Arsy - 15. Romansa

1524 Kata
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki." QS Al-Baqarah :223. Bunda dan Ayah sudah pulang bersama dengan rombongan sebelum isya tadi. Kami meminta mereka pulang habis tarawih bersama di masjid terdekat, tapi mereka mengatakan sekalian saja nanti tarawih di perjalanan. Kini setelah tarawih kami berkumpul di ruang keluarga, ditemani cangkir-cangkir teh dan juga setoples kue kering. Yang tersisa tinggal Umi, Abi, Bang Nail, Daffa dan aku. Aneh sekali, selesai acara pernikahan malah santai seperti ini. Tapi memang dianjurkan dalam sebuah pernikahan yang paling penting adalah sah dalam ijab kabul, masalah pesta hanya sesuai kemampuan yang menjalaninya. "Daffa, kamu dan Arsy serius akan tinggal di sini?" tanya Abi memulai pembicaraan. "Iya, Bi. Daffa juga ingin belajar di sini. Mungkin sampai rumah kami selesai direnovasi. Itu pun kalau Abi gak keberatan." "Abi gak masalah. Malah bagus, tambah rame. Tapi bagaimana dengan orangtuamu? Kamu anak tunggal mereka. Apa mereka gak kesepian kamu tinggal di sini?” "Setiap akhir pekan rencananya kita nginap di sana, Bi. Bunda juga ngerti, kalau Arsy pasti masih butuh Umi. Apalagi pernikahan kami mendadak." "Tapi, Arsy juga perlu mandiri Daffa. Biar belajar ngurus kamu, suaminya," Umi menimpali. "Bener kata Umi, Daff. Arsy harus berlatih mandiri," Bang Nail sependapat. "Daffa sih bagaimana Arsy aja. Menjadi suaminya dan bagian keluarga ini aja Daffa udah beruntung sekali," ucapnya seraya melihatku. Aku yang duduk tepat di sampingnya sekaligus sebagai obyek yang sedang dibicarakan hanya bisa diam. Binggung harus ngomong apa. Alhasil aku hanya tersenyum manis sebagai jawaban. "Jangan besar kepala, Dek," Bang Nail menasehati. "Abang apaan sih, kepala Arsy normal-normal aja nih. Orang Arsy juga diem aja, kok. Arsy sebagai istri ikut aja apa kata suami. Ya, kan, Aa?" Suara tawa Abi terdengar, "Udah berubah status nih." "Sekarang ada yang belain," kelakar Umi membuat yang lain ikut tertawa. Aku hanya bisa mengangkat bantal kursi untuk menutupi mukaku dari rasa malu. "Sudah-sudah. Sebaiknya kita semua istirahat daripada telat bangun untuk sahur," ucap Umi menegahi lagi. Sepertinya beliau tetap saja masih memihakku meskipun sesaat yang lalu ikut andil secara usil. "Iya nih, pengantin baru harusnya cepet-cepet masuk kamar. Kan, seharian sudah capek, waktunya istirahat," dukung Bang Nail tersirat. "Udah sah ini. Sekalian...." "Abi!" potongku cepat. "Arsy mau tidur duluan. Assalamu’alaikum." Aku langsung saja melangkah pergi ke kamar. "Wa'alaikumussalam. Eh suaminya kok ditinggal?" Aku tidak menjawab, tapi masih kudengar di belakangku Daffa ikut pamit. "Daffa pamit dulu Bi, Mi, Bang. Assalamu’alaikum." "Wa’alaikumussalam." Mukaku hangat, pasti merah karena perkataan Abi tadi. Sekembalinya aku ke kamar, sesegera mungkin mencuci muka dan berwudhu. Saat keluar kamar mandi aku menyadari lampu kamar yang belum sempat kunyalakan, telah dinyalakan oleh Daffa yang baru saja masuk. "Dek...." "Iya, Aa." Aku mengeringkan wajah dengan handuk. "Gimana perasaan kamu nikah sama Aa?" tanyanya menempati kasur dan duduk di sampingku. Jantungku berdetak tak karuan. Ini pertama kalinya kamarku dimasuki seorang lelaki selain Bang Nail dan Abi. Rasanya sangat gugup saat mengingat bahwa sekarang aku tak lagi sendiri. Ada suami yang sekarang berbagi kamar denganku. "Apa Aa melihat Arsy sedih?" "Kok malah balik tanya. Aa serius Dek. Aa takut kamu gak bahagia." "Insyaallah, Aa. Arsy bahagia kok nikah sama Aa. Kalau memang Aa jodoh Arsy, pasti kita gak akan berpisah, insyaallah." "Dek, Aa nggak bisa janjiin kamu akan bahagia selamanya bersama Aa. Karena Aa juga gak tahu kedepannya akan bagaimana ujian Allah atas rumah tangga kita. Tapi insyaallah, seenggaknya Aa akan berusaha buat Arsy tersenyum selalu." "Aamiin, insyaallah. Arsy juga akan berusaha jadi istri yang salihah untuk Aa. Kita sama-sama belajar menjadikan keluarga kita ini sakinah, mawadah, rahmah serta menjadi keluarga yang selalu menjadikan agama sebagai landasannya." "Kita juga belum lama mengenal. Apa Adek bisa cinta sama Aa? Adek gak terpaksa kan, nikah sama Aa?" tanyanya penuh selidik. "Insyaallah, Aa. Kalau masalah menyesal, Arsy sudah pasrahkan semua pada Allah. Abi menerima Aa gak mungkin tanpa sebab, dan Arsy percaya sama Allah. Arsy yakin Abi gak mungkin ambil keputusan tanpa alasan yang jelas, apalagi menyangkut masa depan Arsy. Semuanya sudah Arsy pasrahkan kepada Allah," ucapku tersenyum padanya. "Alhamdulillah. Terima kasih Yaa Allah, telah Engkau jodohkan aku dengan wanita sebaik Arsy," ucapnya seraya memeluk dan mencium keningku lama. "Adek suka warna biru ya?" Entahlah. Kenapa rasa pelukannya nyaman. Apa karena dia suamiku? Maka Allah timbulkan rasa nyaman saat sedang bersamanya. 'Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.' Q.S Ar Rum : 21. "Iya, Arsy suka warna biru. Biru itu tenang dan luas seperti melihat hamparan langit. Aa suka apa?" "Aa suka Adek," jawabnya santai, sambil terkekeh. "Maksud Arsy warna, Aa..." "Oh, Aa suka warna merah, atau putih. Merah itu berani dan putih itu bersih." "Putih bukannya suci?" "Berarti kalau nggak putih nggak suci dong?" "Ih, Arsy balik ya. Berarti kalau nggak putih nggak bersih dong?" "Kamu ini," tawanya berkomentar gemas. Kami begitu dekat, seolah sudah kenal lama sehingga bisa bercengkrama tanpa kaku seperti ini. "Arsy kenapa, Aa?" "Nggak papa. Kita tidur yuk, biar besok nggak telat bangun buat sahur." Aku berdiri hendak menghampiri lemari. Niatku ingin menjemur handuk dan berganti pakaian. "Iya Aa. Arsy lepas jilbab dulu." Daffa dengan sigap langsung ikut berdiri. "Arsy..." "Ya?" Tangan Daffa terangkat, terlihat canggung. "Boleh Aa bantu?" Tak kusangka kalimat itu yang akan diucapkannya. Aku mengangguk pelan, malu dan berdebar. Daffa lalu melepaskan jilbabku dengan penuh kelembutan. "Maaf, Aa. Arsy nggak begitu cantik," kataku menunduk setelah Daffa hanya diam seraya merapikan rambutku. Daffa mengangkat daguku pelan, lalu senyumnya merekah. "Maa syaa Allah. Para istri saliha itu gak harus cantik, mereka harus mulia. Mereka yang dicemburui para bidadari surga. Jangan menunduk di depan Aa. Aa kini halal bagimu, Dek. Jaga pandanganmu dari dan untuk orang lain, bukan Aa." Daffa tersenyum, sementara air mata haru milikku mengalir. Allah sungguh punya cara yang luar biasa istimewa. Meski kami baru mengenal, bila Allah sudah jodohkan dalam pernikahan, maka Allah hadirkan perasaan tenang satu sama lain, seperti milikku saat ini. Malu itu pasti ada, aku juga sangat malu saat setelah ijab qabul. Tapi, sekarang saat aku yakin dialah yang kelak bisa kujadikan pelindung maka rasa tak nyaman itu hilang. Aku ingin seperti Bunda Khadijah yang selalu mendukung suaminya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dalam menyebarkan agama Islam. Hingga Allah jadikan hubungan ini menjadi salah satu jembatan bagi kami menuju surga-Nya. "Adek..." suaranya memanggil lembut namaku. Aku menghapus air mata dan tersenyum. "Kok malah nangis?" Aku menggeleng, menolak keras kesan terluka yang mungkin sedang Daffa pikir sebagai sebab tangisku. "Bukan gitu. Para lelaki salih adalah mereka yang memuliakan istrinya, Aa. Semoga Aa mau membimbing Arsy untuk jadi istri salihah, supaya Aa nggak mulia sendirian." "Bisa aja kamu, Dek. Kita sama-sama berusaha," Daffa tersenyum meninggalkanku dan merebahkan tubuh di kasur. Aku menyampir handuk di jemuran dan menyimpan jilbabku kemuduan menyusulnya. Aku berbaring di sisinya, menghadap dan memandang teman tidurku yang baru. Dia tampan. "Boleh Aa peluk kamu?" pintanya di antara mata kami yang saling pandang. Aku tersenyum tanpa menjawab, langsung tubuhku beringsut mendekatinya. "Cuma Aa yang boleh memeluk Arsy, paling boleh dari siapa pun," ucapku dalam pelukannya. "Kamu benar. Aa ingin meminta bukan memaksa. Jangan jauh-jauh ya. Udah lama Aa nunggu momen ini." "Aa, itu... zina pikiran," komentarku ragu. Telah ditentukan atas setiap anak Adam bagiannya dari perbuatan zina, ia pasti melakukannya. Zina kedua mata adalah dengan memandang, zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan, zina lisan adalah dengan berbicara, zina kedua tangan adalah dengan menggenggam, dan zina kedua kaki adalah dengan melangkah, sedangkan hati berkeinginan dan berandai-andai, dan kemaluan mempraktekkan keinginan untuk berzina itu atau menolaknya. HR. Muttafaqun ‘alaih. "Hm, entahlah. Kadang sulit mengontrolnya. Arsy bisa tidur kalau Aa peluk kamu gini?" "Nggak tahu. Kita kan belum nyoba tidur, Aa." Sebenarnya aku ragu. Apa aku bisa tidur, kalau jantungku berisik begini. "Maaf, kamu pasti bisa denger jantung Aa yang seperti genderang." Aku jawab dengan anggukan saja, takut suaraku bergetar karena gugup. Aku memang merasakan detak jantung Daffa yang cepat, serupa milikku sendiri. "Itu karena kamu yang ada dipelukan Aa." "Memangnya siapa aja yang udah pernah Aa peluk sebelum aku?" tanya bibirku lancang. "Maaf, Aa...." Daffa malah tertawa pelan, "Gak masalah. Apa Arsy cemburu?" Aku berunding dengan pikiran. Cemburu, apa itu. "Hm, entah." "Yaah..." Sepertinya dia kecewa. "Terus, jawabannya?" "Jawabannya, nggak ada. Kecuali Aa yang pernah ada di pelukan malaikat tanpa sayap, yaitu Bunda. Percaya sama Aa, meski Aa bukan pemuda yang salih, tapi Aa selalu menjaga diri Aa untuk jodoh Aa, Arsy." "Memangnya Aa dulu nggak pernah pacaran? Maaf ya Aa kalau Arsy nanya gini, Arsy cuma...." Meski sudah dapat bocoran dari Bang Nail, aku ingin memastikan Daffa jujur padaku. "Enggak. Aa gak pernah pacaran. Adek yang pertama jadi pacar Aa. Pacar halal Aa, bidadari halal Aa, dan insyaallah untuk yang terakhir, bidadari Aa tetap Adek seorang." Terjawab sudah rasa penasaranku. Aku merasa malu. Semua pemikiranku tentang Daffa mulai terlihat kebenarannya, aku jadi merasa bersalah telah menilai keliru dirinya. "Kalau Arsy?" Deg. Apa yang harus aku jawab?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN