Arsy - 14. Pengantin

1452 Kata
(Doa untuk kedua pengantin) Semoga Allah memberikan keberkahan padamu dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan. HR. Abu Daud. Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Hari di mana ditentukannya kisah hidupku yang baru, hidup dengan status Arsy sebagai seorang istri. Istri dari Daffa. Tidak ada yang menyangka seorang Arsy yang dikenal pendiam dan hanya fokus belajar tiba-tiba menyebarkan undangan pernikahan. Bahkan, ada yang berkelakar bahwa aku sudah hamil duluan. Aku tahu meski hanya candaan, tetap saja ada rasa tidak nyaman di hatiku. Mungkin karena hal tersebut sudah bukan hal yang tabu lagi di masa kini, sehingga mereka mengganggap itu sebuah candaan normal. Miris memang kala pernikahan muda di anggap kecelakaan dan pacaran di anggap gaya masa kini. Sekarang waktunya memasrahkan diri sepasrah-pasrahnya. Aku menatap lamat-lamat wajahku yang sudah didempul rias dari pantulan cermin. Sungguh berbeda dari rupaku yang biasa. Rasa berat dari riasan ini menggelitik, berbeda dengan bedak dan lipstik tipis yang biasa kugunakan ketika kuliah. Pernah kualami dulu diriku sebagai seorang remaja yang umum ditemui, memiliki dan aktif di sosial media. Suatu hari dulu aku pernah memasang foto di f*******:. Aku begitu percaya diri dan merasa cantik, apalagi dengan komentar-komentar pujian yang teman-teman maya berikan. Namun tak semuanya sependapat. Lewat sepasang tangan usil temanku hidayah menemukan caranya sendiri. Dia memotong bagian wajahku dan ditempelkan pada foto lain yang tidak mengenakan hijab, malah dengan pakaian terbuka ala gadis di sampul majalah, teganya lagi dia memasang foto tersebut di mading sekolah dengan berbagai gaya rambut : panjang, pendek, bahkan ada yang botak. Saat itu aku marah. Sakit. Benci dan segala hal. Namun bermula dari sanalah alasanku menutup wajah. Trauma dan takut suatu saat wajahku disalahgunakan lagi. Sejak saat itu pula aku mulai menghindar dari kamera, bahkan akun facebookku langsung aku tutup. "Kok rasanya aku yang gugup, ya," suara Syfa menyentakku. Aku tersenyum memutar tubuh. Hampir lupa kalau dia disini. Syfa seperti biasa, setia menemaniku. Kami berdua hanya bisa mendengarkan prosesi yang terjadi dari balik dinding. Telapak tanganku menjadi dingin karena suasana ini. Aku berdiam di kamar, menunggu ijab kabul dibacakan oleh Daffa. Baru setelahnya, kami akan dipertemukan saat statusnya sudah sah menjadi suamiku. "Sy, Bang Nail nggak papa dilangkahin?" Aku tersenyum mendapat pertanyaan itu lagi. Sejak menyebarkan undangan kalimat tersebut beberapa kali muncul. "Insyaallah nggak apa-apa. Yang namanya jodoh nggak ada yang tahu. Allah sudah menggariskan Arsy duluan yang menikah." "Iya, sih." Syfa menelisik wajahku, "Belum pake cadar? Nanti kamu harus keluar, kan?" Aku mengangguk. "Kata tukang riasnya, nanti beliau kesini sebelum ijab qabul selesai. Supaya riasanku gak blepotan." "Masuk akal. Ribet juga kalo cadar putihnya kena noda lipstik duluan." Syfa dulu juga sempat mengatakan bahwa bercadar ribet. Aku setuju. Sudah pernah kualami. Ketika makan di tempat umum, berbicara dan berada di tempat yang padat. Tapi biasa karena membiasakan diri, bukan. Kalau terus dituruti, sholat pun malas, tapi setelah terbiasa akhirnya lima waktu wajib terasa kurang tanpa yang sunnah. Aku pernah membaca tentang cadar dalam empat mahzab yang intinya menutup wajah itu juga sunnah. Namun apabila dirasa wajah dapat menimbulkan fitnah, maka sebagian ulama' menegaskan lebih condong wajib untuk mengenakan cadar. Syfa juga sudah istiqamah bercadar. Setelah belajar tentang cadar atau niqab, aku jadi bersyukur mengenakannya. Wajah dan tubuhku adalah milik suamiku, maka aku akan menutupnya untuk orang lain. Aku mendengar suara Abi membimbing Daffa untuk ijab qabul. "Bismillahirahmanirahim. Ya Daffa Ibnu Hafizd bin Bima Abraham." "Iya." "Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya Arsyila Farzana dengan mahar berupa cincin emas, mushaf Alquran dan perlengkapan salat dibayar tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya Arsyila Farzana dengan mahar tersebut—tunai." "Sah?" "SAH!" ucap para saksi dan hadirin serempak. “Alhamdulillah,” gema ucapan syukur yang begitu keras terdengar memantul dari dinding-dinding rumahku. Aku masih sulit percaya dengan apa yang terjadi. Namun ada rasa haru yang langsung muncul merasuk jiwaku. "Alhamdulillah," ucapku setelah sebaris doa pengantin selesai disuarakan lantang. "Alhamdulillah." Syfa memelukku dengan wajah ceria, "Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jamaa bainakuma fii khoir." "Aamiin." Akhirnya aku sekarang sudah menjadi seorang istri, bukan hanya salah satu anak Abi dan Umi. Pintu kamar berderit. Tukang rias segera tersenyum dan memasangkan cadarku. "Selamat, ya. Semoga Allah memberkahi pernikahan kalian. Aamiin." "Aamiin." Kemudian menyerbu masuk Bunda dan Umi, keduanya menjemputku untuk dipertemukan dengan suamiku. Perlahan tapi pasti aku melihat sosoknya berdiri di depan Abi. Yang lain seolah hanya benda mati, mataku hanya ingin tertuju padanya. Dia yang sekarang sudah halal bagiku. Dia yang akan jadi pembimbingku. Dia yang namanya tertulis bersanding dengan namaku dalam kitab takdir. "Arsy sekarang cium tangan suamimu," suara Abi membimbingku. Aku mengikuti perintah Abi dan mencium tangan suamiku dengan khidmat. Lelaki ini kelak yang akan menjagaku, melindungiku, dan Insyaallah membimbingku ke jannah-Mu, Yaa Allah. "Arsy, izinkan aku menyempurnakan maharku untukmu." "Iya, Da... Daffa," jawabku tertatih pelan. "Jangan panggil Daffa lagi dong," seru sebuah suara diiringi tawa yang lain. Aku makin gugup. "T-terus panggil apa?" "Panggil Aa aja," jawab Daffa dengan senyum lembut. "Baik, Aa." Daffa mengambil cincin emas lalu memasangkannya padaku. Aku berterimakasih, kemudian aku pula memasangkan cincin perak untuknya, karena lelaki tidak boleh memakai emas. "Alhamdulillah," ucap Daffa dan kemudian mencium keningku. Aku tidak bisa menahan air mataku. Entah mengapa luapan emosional ini harus berupa airmata. Yang jelas bukti itu bukan sebuah pertanda penyesalan. Keikhlasan hatiku dalam mempercayakan semuanya pada Allah tidaklah sedikitpun membuatku menyesal. Daffa, lelaki yang di awal begitu membuatku kesal ternyata dialah jodoh yang Allah siapkan untukku. Perjuangannya, usahanya serta doanya untuk menghalalkanku terjawab sudah dengan terselesaikannya ijab hari ini. "Istriku," ucapnya dengan tersenyum bahagia. Suamiku. Aku membalas senyumannya dengan senyuman tulus juga. Dijelaskan, dari Jabir bin ‘Abdillah, dari ‘Umar Bin Al-Khaththab, beliau berkata, “Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan aku berkata, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?“ HR. Ahmad. Kami melanjutkan acara sungkem dengan keempat orangtua kami. Ayah berbisik padaku. "Nak, maafkan Ayah bila Daffa belum bisa jadi imam yang baik untukmu. Itu semua salah Ayah. Jaga dia, nasehati dia, dan cintai dia, ya." Aku menggangguk sebagai jawaban. Selanjutnya Bunda mencium kedua pipiku dan berterimakasih padaku telah bersedia menjadi istri Daffa. Sementara Umi berpesan agar aku menjadi istri yang patuh terhadap suami. Mendahulukan permintaan suami apa pun yang sedang kulakukan dan jangan jadi istri yang durhaka terhadap suami. Abi berpesan bahwa sekarang Arsy adalah tanggung jawab Daffa. Beliau menasehati supaya jangan mempermalukan nama Daffa, atau mengumbar urusan rumah tangga. Pernikahan pasti mengalami banyak cobaan, selesaikan dengan iman dan islam, insyaallah akan ada jalan yang Allah mudahkan. Layani suami dengan sebaik-baiknya. "Adek Abang sudah menikah sekarang. Jangan cengeng, manja lagi sama Abang. Sekarang manjanya sama suami," kata Bang Nail seraya mencubit pipiku. "Daffa jaga Adekku ya. Semoga langgeng, sampai nanti, sampai jannah-Nya." "Aamiin, Bang." "Arsy, sekarang sudah jadi istri. Jangan lupa sama kita, ya. Daffa, gak boleh monopoli Arsy, ya!" terdengar Syfa menggertak. "Insyaallah," Daffa tersenyum paham. Syifa kembali memelukku dan menagis. "Ah, cepat sekali waktu berlalu." "Udah, ih. Ini kan bukan perpisahan, kok nangis lagi sih?" komentarku garang meski akupun ikut menangis. "Arsy selamat ya," kata Kak Wulan dan Kak Mella. "Semoga diberkahi Allah." "Makasih Kak, sudah mau datang ke acara pernikahan Arsy." "Seneng deh bisa jadi saksi perjalanan kisah kalian." "Iya. Kita seolah ikut andil bersatunya kalian." "Daffa, jangan buat Arsy nangis ya." "Insyaallah." "Bentar lagi adzan nih, waktunya buka puasa. Langsung ke tempat sajian, ya," ucap Bang Nail mempersilakan. Aku hampir bergerak serempak dengan ketiga temanku yang melaju di belakang Bang Nail, namun kurasakan sebuah jemari menggenggam tanganku. "Yaa Allah, beginikah rasanya menggenggam tangan istri? Rasanya nyaman," bisiknya tersenyum lembut. "Apaan sih," tolakku malu dan risih. Setelah sekian lama tak bersetuhan dengan laki-laki bukan mahram, kulitku jadi sensitif. Rasanya seperti ada gelenyar aliran listrik. "Nggak apa-apa. Sudah sah. Udah gak dosa lagi. Malah, ini dapat pahala loh... Istriku," godanya kembali menggenggam tanganku. Hangat. Rasa yang kudapatkan di genggamannya dan pipiku yang tertutup cadar. "Iya, Suamiku." "Yaa Allah, ampuni hamba. Karena begitu ingin memeluk bidadari ini." "Udah Aa. Bentar lagi buka," ajakku malu setengah mati. "Lah, mentang-mentang udah sah berduaan mulu. Masih belum selesai loh acaranya. Bantuin Abang, nawarin undangan makan," instrupsi Bang Nail. "Ngiri ya, Bang? Alesan aja itu," balas Daffa menggoda bang Nail. "Berani ya," kata Bang Nail merangkul dan kembali menjitaknya pelan. "Aku tinggal ya," pamitku tak enak hati. "Jangan. Aa mau sama kamu aja, Dek." "Ih, malu, Aa," bisikku ketika melihat Bang Nail geleng-geleng kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN