Serupa, tetapi Tak Sama

2177 Kata
    Beberapa bulan, berlalu sudah. Perempuan bernama Kartika yang diceritakan Mas Bram, belum juga muncul di ambang pintu rumahku. Padahal, aku sudah membayangkannya, pada suatu saat, dia akan tiba-tiba datang kemari. Pada hari dan jam kerja, di mana aku sendirian saja di rumah, sebab Mas Bram masih berada di kantor. Bukan suatu kebetulan, melainkan memang sengaja direncanakan demikian oleh perempuan bernama Kartika itu.     Apa yang akan terjadi selanjutnya, sama persis seperti yang diceritakan Bu Hanin pada waktu itu, ketika untuk pertama kalinya, biang gosip komplek perumahan kami tersebut kupersilakan singgah di rumah ini. Aku dan dia  bahkan  menghabiskan bercangkir-cangkir teh bersama di meja makan. Sambil bercerita tentang biduk rumah tangganya yang pernah oleng karena ulah orang ketiga.     Entah, sebuah kebetulan ataukah memang takdir, kami memiliki masalah yang serupa tapi tak sama, yaitu mesti berurusan dengan makhluk bernama janda. Suami kami tergoda, catuh cinta, dan berniat menghadirkannya sebagai istri kedua. Hanya saja, bedanya, aku sudah mengetahui tentang keberadaan Kartika dari mulut suamiku sendiri, bukan dari orang lain. Sementara Bu Hanin, dia tak tahu menahu, sampai perempuan yang menjadi kekasih gelap suaminya muncul sendiri di ambang pintu. Pak Herlambang tak se-gentleman Mas Bram. Dia  terlalu pengecut untuk berterus terang. Sehingga, secara psikologis, mungkin aku jauh lebih siap menerima kedatangan kekasih suamiku, daripada Bu Hanin ketika itu.     “Bukan saya yang mendatangi perempuan itu, Mbak Imbi, tetapi dia yang datang ke rumah saya!” protes Bu Hanin, saat kutanyakan, bagaimana kejadiannya, sewaktu dia melabrak perempuan pertama yang menjadi orang ketiga dalam rumah tangga mereka. “Ya memang, sih, untuk kasus-kasus selanjutnya, setelah saya tahu betapa buayanya Mas Herlambang, saya yang mendatangi mereka. Tetapi, untuk perselingkuhannya yang pertama, perempuan gatel itu yang memulai.”     “Hah? Apa? Dia yang mendatangi?” tanyaku spontan, serasa tak percaya. “Ckckck … nekat! Besar sekali nyalinya!” Kepalaku menggeleng-geleng tanpa sadar.     “Sebab, dia sudah tak tahan hanya menjadi kekasih gelap Mas Herlambang.”     “Maksudnya, dia ingin mengakhiri hubungan dengan Pak Herlambang, tetapi bicaranya pada Bu Hanin? Kok, bisa? Untuk apa? Bukankah seharusnya, dia bicara langsung saja pada suami Anda itu?” berondongku. “Apa agar kalian ribut  sebelum dia berlalu?”     “Bukan! Bukan begitu!” Bu Hanin menggeleng-geleng sembari mengibaskan tangannya.     “Lalu?”              “Maksudnya tak tahan hanya menjadi kekasih gelap, bukan berarti dia ingin mengakhiri hubungan dan putus sama suami saya, Mbak Imbi. Tetapi sebaliknya.”     “Sebaliknya?” Aku benar-benar tak paham.      “Ho oh.” Bu Hanin mengangguk, “Dia menginginkan lebih!”     “Hah? Menginginkan lebih?” tanyaku lagi. Masih belum juga kupahami maksudnya. Kugaruk-garuk kepalaku dengan ujung jari telunjuk, meski sebenarnya sama sekali tak terasa gatal.     “Iya. Dia datang untuk memperkenalkan diri, menunjukkan dirinya. Agar saya tahu, bahwa saya bukan satu-satunya perempuan dalam hidup Mas Herlambang.”     “Ta … tapi … bukankah itu bunuh diri namanya, Bu Hanin? Sangat spekulatif. Sebab, dia hanya kekasih dari laki-laki yang sudah terikat tali pernikahan. Bukankah tidak ada jaminan, bahwa dengan menunjukkan diri seperti itu, lantas keinginannya tercapai? Bahkan, bisa jadi, posisinya justru terancam. Sebab, kalian berdua, eh, maksud saya, Bu Hanin dan Pak Herlambang, sudah menikah secara sah. Kalian memiliki buku nikah yang disahkan dan diakui negara. Sementara dia …?”     “Karena dia perempuan ambisius, Mbak. Dia terlalu yakin akan menang, jika sampai saya mengetahui affair mereka dan meminta Mas Herlambang memilih salah satu di antara kami.”       “Ooo begitu …,” tukasku, lirih, dengan kepala manggut-manggut. Mulai kumengerti duduk persoalannya. “Eh, tetapi, apa waktu itu, Bu Hanin langsung percaya begitu saja dengan apa yang dikatakannya?”     “Tidak, Mbak Imbi! Saya sama sekali tak percaya. Ketika itu, usia pernikahan kami belum genap lima tahun. Aditya saja masih berumur tiga tahun dan sedang lucu-lucunya. Mas Herlambang sangat sayang padanya. Hubungan kami pun masih hangat dan tidak sedang ada masalah apa-apa. Di dalam rumah, suami saya itu tak banyak tingkah, Mbak. Tenang, sabar, dan sangat mengerti dengan kesibukan saya. Tak pernah menuntut saya harus begini-begitu. Pendek kata, dia adalah suami dan ayah ideal yang sangat baik.”     “Ya … ya ….” Aku mengangguk-angguk, dan langsung terbayang sosok Pak Herlambang yang berwajah kalem dan terkesan bijak.     “Jadi, saat dia memperkenalkan diri, mengatakan bahwa dirinya adalah pacar Mas Herlambang dan akan segera dinikahi, saya hanya tertawa saja.  Terbahak-bahak, malah.”     “Pasti dia sangat keki, Bu. Sudah nekat, mengesampingkan rasa malu, malah tak menghasilkan apa-apa.”     “Awalnya memang saya tertawakan, Mbak Imbi. Tetapi …”     Bu Hanin tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya berubah mendung. Lalu, perempuan itu melemparkan pandangannya ke luar jendela. Entah, menatap apa pada taman kecil yang tepat berada di samping kami tersebut.     “Tetapi apa, Bu?”     Pandangan Bu Hanin kembali kepadaku, matanya berkaca-kaca. Rupanya, agar aku tak melihat air mata yang siap jatuh itu, dia membuang pandangan keluar jendela, tadi.     “Tetapi … perempuan itu kemudian menunjukkan bukti-bukti, Mbak Imbi.” Suara Bu Hanin bergetar. Kepalanya tertunduk.     “Hah? Bukti-bukti?” sergahku cepat. Bu Hanin mengangguk lemah.     Bu Hanin menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Setelah dia menunjukkan semua buktinya, keyakinan saya pada kesetiaan Mas Herlambang jadi goyah.”     “Memangnya, bukti-bukti apa yang dia bawa?” Aku mulai penasaran. “Bukankah, bisa saja bukti-bukti itu palsu dan hanya akal-akalannya saja?” Bu Hanin tak langsung menjawab. Dia mendongakkan kepala sambil memejamkan mata, lalu meraih cangkir dan meminum lagi tehnya, dua kali tegukan.     “Foto-fotonya bersama Mas Herlambang, Mbak,” jawabnya kemudian,  setelah menurunkan cangkir dari mulutnya, “dan juga …”     Hening. Bu Hanin mengambil jeda yang lumayan panjang.     “Apa? Dan juga apa?” kejarku yang sudah tak sabar.     “Celana dalam milik suami saya. Ah …!” Bu Hanin langsung menutup wajahnya dengan telapak tangan. Aku tertegun, turut shock dengan jawaban perempuan bertubuh gempal itu. Celana dalam? Oh My God ….     “Ya ampun, Bu. Perempuan itu membawa celana dalamnya Pak Herlambang?” gumamku, tak percaya.     “Iya, Mbak Imbi.” Bu Hanin menurunkan kedua telapak tangannya dan mengangguk sedih. “Bukankah itu artinya, hubungan mereka sudah sedemikian jauhnya? Sampai-sampai, pakaian dalam suami saya ada pada perempuan itu!”     Aku menggigit bibir. Tiba-tiba saja, pandanganku seperti berputar. Satu demi satu, kejadian yang kualami bersama dengan Malik muncul kembali di dalam ingatan. Sebab, dulu, Malik juga menyimpan pakaian dalamku di tempat indekosnya. Entah untuk apa, tetapi dia memang memintanya. Mungkin saat itu dia juga berencana menjadikan benda itu sebagai barang bukti jika diperlukan. Atau … entahlah! Aku benar-benar tak mengerti jalan pikirannya.     Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Rasa penyesalan berjejalan memenuhi rongga d**a. Oleh sebab semua yang kulakukan bersamanya ketika itulah, sekarang aku harus berada pada situasi seperti ini. Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kehangatan dalam rumah tangga dan terancam akan mengalami hal yang sama seperti Bu Hanin.     “Mbak Imbi … Mbak Imbi tidak apa-apa?” tanya Bu Hanin tiba-tiba. “Mbak Imbi pucat sekali.”     “Ah, tidak, tidak apa-apa, Bu. Hanya saja, saya takut membayangkan apa yang Bu Hanin ceritakan tadi.”     “Ya, begitulah, Mbak. Memang menakutkan, melebihi film horror produksi Hollywood. Namun, faktanya memang demikian, meski sulit dipercaya. Saat itu juga, dunia saya seperti sudah berakhir.”     “Apakah saat itu sampai terjadi pertengkaran yang hebat diantara kalian berdua?”     “Saya dengan suami?”     “Bukan! Antara Bu Hanin dengan perempuan itu. Apakah kalian sempat ribut?”     “Oh, iya, Mbak Imbi. Perempuan mana yang tak kalap, jika mengetahui bahwa dia telah dikhianati? Saya mengamuk seperti orang kesetanan. Perasaan tidak terima, sedih, hancur, terluka, bercampur aduk menjadi satu.”     Aku tercenung. Kata-kata Bu Hanin tersebut benar-benar mengena di hati. Benar, apa yang dikatakan perempuan di hadapanku itu, rasanya memang bercampur aduk. Sampai-sampai, tak bisa didefinisikan. Aku yang nyata-nyata memiliki kesalahan fatal dan memiliki andil penyebab Mas Bram menjalin hubungan dengan perempuan lain saja, rasanya sudah remuk redam. Apalagi istri-istri lain yang tak punya kesalahan apa-apa dan sudah merasa memberikan yang terbaik pada suaminya.     “Satu hal yang saya sesali adalah ...” Bu Hanin menelan ludah, “Aditya menyaksikan pertengkaran, bahkan perkelahian fisik antara saya dengan perempuan itu.”     “Astaga!” pekikku sambil membekap mulut. “A … Aditya melihatnya, Bu?”     “Iya, Mbak Imbi.” Bu Hanin menunduk dan tersedu. Punggungnya bergerak naik-turun. Satu demi satu, butiran bening berjatuhan dari sudut matanya. Aku bangkit dari kursi, mengambil sekotak tisue yang kuletakkan di atas kulkas, dan menyodorkannya ke hadapan perempuan itu.     “Terima kasih,” ucapnya lirih, sambil menarik beberapa lembar kertas tissue dan memakainya untuk menyeka air mata.     “Perempuan itu namanya Riana. Datang siang hari, saat Mas Herlambang belum pulang kerja.” Bu Hanin kembali bercerita. “Aditya sedang tidur siang di kamar depan. Awalnya saya juga ada di sana, menemaninya tidur siang. Hingga akhirnya, bel pintu depan berbunyi dan saya tergopoh-gopoh membukakannya.     Bu Hanin kembali mengambil jeda. Diteguknya lagi sisa teh dalam cangkirnya hingga habis. Kubayangkan, pastilah perutnya sedang mual luar biasa.      “Mungkin karena mendengar suara ribut-ribut, Aditya  jadi terbangun dan turun dari tempat tidur sendiri. Padahal, biasanya, setiap kali bangun tidur, dia selalu memanggil-manggil saya.”     “Lalu?” tanyaku dengan perasaan yang juga bercampur aduk.     “Kami sedang bergulat di lantai saat tiba-tiba Aditya muncul.”     “Be… ber… bergulat?”     “Iya. Mbak. Setelah perempuan itu mengeluarkan foto-foto dan celana dalam Mas Herlambang dari dalam tasnya serta mengatakan, bahwa suami saya itu sudah sangat bertekuk lutut kepadanya, hati saya panas. Saya tidak bisa mengontrol emosi. Saya tampar dia, dua kali. Lalu, dia membalasnya dengan menjambak rambut saya. Saya melawan, sehingga kemudian, terjadilah pergulatan itu. Kami saling cakar, saling jambak, dan saling pukul.”     Mendengar tentang perkelahian yang diceritakan oleh Bu Hanin, perlahan-lahan, layar tak kasatmata tergelar di hadapanku. Kejadian yang kualami dalam mimpi, langsung tayang kembali pada layar tersebut. Wajah beringas perempuan yang kurasa adalah Kartika, tampak dengan jelas. Begitupun dengan jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan bercat merah darah. Seperti kembali ditampar, pipiku  terasa panas dan kesemutan lagi. Buru-buru, kutangkup dengan telapak tangan.     “Aah!” pekikku, sambil memegangi kepala. Laju slide yang terputar kembali pada layar tak kasatmata itu tiba pada adegan penjambakan. Benar-benar tak kusangka, rasanya dijambak ternyata sesakit itu. Sebab, seumur-umur, baru sekali itu aku merasakannya.     “Mbak Imbi … Mbak Imbi … ada apa? Apa Mbak Imbi sakit?”     Bu Hanin menyorongkan tubuhnya ke depan, tangannya mencapai tanganku yang tengah memegangi kepala. Mendapatkan sentuhannya, aku tersentak, sadar.     Sontak, layar tak kasatmata menghilang begitu saja.  Aku kembali ke alam nyata. Kulihat Bu Hanin sedang menatapku dengan mimik wajah kebingungan.     “Sa… saya, ti… tidak apa-apa,” kataku setelah berhasil menguasai diri kembali.     “Sungguh?” Perempuan itu tak yakin. “Mbak Imbi tiba-tiba menjerit sambil memegangi kepala. Mbak Imbi meringis-ringis, tampak sekali sedang kesakitan.”     “Sungguh, saya tidak apa-apa.”     Belum juga percaya, Bu Hanin meletakkan telapak tangannya pada keningku.     “Iya, tidak demam.” Perempuan itu menggumam.     “Saya tadi hanya sedang membayangkan kejadian perkelahian yang Bu Hanin ceritakan. Saking menghayatinya, saya jadi merasa kesakitan.”       Bu Hanin menarik mundur tangannya, juga tubuhnya, hingga perempuan itu kembali bersandar pada sandaran kursi makan. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum kembali bersuara.     “Sakit banget, Mbak. Rambut saya banyak yang tanggal dan tersangkut di jari-jari perempuan itu. Bahkan, pipi saya berdarah kena cakarannya. Dan yang paling menyedihkan, semua itu disaksikan Aditya.”     Tangan Bu Hanin kembali menarik kertas tisue dari wadahnya. Tidak hanya selembar, tetapi berlembar-lembar.     “Mbak Imbi, boleh saya minta teh lagi?” pintanya, pelan, sambil menunjuk cangkirnya yang sudah kosong lagi.     “Iya, Bu. Saya akan buatkan lagi. Jangan khawatir. Hari ini, Bu Hanin boleh meminum teh hangat sebanyak mungkin di rumah saya.”     ‘Tiiin …’     Suara klakson mobil yang terdengar tiba-tiba, membuyarkan lamunanku. Siapa? Mas Bram, kah? Refleks kulihat jam dinding. Sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah lewat dari jam pulangnya biasanya. Segera, kuhampiri jendela untuk memastikan. Ternyata benar, itu mobil Mas Bram.     “Ya, sebentaaar,” teriakku dari dalam rumah. Setelah menyambar kunci gembok pagar, setengah berlari, aku berlari keluar.     “Kenapa pintu pagar dikunci?” tanya Mas Bram, seturunnya dari mobil. Kulihat rumah sebelah sebelum menjawab, “Tidak apa-apa, Mas. Takutnya ada orang masuk.”     Mas Bram tak menanyakan lebih lanjut, tentang apa yang kumaksud dengan ‘orang masuk’. Pandanganku kembali terarah ke rumah sebelah, sebelum turut melangkah di belakang Mas Bram, menuju ke dalam rumah.     Hari itu, aku dan Bu Hanin memang menghabiskan waktu bersama, sedari siang hingga jelang sore. Namun, bukan berarti, setelahnya, kami bersahabat karib dan aku menginginkan dia sering-sering bertandang kemari. Sama sekali tidak! Meski barangkali, nantinya kami akan memiliki pengalaman yang serupa tapi tak sama, aku tetap ingin menjaga jarak. Sebab, bagaimanapun, terlepas dari aku bersimpati pada perjuangannya untuk menyelamatkan biduk rumah tangganya,  dia tetaplah biang gosip. Aku tetap harus hati-hati. Apa yang terjadi di dalam rumah tanggaku, tetap ingin kusimpan rapat-rapat dari pengetahuan orang lain.     Mas Bram langsung menuju kamar untuk mengganti bajunya. Sedang aku, langsung menuju dapur untuk membuatkannya kopi. Sebab, sudah menjadi kebiasaan Mas Bram, minum kopi dulu sebelum mandi. Laki-laki itu memang disiplin dalam segala hal. Termasuk, tidak mengonsumsi gula di atas jam enam sore.                                                                                           **** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN