Aku baru saja selesai memulaskan pemerah bibir warna nude kesukaan, saat suara mesin mobil terdengar, memasuki halaman rumah. Tanpa melihatnya terlebih dahulu pun, aku sudah langsung bisa mengenalinya. Itu suara Mitsubishi Xpander milik Mas Bram. Mungkin, inilah yang disebut sense of sound, kepekaan mengenali suara.
Tak ada bunyi klakson yang berteriak-teriak meminta untuk dibukakan pintu pagar, seperti yang biasa terjadi beberapa hari belakangan. Sebab, siang ini, memang sengaja aku tak mengunci pintu gerbang depan. Bahkan membukanya lebar-lebar. Sehingga, sewaktu-waktu Mas Bram yang sedang menjemput Kartika sampai di rumah, mobilnya sudah langsung bisa masuk ke dalam halaman. Bukannya tanpa alasan hal itu kulakukan.
Alasan pertama, karena aku tahu, rumah sebelah sedang kosong. Seluruh penghuninya tengah pergi ke luar kota. Berangkat pagi tadi, saat aku sedang menyirami tanaman di halaman depan. Ketika kutanya, sampai kapan mereka akan ada di luar kota, Bu Hanin bilang, akan kembali paling cepat dua hari lagi. Mereka pergi ke Surabaya. Mertua Bu Hanin, yaitu bapaknya Pak Herlambang, sedang sakit keras dan di-opname di rumah sakit. Komplikasi, katanya. Entah, komplikasi apa. Aku tak sempat menanyakannya lebih jauh. Sebab, tadi pagi, mereka tampak terburu-buru. Dengan demikian berarti, selama itu pula, aku akan merasa aman meskipun tak mengunci pintu pagar. Tak akan ada yang tiba-tiba nyelonong masuk halaman rumahku untuk bertamu dan menggosip.
Alasan kedua, sudah barang tentu berkaitan dengan acara hari ini. Aku tak ingin menjadi jatuh nilai di mata calon istri muda suamiku, hanya karena harus tergopoh-gopoh membukakan pintu pagar untuk mereka, layaknya seorang pembantu. Jika saja di dalam mobil itu Mas Bram sendirian saja, tidak ada perempuan itu, no problem, tidak masalah bagiku jika harus selalu membukakan gerbang, bahkan meski hingga berkali-kali dalam sehari sekalipun. Akan tetapi, sayangnya, khusus siang ini, Kartika ada di dalamnya.
Walaupun telah yakin, bahwa Mas Bram dan calon istri mudanya telah datang, aku tidak buru-buru keluar untuk menyambut mereka di halaman. Akan tetapi, kupilih tetap geming, berdiam di dalam kamar, seolah-olah masih sibuk mematut diri. Padahal, sebenarnya sudah selesai dan siap. Apakah itu berarti aku bersembunyi?
Mungkin, iya. Tetapi, peduli setan! Bodo amat! Sebab, akan lebih baik dan lebih nyaman bagiku, jika nantinya, mereka—Mas Bram dan Kartika—yang mencariku untuk bertemu. Bukan sebaliknya, aku yang seolah menunggu kedatangan mereka, layaknya rakyat jelata menyambut hadirnya raja dan ratunya.
Semenit-dua menit berlalu. Aku tak mendengar apa pun. Apa sebenarnya yang terjadi dan apa pula yang mereka lakukan di luar sana? Mengapa tak kunjung terdengar suaranya? Kupertajam pendengaran. Namun, tetap saja aku tak mendengar apa-apa, kecuali kegaduhan yang terjadi di ruang dadaku sendiri. Ya, debar di dalam dadaku kian tertalu-talu.
Secantik apa sebenarnya perempuan bernama Kartika itu? Apakah aku kalah jauh? Jika menilik dengan mudahnya Mas Bram bisa jatuh cinta, bahkan sangat membelanya ketika aku mempermasalahkan soal status ‘janda’-nya, pastilah dia bukan orang biasa atau orang sembarangan. Melainkan, perempuan yang istimewa, sangat menarik dan penuh pesona, sehingga suamiku itu tergila-gila.
Serta-merta, seraut wajah milik perempuan yang hadir di dalam mimpuku muncul kembali di pelupuk. Benarkah dia adalah Kartika? Jika benar, pantas saja bila Mas Bram begitu kepincut. Sebab, perempuan itu tak hanya cantik, tetapi juga sangat seksi dan menggoda. Semua yang ada padanya nyaris sempurna. Mata, hidung, bibir, kulit, dagu, dan juga posturnya. Kurasa, siapa pun, laki-laki di dunia ini akan tergila-gila.
Mengingat sosok dalam mimpi itu, hatiku tergelitik untuk memeriksa kembali penampilan. Aku bangkit berdiri, kuhampiri cermin. Untuk yang kesekian puluh kalinya, kupatut diri di depannya. Kuteliti dari ujung atas hingga bawah, adakah yang masih kurang match dari penampilanku?
Aku memilih dress panjang warna maroon dengan potongan sederhana, namun elegan. Ibunya Mas Bram yang membelikannya, beberapa bulan lalu, sebagai hadiah ulang tahunku yang ketiga puluh dua. Beberapa orang yang pernah melihatku mengenakannya—Ibu, beberapa sepupu, dan teman-teman di komunitas—mengatakan, bahwa aku dan baju itu seperti soulmate, sejiwa. Bukan saja warnanya yang sangat cocok dengan warna kulit, tetapi juga potongan dan modelnya, match dengan bentuk tubuhku. Oleh karena itu, aku sangat percaya diri setiap kali memakainya.
Sebenarnya, bukan hanya karena alasan tersebut saja yang membuatku memutuskan untuk memilih gaun maroon ini. Kalau hanya untuk alasan tampil elegan saja, aku masih bisa memilih yang lain. Di dalam lemari, masih ada beberapa yang tak kalah berkelasnya. Namun, karena adanya alasan lain, maka tak bisa tidak, aku harus memilih pemberian mertuaku ini.
Aku akui, alasan lain tersebut sebenarnya adalah alasan konyol dan kekanakan. Bagaimana tidak konyol dan kekanakan, jika tujuanku mengenakannya adalah untuk menggertak dan menjatuhkan mental lawan.
Untuk berjaga-jaga, kurasa, itu istilah yang lebih tepat untuk menjelaskan perihal alasan konyol dan kekanakan tersebut. Ya, berjaga-jaga, kalau-kalau, si Kartika yang hendak diperkenalkan Mas Bram kepadaku ternyata sama persis tabiatnya dengan Kartika yang kujumpai di alam mimpi. Seorang perempuan yang agresif, ambisius, dan tak mau kalah. Jika memang demikian adanya, maka aku bersumpah akan memamerkan dengan bangga, bahwa baju ini adalah hadiah dari mertua perempuan sebagai tanda cinta dan sayangnya. Agar si Kartika itu tahu diri dan tak memandang remeh posisiku. Bahwa di hati orangtua dan keluarga Mas Bram, akulah menantu yang diterima dan dicintai. Jadi, andai dia memang berniat menyingkirkanku, sebaiknya berpikir seribu kali lagi.
Rambutku yang panjang dan telah mencapai bahu, kubiarkan tergerai begitu saja. Hanya kurapikan dengan sikat rambut dan sisir tanpa menambahkan asesoris apa pun. Aku menatap cermin dengan perasaan yang sangat puas. Sudah selayaknya jika aku bersyukur, sebab Tuhan telah menganugerahkan rambut yang lurus dan lebat itu. Sehingga, aku sangat dimudahkan selama ini. Tak butuh trik yang terlalu rumit demi membuatnya terlihat menarik.
Setelah cukup dengan rambut, pandanganku beranjak menuju wajah. Kutatap cermin lebih seksama. Untuk riasan wajah, aku tetap setia pada gaya minimalis. Tak kutambahkan apa-apa pada wajahku. Hanya bedak tipis dan seulas lipstick. Sungguh mati, aku tak ingin terlihat menor dan murahan.
“Ehm!”
Aku terlonjak kaget. Serasa hendak copot jantungku karenanya. Tiba-tiba saja, Mas Bram sudah berada di ambang pintu kamar dan berdehem. Sejak kapan dia ada di sana? Benar-benar tak kudengar suara langkah kakinya.
Aku menoleh. Pandangan kami bersirobok untuk sekian detik lamanya. Mas Bram tampak terpana, mengamatiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Namun, tak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya. Tidak kritikan, tidak juga pujian.
“Imbi,” panggilnya dengan suara yang tetap saja dingin.
“I … iya?”
“Dia sudah datang.”
Aku membisu. Sebab, ruang d**a yang semakin gaduh.
“Imbi …,” panggil Mas Bram lagi.
“Hmmm?”
“Kartika ada di ruang tamu.” Dia memberi tahu, “ayo, keluarlah!”
Aku tidak menyahut. Bahkan bergerak sedikit pun tidak.
“Imbi, kau sudah berjanji, semalam!” Mas Bram mengingatkan. Bukan hanya nada suaranya saja yang mengisyaratkan kecemasan, tetapi juga raut wajahnya. Aku menelan ludah, kemudian mengangguk lemah, “I … iya, Mas.”
Mas Bram kembali melihatku dari ujung kepala hingga kaki, sebelum dia berbalik badan dan berlalu, meninggalkanku sendirian. Ruang kamar kembali sunyi. Mendadak, tubuhku terasa gemetar. Oh, Tuhan … kumohon!
****
Apakah aku tak salah lihat? Ataukah, aku sedang berhalusinasi karena rasa nervous yang tak mampu kukendalikan? Kukerjap-kerjapkan mata, untuk memastikan. Akan tetapi, yang terlihat di hadapanku tetaplah sama, tidak berubah barang sedikit pun. Ya Tuhan, apakah ini nyata?
Perempuan yang berdiri di hadapanku itu tidak terlalu tinggi. Kutaksir, tidak ada 160 cm. Bisa jadi, hanya 155. Sebab, aku lebih tinggi darinya. Padahal, aku hanya 162 cm.
Dia tidak mengenakan rok mini, gaun berpotongan leher rendah yang mempertontonkan belahan d**a, ataupun baju ketat yang membuat lekuk-lekuk indah tubuhnya terekspos. Bahkan, seperti apa rambutnya, aku tak tahu. Apakah keriting ataukah lurus? Panjang atau pendek? Apakah selegam rambutku ataukah justru bercat pirang?
Perempuan itu berbalut baju gamis merah maroon dengan khimar berwarna senada yang panjang menjuntai, menutupi kepala hingga bagian pinggang. Hanya wajahnya saja yang terlihat. Mengapa dia juga memilih maroon dan bukan warna yang lainnya saja? Apakah maroon juga warna favoritnya? Jika iya, mengapa bisa sedemikian kebetulan? Ataukah karena dia tahu bahwa warna itu adalah warna kesukaanku dan juga Mas Bram, sehingga sengaja memilihnya siang ini untuk menarik perhatian suamiku itu? Ah, menyebalkan sekali! Serasa ada perasaan tidak terima yang menghentak di dalam hati ini.
“Imbi, ini Kartika. Kartika, ini Arimbi.” Mas Bram memecah kebisuan dengan memperkenalkan kami satu sama lain.
Perempuan bernama Kartika itu maju satu langkah, mengulas senyum, mengangguk sopan, lalu mengulurkan tangannya. Aku tak langsung menyambut. Sebab masih sangat shock dan belum bisa mempercayai pengelihatanku. Bangaimana tidak shock, jika kenyataan yang kudapati ternyata sangat jauh dari ekspektasi selama ini.
“Imbi!” tegur Mas Bram, dengan disertai isyarat gerakan kepala. Aku mengerti, apa maksudnya.
Kusambut uluran tangan perempuan itu. Sejurus kemudian, kami sudah saling berjabatan.
“Kartika.” Perempuan itu menyebutkan nama. Suaranya terdengar lembut dan ringan, seolah tanpa beban.
“Arimbi,” balasku, kaku dan berat. Setelah itu, kami bertiga hanya berdiri mematung, saling berhadapan.
Kartika tampak rikuh. Dia buru-buru menundukkan pandangan, sebab kulihati tanpa berkedip dengan sorot mata menilai. Ya, aku memang sedang mengukur lawanku dari ujung atas hingga bawah. Bukankah memang demikian yang selalu terjadi di antara dua orang perempuan yang sedang bersaing saat berhadapan? Entah benar atau tidak, tetapi seperti itu yang pernah k****a dari sebuah buku bergenre psikologi.
Tak hanya cara berpakaian Kartika saja yang terkesan sederhana, tetapi juga caranya berdandan. Jangankan memakai softlense, berbulu mata palsu, ataupun berkuku panjang dengan warna cat yang menyala—seperti yang kulihat di dalam mimpi—sedikit pulasan blush on, maskara, atau eye shadow saja tak kutemukan pada wajahnya. Bulu matanya asli, cukup lentik, meski tidak terlalu panjang dan lebat. Bahkan, aku juga tak melihat adanya sentuhan pensil alis pada sesuatu yang melengkung di atas matanya, meski tipis sekalipun. Pendek kata, semua yang ada pada wajah perempuan di hadapanku itu tampak asli. Kalaupun ada yang tidak alami, itu hanyalah warna merah muda pada bibirnya. Dia mengulaskan lipstick berwarna soft pink yang lembut. Sebenarnya, sedikit kurang match dengan warna baju gamis dan hijab yang dikenakannya. Namun demikian, dengan berat hati harus kuakui, dia cukup menarik. Berparas manis, khas wajah perempuan Jawa.
“Mengapa kalian hanya mematung saja?” Kembali terdengar suara bass milik Mas Bram, “Kau tidak mempersilakan Kartika duduk, Imbi?” Laki-laki itu menatapku.
“Oh, eh, i … iya, maaf,” kataku, sedikit kaku, sebab tenggorokan yang serasa tercekat. “Si… silakan, Ka … Kartika.”
“Terima kasih, Mbak Imbi,” jawab perempuan itu, terdengar manis dengan anggukan kepala yang luwes dan sesungging senyum yang tampak tulus.
Aku tercenung. Apa? Dia menyebutku Mbak Imbi? Sejak kapan kami akrab, sehingga dia bisa menyapa dengan nama kecilku seperti itu? Bahkan, lihatlah cara dia menyebutkannya, sama sekali tidak terkesan canggung, nervous, atau kaku. Seolah, aku bukanlah orang asing yang baru sekali ini ditemuinya.
Kartika mengambil duduk di tengah sofa. Mas Bram di sebelahnya, meski tidak terlalu rapat. Ada jarak yang seolah sengaja mereka ciptakan. Sedangkan aku, di seberang mereka berdua. Dari tempatku duduk, bisa kulihat dengan jelas, bagaimana sikap keduanya. Cara mereka saling memandang, saat berbicara satu sama lain, dan gestur tubuhnya.
Tak ada hal melampaui batas yang dilakukan Mas Bram pada perempuan bernama Kartika itu, begitupun sebaliknya. Tidak saling bersentuhan, tidak berbicara dengan nada-nada manja yang bisa membuat panas telinga, dan tidak pula membicarakan hal-hal bersifat pribadi yang berpeluang membuatku merasa tersisih. Pendek kata, semuanya dalam batas kewajaran dan kesopanan. Akan tetapi, mengapa aku justru merasa ngilu berdenyut-denyut di dalam d**a? Seolah ada benda yang besar dan berat tengah menindih hatiku.
Kurasa, siapa pun yang melihat mereka berdua, akan berpikir hal yang sama. Bahwa Mas Bram dan perempuan bernama Kartika itu terlihat ‘dekat’, mesra, dan hangat. Inikah yang dimaksud dengan aura kemesraan? Meski sama sekali tak dipertontonkan, namun bisa dirasakan gelombangnya. Demi Tuhan, aku menjadi nelangsa. Andai saja kesan yang kutangkap itu juga terpancar manakala Mas Bram bersamaku, mungkin aku tak akan merasa ‘kecil’ dan tak punya arti seperti ini. Sayangnya, tidak demikian kenyataannya. Meski sudah lima tahun lebih hidup bersama, chemistry tak kunjung terbangun di antara kami berdua. Aku dan Mas Bram tetap saja bagai dua orang asing yang kaku.
Sekuat tenaga, aku berjuang untuk tetap memegang erat-erat kendali. Agar tidak menangis ataupun melakukan hal-hal yang justru akan mempermalukan diri sendiri. Berkali-kali kubuang pandangan ke arah lain, jika kurasakan hatiku mulai melemah dan hendak kehilangan kontrol.
Ah, Kartika … mengapa kau tak seliar perempuan di dalam mimpi itu saja? Mengapa kau justru sebiasa dan sekalem ini? rutukku dalam hati, berkali-kali. Sungguh tak bisa kumengerti, mengapa perasaan ‘terancam’ di dalam hatiku justru berkali-kali lipat lebih besar, saat kudapati Kartika tak seperti yang kubayangkan.
“Imbi …”
Mas Bram membangunkanku dari lamunan. Sontak, pandanganku kembali padanya.
“Apa kau tidak ingin menghidangkan minuman untuk Kartika?”
“Ah, tidak usah repot-repot,” kata perempuan itu, segera, membuatku turut memandangnya. Kulihat tidak ada kepura-puraan di mata teduh perempuan berhijab itu. Ah, memuakkan! Aku benci sekali.
“Oh, ya … ya. Maaf. Sama sekali tidak repot,” kataku, dingin. Segera, aku bangit dari duduk dan beranjak pergi, menuju ke dapur.