wanita peka dan mengerti, kita hanya perlu mengikuti." "Tapi kita pemimpin, Kek." Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)... Q.S. An Nisa : 34. "Memang, tapi jangan jadi pemimpin egois. Apa ruginya menyenangkan hatinya, kalau itu bisa membuat kita lebih nyaman bersama." "Daffa sungguh nggak ngerti, Kek. Apa maksudnya ini?" Lelaki berkopiah disampingku tersenyum. "Kamu memang perlu belajar mengelola perusahaan." Terserahlah. Ini membuatku pusing. Arsy pergi berdua hanya ditemani Nenek. Sementara Kakek dengan egoisnya malah memihak Ayah. "Jadi, apa yang Kakek inginkan di TMII ini?" Kami berdua turun dan menatap plang besarnya. "Pertama kalinya, kami berciuman di sini." Aku terperangah. Lucu dan sedikit terkesan. Apa ketika kami tua nanti juga akan mengenang hal-hal seperti ini? Mengenang masa muda kami? "Tempat ini adalah persembunyiannya kalau kami bertengkar." Kakek tersenyum dan melangkah masuk. Aku sungguh hanya pendengar, cerita masa silam buyutku. Aku mengambil ponsel dan chat dengan istriku. Daffa: "Semuanya baik-baik saja?" Arsy: "Jangan ganggu. Semuanya oke," Balasan Arsy cukup mengejutkanku. Benarkah ini istriku? Kurasa bukan. "Kalau kamu terkejut dengan chat istrimu, mungkin Nenek yang membalas pesan itu. Dan itu tertuju untuk Kakek." Kakek tersenyum. "Isinya mungkin... Jangan ganggu. Semuanya oke." "Kok..." Aku bingung bagaimana Kakek bisa begitu paham tindakan nenek. Entah apa aku bisa sepertinya dalam memahami Arsy. Senyum kakek seperti tak ingin memberiku jawaban. Kuikuti langkahnya berjalan ke sebuah bangku yang sepasang muda mudi duduk di sana. "Lutut Kakek sakit. Boleh duduk di sini?" Aku terperangh dan malu. Pasalnya kami sudah melewati beberapa bangku kosong sebelum bangku ini. Tapi seolah ada hal spesial dari mengganggu pasangan tersebut. Barangkali yang Nenek katakan ada benarnya. "Silakan, Kek," jawab mereka lalu segera angkat kaki. "Gak apa-apa duduk di sini saja," cegah Kakek ramah. "Gak apa-apa, Kek. Kita juga udah mau balik." "Maaf, ya," ucapku tak enak hati. "Makasih ya," kata Kakek melambaikan tangan pada mereka yang berlalu. Aku akhirnya duduk disebelah Kakek. Ada rasa bersalah karena merebut secara paksa lahan pasangan muda mudi itu. "Kenapa nggak bangku kosong yang lain aja sih, Kek. Daffa jadi nggak enak." "Lho, harusnya kamu dukung Kakek dong. Mereka mungkin masih pacaran. Mana nih, ilmu amar ma'ruf nahi mungkar yang kamu pelajari?" Aku terdiam. Aku hanya tak bisa mengelak. Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman. HR. Muslim. Kakek tersenyum. "Sudah. Anggap saja kita punya cara berbeda. Sekarang, coba Daffa periksa di bawah bangku ini, mungkin ada selembar surat terselip." Aku langsung mencarinya dan menemukan itu. Kertas yang agak lusuh, dan terlapis plastik bening. "Apa ini?" "Nenek, meninggalkannya di sini." "Tapi ini sudah lusuh, mungkin..." "Baca isinya." Aku diam. Baiknya kuturuti saja keinginan Kakek dulu, mungkin setelah ini beliau mau segera ke kebun binatang menjemput istri kami. Perlahan aku membukanya dan sebaris tulisan bernada kasar kutemukan. "i***t. Setelah baca ini, pulang dan peluk aku." Kakek tersenyum. "Itu perkelahian kami ketika Kakek lupa ulang tahunnya tahun lalu." Aku mencoba mengingatnya. "Oh, waktu Nenek datang sendirian itu?" "Ya. Kami rencananya akan jalan-jalan, tapi hari itu ada masalah dengan Ayahmu. Tentang perusahaan." "Menggelikan, Kakek-Nenek bersikap kekanakan." "Nggak juga. Dia hanya ingin diperhatikan. Kita sudah hidup lama bersama, kami berdua ingin mengukir kisah yang berbeda, yang punya momen istimewa hingga tua." Beliau menatapku, "Bagaimana dengan kalian?" Aku langsung teringat pada sosok istriku yang kini entah sedang apa bersama Nenek. "Arsy, dia... sepertinya bukan wanita yang suka mengatakan keinginannya. Aku bersyukur sekali menikah dengan Nenekmu yang bersemangat itu." Kakek menatap udara dengan tatapan kosong. "Entah bagaimana harus kujalani hidup ini tanpa semangatnya itu." Arsy memang seperti itu. Beberapa kali dia ragu menanyakan sesuatu dan malah mengganti topik. "Apa yang harus Daffa lakukan, Kek?" "Bertanya. Kakek yakin istrimu itu baik sekali. Nggak ribet kayak Nenek yang suka banget teka-teki, jalan-jalan." "Ibadah?" gumamku teringat yang semalam. Arsy hanya ingin beribadah bersamaku. "Ibadah? Bulan puasa memang ladang ibadah." Kakek mengangguk setuju. Meski ibadah yang Kakek maksud dengan yang aku maksudkan mungkin berbeda.Tapi kuyakin, ibadah yang aku dan Arsy pikirkan adalah satu hal yang sama. "Terima kasih, Kek." Aku sepertinya punya sesuatu untuknya, istriku yang menyukai kebaikan itu. Sepertinya aku mulai sedikit paham kenapa Kakek dan Nenek ingin berjauhan. Masalahnya kenapa jauh sekali. Semoga tidak macet saat nanti mejemput mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN