“Kenapa, Imbi?” tanya Mas Bram, singkat. Aku mengernyitkan dahi. Untuk pertanyaan sependek itukah, sesaat lalu, Mas Bram hingga menarik napas panjang? Seolah, lelakiku itu sedang mengumpulkan energi untuk menyampaikan sesuatu yang sulit dan berat. Lagipula, apa tidak salah? Bukankah semestinya, aku yang bertanya seperti itu, dan bukannya dia? Sebab, tadi, Mas Bram yang melontarkan pertanyaan tak enak, yang bagiku sangat sarkas. “Kenapa?” Aku mengulangi pertanyaan Mas Bram itu dengan tempo lambat dan nada yang seolah kutujukan pada diriku sendiri. Pandangan kami bertautan. “Bukannya, aku yang harusnya bertanya begitu, Mas?” Mas Bram memicingkan mata, membuat kulit dahinya membentuk kerut-kerut dan lipatan. Apakah dia memang benar-benar tak mengerti dengan apa yang kumaks