Tuhan, Aku Cemburu

2158 Kata
    Semula, aku hendak menghidangkan teh manis hangat untuk kami bertiga. Pernah k****a pada sebuah buku kesehatan, teh dipercaya sebagai salah satu minuman relaksasi. Kandungan kafeinnya, meski prosentasenya kecil, mampu memberikan rasa tenang pada peminumnya. Sehingga, sangat direkomendasikan untuk dihidangkan bagi mereka yang sedang berada di dalam ketegangan ataupun kegalauan.     Bukankah itu pas sekali untuk kami bertiga saat ini? Entah bagi mereka berdua, kalau bagiku memang demikian. Aku sedang butuh sesuatu yang bisa menenangkan. Sebab, bohong besar, jika kukatakan bahwa aku fine-fine saja melihat Mas Bram bersama calon istri mudanya itu. Faktanya adalah, angin bohorok langsung menerjang dan memporak-porandakan ruang dadaku, sejak kulihat aura kemesraan berpendar dari mereka berdua saat duduk bersebelahan di ruang tamu. Walaupun di luar aku tampak tenang dan tidak memberikan reaksi layaknya istri yang cemburu, namun sesungguhnya, di dalam, jiwaku sedang meronta dan meradang.     Aku berubah pikiran sesampainya di dapur. Bukan lagi teh manis hangat, melainkan minuman dingin manis yang ingin kubuat. Ide itu muncul tiba-tiba. Saat aku berdiri menatap taman belakang lewat jendela besar yang kubiarkan terbuka. Terinspirasi oleh sensasi sejuk yang kurasakan, sewaktu sepoi kecil tiba-tiba masuk dan menerpa wajahku.     Seketika, terbersit dalam pikiran, bahwa yang kubutuhkan ternyata bukan hanya sesuatu yang sekadar menenangkan, tetapi juga mendinginkan. Sebab, temperatur hatiku sedang tinggi sekarang ini. Melonjak drastis dari suhu normal, saat melihat chemistry yang terbangun di antara Mas Bram dan perempuan bernama Kartika itu.     Suara mesin juicer sudah berhenti. Isinya pun sudah kutuang ke dalam tiga buah gelas tinggi. Kutambahkan beberapa bongkah es batu dan beberapa sendok madu asli ke dalamnya untuk perisa rasa manis. Irisan jeruk lemon kupasang sebagai garnis, pemanis pada bibir gelas. Cantik. Aku menatapnya dengan rasa puas. Tak kalah dengan tampilan minuman-minuman yang dihidangkan di kafe-kafe atau restaurant mahal.  Akan tetapi, sejurus kemudian ….     “Huffth ...!” Aku mendengkus refleks.     Untuk apa sebenarnya kulakukan semua ini? Meracik minuman habis-habisan agar rasanya nikmat dan tampilannya menggoda. Padahal nantinya akan dihidangkan untuk orang yang membuat hatiku sakit. Untuk mendapatkan pujian dari Mas Bram, kah? Bah! Sampai dunia kiamat sekalipun, laki-laki itu tak mungkin melontarkan pujian untukku. Anti. Pantangan baginya. Atau … pujian dari Kartika?  Entahlah, yang pasti, aku hanya tak ingin terlihat buruk saja di matanya. Tak ingin terlihat sebagai istri yang penuh kekurangan dan cacat cela. Tak ingin kalah! Meski pada kenyataannya, aku memang telah kalah. Ya aku kalah!     Sebuah godam tak kasatmata kembali menghantam dan menggerus hati ini. Selalu seperti itu, setiap kali kuingat kenyataan, bahwa aku telah kalah. Refleks, kupegangi dadaku. Aduh, sakit sekali!         Tak dapat kucegah,  sebutir ait mata lolos, jatuh dari sudut mata. Disusul kemudian oleh butiran-butiran selanjutnya.     “Apa minumannya sudah siap, Imbi?”      Suara berat Mas Bram yang terdengar tiba-tiba, membuatku terhenyak. Dia menyusul ke dapur. Ada apa gerangan?      Refleks, aku melihat kepadanya. Kami bersirobok pandang, sekian detik lamanya. Namun kemudian, buru-buru kualihkan pandangan pada tiga gelas orange juice di hadapanku, seraya mengusap pipi yang basah dengan kedua telapak tangan.      “A… ada apa?” tanyaku dengan suara parau.      “Kau lama sekali. Apa minumannya sudah siap?”     Oh, ternyata untuk minuman-minuman itu, Mas Bram menyusul ke dapur. Bukan untuk melihat dan mengkhawatirkan keadaanku, setelah bertatap muka dengan perempuan yang akan menjadi istri mudanya.     “I… iya.” Aku mengangguk, “Su… sudah.” Kutunjuk salah satu gelas berisi orange juice yang berdiri paling pinggir.     “Kau menangis?”     Alih-alih menjawab, aku langsung beranjak dengan buru-buru, menuju lemari perkakas dapur di sudut ruangan. Lalu, kembali lagi dengan sebuah nampan yang terbuat dari kayu mahoni di tangan. Kuletakkan gelas-gelas itu di atasnya.      “Ini, sudah akan kubawa keluar,” kataku kemudian.     “Tidak usah dibawa kaluar,” cegah Mas Bram segera, menghentikan gerak tanganku yang sudah siap mengangkat nampan. “Kita mengobrol di sini saja!” lanjutnya, seraya menunjuk ke arah meja makan dengan gerakan kepalanya.     Sontak, kutatap Mas Bram dengan mata yang membulat lebar, “Mengobrol di sini?” tanyaku, tak percaya, atau lebih tepatnya, sedikit protes.     “Ya!” jawabnya, tegas. “Kita bertiga akan mengobrol di sini!”     “Ta… tapi, Mas …?”     “Kartika bukan tamu di rumah ini!” sergah Mas Bram, tegas. “Dia bukan tamu, Imbi!” ulangnya sekali lagi, seolah mengingatkanku tentang  kedudukan perempuan bernama Kartika itu yang sebenarnya.     Aku menelan ludah dan tak lagi membantah. Tanpa sadar, jari-jemariku mengepal kuat, sebab rasa ngilu di dalam relung hati yang kutahan sekuat tenaga. Untuk yang kedua kalinya, kusaksikan, betapa suamiku itu rela pasang badan demi membela dan memperjuangkan perempuan yang hendak dijadikannya istri muda itu. Ah … Kartika!      Sebenarnya, protesku belum selesai, namun, apa mau dikata, Mas Bram sudah memutuskan demikian. Dia yang paling berhak memutuskan apa pun di dalam rumah ini. Bukan saja karena dia adalah pemilik rumah, tetapi lebih dari itu, karena dia adalah nahkoda dari biduk yang sudah rapuh sejak awal mula berlayar. Karena tak ingin karam dan tenggelam di tengah samudera, maka sebagai awak kapal, aku hanya bisa menurut apa pun perintah yang keluar dari mulutnya.     “Ba… baiklah,” gumamku pasrah.     Setelah itu hening. Entah apa yang sedang diamati oleh Mas Bram dari tempatnya berdiri, namun aku merasa, sepasang mata elang lelaki itu masih tertuju kepadaku.     “Kau harus sudah mulai siap, Imbi!” tukasnya kemudian, mengakhiri kebisuan.     Sontak, aku melihat lagi kepadanya. Pandangan kami bertemu dan saling berbenturan.       “Ha … harus si … siap?” Aku terbata. “A … apakah, ka … kalian se … segera …”     Tak mampu kulanjutkan pertanyaan itu. Buru-buru kutundukkan  kembali pandangan, sebab mata yang kembali memanas dan pandangan yang mulai memburam.     “Tidak ada salahnya menyiapkan diri dari sekarang!” tukas Mas Bram dengan suara tegas. “Lanjutkan menyiapkan minumannya. Akan segera kubawa Kartika kemari!”     Setelah mengatakannya, laki-laki yang demi Tuhan sangat kucintai itu berbalik badan. Berjalan meninggalkanku menuju ruang tamu di mana perempuan mungil berparas manis yang telah berhasil mencuri hatinya tersebut berada. Meski dengan setengah hati, kubawa nampan kayu dengan tiga gelas orange juice itu menuju meja makan.     Sesaat aku bingung, apa yang harus kulakukan sekarang? Mengambil duduk sambil menunggu kedatangan mereka, ataukah pura-pura sibuk saja? Sebab, jujur saja, setelah mendengar kata-kata Mas Bram sesaat lalu, sepertinya aku butuh untuk menenangkan hati terlebih dahulu, sebelum kembali melihat perempuan bernama Kartika itu. Rasa-rasanya, akan sulit bagiku untuk beramah-tamah dalam suasana hati seperti ini.     Sayup-sayup kudengar suara langkah-langkah kaki. Semakin lama semakin mendekat. Tak ada waktu lagi untuk mempertimbangkan panjang lebar. Kuputuskan untuk memilih opsi kedua. Buru-buru, aku pergi menjauh, kembali ke kitchen set-ku dan pura-pura sibuk. Kunyalakan keran air, kumasukkan beberapa perkakas yang sebenarnya tidak kotor ke dalam bak cuci piring. Setelah itu, aku berpura-pura sedang tenggelam dalam kesibukan.     “Di sini, Tika,” kata Mas Bram semringah setelah mereka berdua sampai ke ruang dapur sekaligus ruang makan kami. Mas Bram menggiring perempuan itu menuju meja makan dan menarik satu buah kursi di dekat jendela untuknya.     “Silakan duduk.”     Alih-alih menuruti perkataan Mas Bram untuk duduk, Kartika justru berjalan mendekatiku.     “Sibuk, ya, Mbak Imbi?” tanyanya dengan nada suara tanpa beban. Apakah perempuan ini memang seorang yang periang, ataukah dia hanya berpura-pura saja? Sedari datang tadi, tak satu kali pun kudapati suaranya terdengar berat atau tertekan.     “Ah, tidak. Sudah selesai,” jawabku tanpa menoleh kepadanya. Kukondisikan sedemikian rupa, agar suaraku tak bergetar karena pergolakan yang terjadi di dalam hati.     “Saya bantu, ya, Mbak.” Kartika  menawarkan diri.      “Tidak usah. Silakan duduk saja,” jawabku, sembari memberi isyarat, agar dia kembali ke meja makan dan duduk.     “Tidak apa-apa, biar saya bantu.” Perempuan itu masih berkeras.     “Tidak usah!” tolakku lagi     “Tak apa, Mbak Imbi. Di rumah saya juga terbiasa melakukannya.”     “Aku bilang, tidak usah!” hardikku dengan suara tinggi dan mata yang hendak melompat keluar. Kartika tersentak. Begitupun aku. Jangankan dia, aku sendiri juga kaget dengan apa yang baru saja kulakukan. Lewat ekor mata, kulihat Mas Bram di tempatnya berdiri. Laki-laki itu juga tampak terkejut dan melongo.      Semuanya terjadi begitu saja. Sama sekali tak kurencanakan atau kuniatkan. Aku hanya merasa risih dan tidak nyaman, saat perempuan itu mendekatiku. Terlebih, ngotot mau menawarkan bantuan.      Apa dia tak mengerti, bahwa aku ini perempuan biasa yang juga punya perasaan? Apa dia tak berpikir, bahwa bagaimanapun juga, aku adalah seorang istri? Istri mana yang tak cemburu, melihat suaminya jatuh cinta dan bersama perempuan lain? Terlebih, itu berlangsung di depan mata kepalanya sendiri. Lebih dari itu semua, apa dia tidak paham, bahwa situasi ini tidaklah mudah, bahkan teramat sulit bagiku?     Apakah dia benar-benar tidak mengerti tentang semua itu? Bukankah jika menilik dari penampilan luarnya, dia begitu muslimah? Bukankah seharusnya, hatinya begitu lembut dan peka? Ataukah, semua yang dia tampakkan itu hanyalah palsu? Kamuflase? Untuk menutupi jati dirinya yang asli? Apakah sebenarnya dia sama saja seperti perempuan yang mengganggu rumah tangga Bu Hanin?     Kartika langsung terdiam dan menunduk. Sementara Mas Bram, masih terpaku di tempatnya berdiri. Suasana yang sejak awal sudah tak nyaman  itu menjadi kian tidak enak. Aku bingung dan salah tingkah, tak tahu harus bagaimana dan berbuat apa.     Apakah aku meminta maaf saja pada perempuan yang telah memenangkan hati Mas Bram itu? Tetapi untuk alasan apa? Karena membentaknya?     Ah, tidak! Tentu tidak! Bukankah wajar saja, jika aku marah kepadanya? Aku sudah memperingatkannya dengan menyuruhnya duduk saja, tadi. Apa susahnya dia menurut? Mengapa justru keras kepala dan tetap mendekatiku?     “Ehem!”     Suara deheman tiba-tiba terdengar, mengusik kesunyian yang sedang berlangsung. Entah,  hanya pendengaranku saja ataukah memang pada kenyataannya memang demikian, suara deheman suamiku itu terdengar lebih nyaring dari biasanya.      “Arimbi, Kartika,” panggil Mas Bram kemudian, “ayo, kemarilah kalian berdua! Kita semua ngobrol di sini,” tukasnya, memberi perintah.       Nyaris berbarengan, aku dan Kartika menoleh ke arahnya. Kulihat, lelaki yang telah menikahiku itu sedang menatap kami berdua secara bergantian. Sepertinya, dia sudah lepas dari keterkejutannya dan telah berhasil menguasai kembali keadaan. Wajahnya terlihat serius, demikian pula dengan gestur tubuh dan sorot matanya. Itu tandanya, dia sedang berada dalam ketegangan. Saat berada pada situasi seperti itu, Mas Bram biasanya akan sangat sensitif dan mudah tersulut emosinya. Tanpa sadar, aku menahan napas, takut kalau-kalau akan melakukan kesalahan lagi.      “Maaf, Mbak Imbi,” ucap Kartika, lirih. Perempuan itu sempat melihat sebentar padaku, saat mengucapkannya. Sorot matanya terlihat muram. Entah karena merasa sedih ataukah menyesal. Setelah itu, dia berbalik badan, berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi yang telah ditarikkan Mas Bram untuknya. Sedangkan aku, masih diam terpaku di tempatku berdiri dan belum bergerak barang sejengkal pun.     “Kau juga, Imbi!” tukas Mas Bram, beberapa saat kemudian. Mungkin karena dilihatnya aku masih belum juga menunjukkan tanda-tanda hendak bergerak.     “Matikan keran airnya dan duduklah di sini juga!” ulangnya. Aku menelan ludah dan mengangguk lemah. Segera, kulakukan seperti apa yang dia perintahkan. Mematikan keran air dan berjalan gontai menuju meja makan.     Keheningan melingkupi kami bertiga yang duduk mengelilingi meja makan. Kartika duduk di dekat jendela, di kursi yang dulu diduduki oleh Bu Hanin. Mas Bram di kursi sebelahnya. Sedangkan aku, tetap, berada di seberang mereka.     Aku mencoba mencuri pandang kepada dua orang di depanku. Kuihat, mereka berdua pun melakukan hal yang sama. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu, namun kukira, Kartika sedang ketakutan saat ini. Kentara dari sorot matanya saat pandangan kami berpapasan. Sedangkan Mas Bram, masih terlihat tegang. Garis-garis wajahnya yang tirus dan tegas kian terlihat kaku.     “Ini minuman yang dibuatkan Imbi untukmu, Tika” Mas Bram berkata, mengakhiri hening. Diambilnya satu dari tiga gelas yang ada di atas nampan, lalu diletakkannya di hadapan Kartika. “Minumlah! Siapa tahu bisa membuat perasaanmu lebih enak.”     “Te… terima ka… kasih,” ucap perempuan itu, takut-takut. Pandangannya mampir sebentar kepadaku.     “Kau juga, Imbi. Minumah! Agar suasana hatimu menjadi lebih dingin!”     Aku tak menyahut dan hanya menelan ludah. Masih kutunggu, akankah lelaki dihadapanku itu juga akan mengambilkan minuman bagianku dari atas nampan seperti yang dia lakukan untuk perempuan di sebelahnya itu.     Sedetik-dua detik, kira-kira hampir sepuluh detik berlalu. Aku masih belum juga bergerak seperti yang diperintahkannya. Mungkin karena menyadari sikap protesku itu, Mas Bram melihat kepadaku dengan sorot mata penuh telisik. Tak seberapa lama kemudian, tangannya bergerak, mengambil satu gelas dari atas nampan dan meletakkannya di hadapanku.     “Itu, minumlah!” tukasnya seraya menunjuk minuman di depanku dengan gerakan dagunya yang kehijauan bekas dicukur pagi tadi.      “Ayo, kalian berdua, minumlah! Kenapa hanya dipandangi saja?!”     Hampir berbarengan, aku dan perempuan di hadapanku itu menyentuh gelas dan meneguk isinya. Setelah itu, Mas Bram melakukannya juga. Meminum orange juice yang menjadi bagiannya.     “Bagaimana, Tika, enak?” tanya Mas Bram, setelah calon istri mudanya itu meletakkan kembali gelas ke atas meja.     “I… iya. Se… segar.” Masih dengan takut-takut, perempuan itu menjawab.     “Kau, Imbi, bagaimana?  Apa yang kau rasakan? Apakah hatimu menjadi dingin sekarang?”     Aku tak langsung menjawab. Melainkan menatap Mas Bram tepat pada manik hitam matanya. Apa maksudnya laki-laki itu bertanya demikian? Kurasa, Mas Bram yang cerdas dan cermat itu mengerti dengan makna tatapan mataku. Karenanya, kemudian dia menarik napas panjang. Sepertinya, ada yang hendak dia sampaikan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN