Arsy - 7. Memori

1606 Kata
"Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” HR. Bukhari. Suasana yang awalnya khidmat tiba-tiba sedikit tegang oleh sebuah pertanyaan tanpa tuan. Namun, reaksi Bang Nail nampaknya tetap santai. "Kalau Abang bilang 'belum', pasti rasanya mustahil, tapi kemudian saat ada kajian seperti ini di sekolah, selesai kajian kami langsung sama-sama sepakat putus. Sejak saat itulah Abang semakin mendalami ilmu agama..." Bang Nail menjawab tanpa ragu. Segala yang baik dan buruk memang sangat jelas perbedaannya, apalagi yang sudah pernah bersentuhan secara langsung. Aku pun telah lama bertaubat darinya, dengan tekad tidak akan terjebak di sana lagi. "Lalu mantan Abang di mana?" Sepertinya memang lebih mudah dipahami ketika adanya penjelasan tentang tokoh nyata. "Alhamdulillah, beliau sekarang kuliah di salah satu universitas di Kairo dan kabarnya sudah menikah dengan mahasiswa Indo di sana. Paling tidak dari cerita Abang ini dapat diambil pelajaran, bahwa putus pacaran bukan jadi penghambat masa depan, tidak pula menjauhkan kita dari jodoh. Nyatanya beliau mendapatkan suami yang hebat bukan? Menjadi jomblo fisabilillah akan membuka masa depan lebih baik lagi, jangan takut jadi jomblo. Harusnya malah bersyukur, karena dijauhkan dari zina." "Tanpa masa lalu, kita tidak akan ada di sini. Setapak langkah awal adalah penguat niat. Setiap langkah yang menuju kebaikan, Insyaallah, berpahala juga mendewasakan kita," jelas Bang Nail dengan senyum lega. Banyak wajah-wajah sumringah atas kalimat terakhir Bang Nail. Aku ikut tersenyum dengan doa tersebut. Semoga Allah kuatkan kita dari godaan syaitan yang terkutuk. Aamiin. Setelah acara selesai Bang Nail turun dan duduk bersama kami di bagian tamu undangan bersama dengan Kak Ali dan Daffa. Daffa, dia juga ikut dalam acara ini, tapi lucunya dia harus sedikit menyamar agar tidak membuat heboh sekolah ini. Sekilas aku melihat dia memakai gamis dengan sorban yang dikalungkan di leher dan memakai masker. "Ngelamun aja!" Syfa tiba-tiba menyikutku. "Eh Arsy, kamu gimana sama Daffa, ada kemajuan? Udah pesen gaun gitu belum?" "Astagfirullah, Syfa. Kok kamu nanya gitu," bisikku malu, khawatir yang lain mendengar suara riang Syfa. Syfa melihatku dengan cara yang aneh. "Lah, kenapa memangnya? Kamu nggak mau sama Daffa?" Aku masih bingung. "Aku belum tahu dia gimana, Syfa. Bagaimana dia beriman, keluarganya, akhlaknya. Aku nggak tahu apa-apa, bahkan nama panjangnya juga." "Aku tau, Daffa Ibnu Hafidz," jawabnya sambil berbisik usil. "Bukannya kamu bilang dia udah ngasih proposal?" "Iya sih, belum sempat aku baca. Tapi proposal kan cuma jadi acuan, Fa. Akhlaknya nggak bisa kita pastiin." Syfa mengangguk paham. "Abangmu sudah tahu?" Aku menunduk malu. "Sudah. Pas kemarin kami ketemu Daffa di mal. Ah, aku malu, Fa." Tanganku bergerak menutup wajah yang sebenarnya sudah ditutupi cadar. Mata Syfa membulat rusuh, "Ketemu di Mall? Wah, jodoh tuh. Gimana ceritanya, kok bisa? Ceritain dong..." Aku tersenyum melihat tingkah sahabatku yang tak canggung ini. Aku menceritakan sedikit, garis besarnya saja. Syfa menatap wajahku dengan tatapan yang berbinar seusai aku bercerita. "Alhamdulillah, Bang Nail sudah tahu. Syukurlah Sy, jadi kamu nggak galau sendirian." Aku mengangguk. "Oh ya Fa, besok temenin ya, ketemu mamanya Daffa." Syfa mengerling, "Ehem. Katanya belum kenal blablabla, tapi udah nyamprin calmer aja. Beres, besok aku temenin. Insyaallah. Yuk kita siap-siap buat buka puasa!" "Gimana kalo wudhu dulu? Kalo nanti pasti rame," ajakku menimbang keadaan. Syfa mengangguk. Beberapa langkah kami berjalan suara cicitan khasnya muncul lagi. "Eh Sy, nanti Daffa loh yang azan." "Eh, iyakah?" tanyaku biasa. "He-eh, suer deh." "Tau dari mana?" "Ada deh. Cie... nggak sabar ya, denger suara calon suami lagi azan?" "Ih, Syfa, apaan sih," kilahku malu. Setidaknya cuma Syfa yang bisa menggodaku saat ini, karena kebetulan satu kelompok yang bisa ikut hanya lima orang. Kita dijadwalkan berdakwah tidak boleh di satu tempat, jadinya menyebar. Di sini hanya aku, Syifa, Bang Nail, Kak Ali, dan Daffa. Sementara Kak Wulan, Kak Mella, dan yang lain ke tempat berbeda. Selesai wudhu terdengar kumandang azan yang mungkin diperdengarkan oleh Daffa. Subhanallah, aku belum yakin itu suaranya, tapi sungguh terdengar menyejukkan hati. Kami segera membatalkan puasa dengan takjil yang sudah disiapkan. Kemudian segera shalat berjamaah. *** Setelah seusai shalat Daffa mencari sosok Bang Nail. Perasaannya makin yakin untuk meneruskan niat terhadap Arsy, setidaknya sebagai laki-laki Daffa pikir ia perlu mendekati dan dapat nasehat pribadi dari Bang Nail, selaku mahram Arsy. Daffa mendekati Bang Nail yang sedang mengunyah kue pastel. "Bang, Daffa boleh ngomong?" "Bukannya sekarang udah ngomong?" Beliau tersenyum pelan," Becanda. Mau ngomong apa, Daff?" Daffa yang awalnya merasa tegang sedikit relaks. "Apakah pantas Daffa meminang Adek Abang?" "Arsy?" tanya Bang Nail dengan mata membulat terkejut. "Emang Abang punya Adek yang lain," kelakar Daffa menyodorkan minuman gelas. Bang Nail meminumnya. "Huft, Abang memang sudah curiga sama sikap kalian di toko buku kemarin. Jadi Abang juga sedikit banyak udah mempersiapkan diri. Ternyata masih aja Abang kaget denger langsung kayak gini." Daffa tersenyum malu. Memang, kadang ia lupa diri kalau dekat-dekat Arsy. "Daffa, pantas enggaknya kamu untuk Adekku, bukan Abang yang menentukan, tapi Allah. Abang dan juga orangtua kami hanya bisa menilai secara luarnya saja, karena hati manusia tiada yang tahu kecuali Allah dan dirinya sendiri. Abang dukung usahamu dan itikat baikmu, tapi Abang gak tahu ya, bagaiamana penilaian orangtua kami." "Jadi Abang setuju Daffa mendekati Arsy?" "Enggak. Tapi kalau untuk langsung dinikahi, Abang bantu." Bang Nail tersenyum melihat raut lega Daffa. "Abang belum bilang setuju, Daff. Abang hanya bisa mendukung niat baikmu. Lagian bagaimana kamu seyakin itu meminang Arsy? Bagaimana orangtuamu? Beliau pasti ingin anaknya dapat pasangan yang baik, maksud Abang, apa yang membuatmu yakin Arsy itu wanita terbaik untukmu?" "Entahlah, Bang. Tapi sejak kecil, Arsy-lah yang selalu melindungi Daffa dari segala bentuk zina dan hal-hal buruk, Bang." Bang Nail tersentak heran. "Abang masih binggung. Dari kecil? Setahu Abang, Arsy gak kenal kamu, deh." Daffa tidak tersinggung, malah ia tersenyum. "Arsy mungkin gak ingat Daffa, Bang. Tapi Daffa masih ingat gadis kecil di usia TK dulu mengenakan jilbab warna pink. Kami cuma bertemu sebentar, kira-kira seminggu karena Daffa dibawa orangtua pindah. Namun sampai kini Daffa dewasa, gadis kecil itu selalu seolah menemani Daffa. Daffa ingat dulu saat hampir mendorong seorang anak laki-laki yang nakal, Arsy tiba-tiba datang. Dia menggoyangkan jarinya dan berkata, 'tidak boleh' dengan logat cadelnya," cerita Daffa mengenang masa TK-nya bersama Arsy. "Kamu yakin itu Arsy?" tanya Bang Nail ragu. Daffa mengangguk, "Yakin Bang. Jadi setiap kali Daffa didekati perempuan, bayangan Arsy yang mengatakan ‘tidak boleh’ itu selalu menyadarkan Daffa, seolah mengatakan, 'Daffa kamu tidak boleh nakal Arsy menunggu Daffa di sini lho'. Jadi, itu yang Daffa maksud Arsy selalu melindungi Daffa, Bang. Wajar sih kalau andaikan Abang gak percaya, tapi itulah kenyataan dari yang sebenarnya Daffa alami Bang." Bang Nail mengangguk-anggukan kepalanya pertanda mengerti. Sedikit heran karena pemuda di hadapannya begitu berbinar-binar saat menceritakan tentang adiknya. "Baiklah, Daffa. Abang percaya, asal jangan kamu khayalkan macam-macam. Dia belum sah atau halal untukmu, nanti malah jadi dosa. Barusan dikasih tausiah, masa udah lupa?" Daffa tersenyum malu-malu. "Alhamdulillah, Bang. Akan Daffa ingat." "Istiqomah saja dan serahkan semua kepada Allah, karena Allah-lah Sang Penguasa Hati, Dia bisa membolak-balikkan hati setiap hamba-Nya. Pintalah di sepertiga malam. Jika Arsy jodohmu, gak akan ke mana kok." "Terimakasih, Bang. Lega rasanya bisa cerita sama Abang." "Sama-sama. Cari makan, yuk! Kita tadi cuma membatalkan puasa dengan makanan ringan, sekarang kita harus cari makan dulu, Abang laper." Daffa balas mengangguk. "Sama Bang. Maaf tadi langsung ngajakin Abang ngobrol." "Gak pa pa." Mereka pamit setelah acara berbuka selesai. Jam sembilan lebih lima belas menit, Daffa berpisah dengan Arsy dan Bang Nail setelah tarawih bersama di masjid dan makan malam. Arsy mengikuti Bang Nail naik mobil dan pulang ke rumah. Di pertengahan jalan, tiba-tiba Bang Nail menceritakan pembicaraannya dengan Daffa yang ingin meminang Arsy. Arsy hanya diam dan mendengar cerita Bang Nail tentang obrolannya bersama Daffa tadi. "Kayaknya dia beneran serius," simpul Bang Nail mengakhiri cerita. "Tadi juga Daffa bilang, mamanya mau ketemu Arsy, Bang. Gimana dong Bang?" "Dek, semua keputusan ada di tanganmu. Menurut Abang, ceritakan sama Abi dan Umi. Biar Abang yang akan undang Daffa ke rumah untuk ketemu orang tua kita." "Tapi Bang, apa gak terlalu cepat? Arsy belum mengenal Daffa dengan baik, bahkan pertemuan pertama kami pun gak berkesan baik," keluhnya masam. "Baru juga Arsy tau dia beberapa hari yang lalu." "Yakin itu pertemuan pertama kalian?" Bang Nail memang tidak menceritakan kenangan Daffa di bagian TK, untuk menyamakan kisah mereka dulu. Mungkin saja Daffa salah orang. "Yakinlah, Bang. Memangnya kapan Arsy ketemu dia?" tanya Arsy tak berpikir. "Hm." "Arsy juga bingung kenapa dia tiba-tiba ngajuin proposal. Mungkin dia salah orang, Bang." "Dek, dulu saat TK, apa kamu masih ingat ada temanmu yang pindah sekolah?" pancing Bang Nail. "Hm, ada sih tapi lupa siapa. Yang Arsy ingat, dia anak laki-laki pendiam. Dulu dia hampir mukul temen Arsy, laki-laki juga. Arsy nggak tahu alasannya sih, kenapa anak itu mau mukul mereka, tapi Arsy sempat halangi dia. Besoknya Arsy sakit seharian, hari berikutnya pas masuk sekolah lagi, Arsy lihat dia pamitan. Entahlah, setelah itu Arsy gak ketemu dia lagi," terang Arsy yakin. Bang Nail mendengarkan cerita dari versi Arsy dan ceritanya memang mirip. Mungkinkah jodoh. Bang Nail melirik singkat adiknya. "Dek, percaya nggak bahwa sejauh apa pun jodohmu pergi maka dia akan kembali lagi?" "Percaya atuh, Bang. Memangnya kenapa?" Bang Nail tersenyum mendengar jawaban itu. "Nggak pa pa, cuma nanya aja." Mereka melanjutkan obrolan yang ringan-ringan saja sampai tiba di rumah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN