“Sepertinya, ini berkaitan dengan pengalaman pribadi Bu Hanin?” tanyaku, memancing. Perempuan itu tak langsung menjawab. Dia melihatku sekilas, setelah itu kembali menjatuhkan pandangan ke bibir cangkir yang ada di hadapannya. Jari-jari tangannya bertautan dan saling remas. Kian membuatku yakin, bahwa perempuan yang duduk di hadapanku tersebut tengah gelisah dan gundah.
“Betul begitu, Bu?” kejarku.
“I… iya.” Dia mengangguk. “Begitulah, Mbak Imbi,” jawabnya, disertai helaan napas berat di akhir kata-katanya.
“Apakah dia adalah orang yang hampir saja dinikahi Pak Herlambang?” tanyaku lagi, menggiring topik pembicaraan semakin jauh dari bab perihal aku dan Mas Bram. Benar-benar sedang ada di atas angin posisiku kini. Harus kumanfaatkan sebaik mungkin untuk mengendalikan obrolan. Jika aku yang memegang kendali, sudah barang tentu, posisiku aman. Perempuan biang gosip itu tak akan punya peluang untuk memancing-mancing atau mengorek-ngorek perihal kehidupan pribadi kami. Bahkan, bisa jadi sebaliknya. Dia yang akan menjadi panci bocor bagi permasalahannya sendiri. Karena itu, aku harus fokus pada topik tentang dirinya saja. Apalagi memang ada yang ingin kugali dari kisah perempuan itu di masa lalu.
“Iya.” Bu Hanin kembali mengangguk. “Dan itu terjadi berkali-kali,” lanjutnya, lirih. Aku mengerutkan dahi. Bukan saja karena suaranya yang nyaris tak terdengar. Akan tetapi, juga karena aku sedang mereka-reka, maksud dari kata-kata yang diucapkannya dengan pelan itu. “Mbak Imbi bayangkan saja, seperti apa jungkir baliknya saya.”
“Sebentar … sebentar,” selaku, “maksudnya berkali-kali?”
Bu Hanin melihat padaku. Pandangan kami saling bertautan. Kulihat, mendung berarak-arak pada bola matanya.
“Ya, dilakukannya berulang-ulang, Mbak.”
“Berulang-ulang?” tanyaku, mengulangi apa yang baru saja kudengar. “Maksudnya, lebih dari satu kali?”
Bu Hanin mengangguk.
“Hah?!” Mataku membelalak refleks. Serta-merta, sosok Pak Herlambang muncul di pelupuk. Wajahnya, sorot matanya, gerak-geriknya, bahkan juga tindak-tanduknya. Benar-benar tak dinyana, jika laki-laki yang terkesan tenang, bijak, dan alim itu ternyata mudah tergoda perempuan lain dan sanggup mengkhianati istri sendiri. Berulang kali pula.
“Ndak menyangka, kan, Mbak?”
“I… iya, Bu.” Aku mengangguk dengan benak yang masih dipenuhi rasa heran. “Sebab, Pak Herlambang itu kelihatannya …”
“Orang-orang juga bilang begitu, Mbak!” potong, Bu Hanin, sebelum aku menyelesaikan kata-kata. Sepertinya, perempuan itu sudah tahu apa kelanjutan dari kata-kataku tersebut. “Mereka semua pada gak nyangka,” imbuhnya.
“Orang-orang?” celetukku, spontan.
“Iya,” jawab Bu Hanin, “Beberapa ibu-ibu di komplek ini.”
“Ooo … jadi para tetangga sudah tahu, tentang Pak Herlambang?” Tak bisa kusembunyikan, rasa heranku. Bagaimana mungkin aib rumah tangga bisa sampai diketahui oleh banyak orang? Dibocorkan sendiri pula.
“Gak semua, Mbak Imbi. Orang-orang yang dekat-dekat saja. Bu Tati, Bu Rini, Bu Hani, Bu Naning, Bu Ninik, dan siapa lagi, ya …?” Manik mata Bu Hanin melirik ke atas, menandakan bahwa dia tengah berpikir dan mengingat-ingat. “Oh, sudah, itu saja. Lima orang saja,” kata perempuan itu kemudian, sembari menunjukkan kelima jari kanannya.
Kutatap Bu Hanin dengan perasaan yang sedikit shock. Rasa was-was yang sesaat lalu sempat terlupakan, kembali menggelitik-gelitik. Alangkah mengerikannya, jika aku sampai kelepasan atau terpancing olehnya, sehingga berbicara tentang rumah tanggaku. Bisa-bisa, kami—aku dan Mas Bram—akan menjadi selebritis dadakan yang beritanya dibicarakan orang di mana-mana.
“Setelah menikah, kamu harus benar-benar selektif bergaul, Imbi!”
Aku tertegun. Suara Ibu tiba-tiba saja terngiang-ngiang kembali dalam pendengaran. Aku ingat betul, kata-kata itu diucapkannya menjelang kepindahanku ke rumah ini. Saat itu, hari sudah sore. Aku sedang berada di kamarku untuk berkemas-kemas. Baju, buku, sepatu, dan barang-barang lainnya berserakan di mana-mana. Aku sedang memilih-milahnya, mana saja yang hendak kubawa pindahan ke rumah ini.
Kutatap penuh tanya, perempuan yang telah melahirkanku itu, apa maksudnya menyuruhku selektif? Apa itu artinya, aku harus membatasi diri? Apa Ibu khawatir, aku akan terjebak pada hal-hal negatif yang merusak?
Ibu yang sadar sedang kupandangi, menghentikan kesibukannya dan balas menatapku.
“Kenapa?” Dia bertanya.
“Apa Ibu pikir, aku belum mengerti batasan-batasan sebagai seorang istri? Ibu tenang saja, aku tidak akan lagi bergaul dengan laki-laki lain tanpa sepengetahuan suamiku.”
Ibu membuang napas panjang, “Bukan saja dengan lawan jenis, Imbi!”
Aku terdiam, mengernyitkan dahi, dan mencoba meraba, ke mana sebenarnya arah kata-kata Ibu itu.
“Masa, dengan sesama perempuan juga berbahaya, sih, Bu? Aku, kan masih normal dan tak mungkin jeruk minum jeruk!”
“Ckckck ….” Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau ini, Imbi! Benar-benar masih bocah kemarin sore!”
“Ish, Ibu. Aku, kan, memang belum nenek-nenek!” tukasku sekenanya, sambil kembali melanjutkan mengemasi barang-barangku.
“Ih, bocah ini! Dengar, ya, Imbi!” kata Ibu kemudian, memaksaku kembali menghentikan kesibukan. “Saat kamu sudah menempati rumah kalian dan memiliki tetangga-tetangga sendiri, yang harus kau waspadai bukan saja para lelaki. Tetapi, juga para ibu-ibu di sekitarmu.”
Aku tercenung, “Kenapa memangnya, Bu?”
“Sebab, tidak semua dari mereka benar-benar baik luar-dalam. Ada banyak di luar sana, perempuan penggosip yang doyan membicarakan orang lain. Apalagi, kalau sudah berkenaan dengan masalah rumah tangga.”
Aku mengangguk-angguk refleks. Bisa kumengerti apa yang dimaksudkan oleh Ibu itu.
“Ingat, jangan sembarangan curhat kepada orang lain perihal apa yang terjadi di dalam pernikahanmu!” Ibu melanjutkan.
“Bukankah begitu, Mbak Imbi?”
Suara lain terdengar. Sontak, pemandangan kamarku yang sedang berantakan hilang dari pandangan. Di hadapanku bukan lagi Ibu yang sedang sibuk memasukkan barang-barang yang hendak kubawa pindahan ke dalam kopor besar. Melainkan Bu Hanin, tetangga sebelah rumah yang tengah menatapku dengan sorot mata menanti.
“Hmm? A… apa, Bu?” Tergagap, aku bertanya. Berharap, perempuan di hadapanku itu mengulangi lagi pertanyaannya yang tadi dilontarkannya, saat jiwa dan konsentrasiku mengembara ke masa lampau.
“Hufth …” dengkus Bu Hanin, “jadi, saya ngoceh ngalor ngidul tadi, Mbak Imbi tak dengar?”
“Bu… bukan, e … e … anu, Bu,” kataku, gugup. “Sa… saya sedang kepikiran sesuatu tadi.”
“Kepikiran apa?”
Aku tak menyahut. Kulihat perempuan di hadapanku itu tampak ingin tahu. Serta-merta, radar di dalam otakku mem-warning, bahwa aku mesti hati-hati menjawab atau berbicara.
“Ah, itu tidak penting, Bu!” tukasku kemudian, sembari mengibaskan tangan. “Jadi, e … perselingkuhannya Pak Herlambang yang berkali-kali itu, dengan orang yang sama, atau orang yang berbeda-beda?”
Kugiring lagi pembicaraan, kembali ke topic semula.
“Berbeda-beda, Mbak.”
“Waduh, gila!” celetukku spontan. “Ckckck …”
Baru saja, aku hendak melanjutkan berkomentar, tiba-tiba, sosok Mas Bram melintas. Membuatku teringat kembali pada permasalahan yang sedang ada di antara kami saat ini. Bibirku kembali mengatup.
“Betul! Memang gila!” tukas Bu Hanin, membenarkan. “Saya minum tehnya, ya, Mbak Imbi. Perut saya selalu mual, setiap teringat kejadian-kejadian itu.”
“Oh, ya … ya, silakan, Bu.”
Bu Hanin mengangkat cangkir di hadapannya, lalu meminum isinya tanpa meniupnya terlebih dahulu. Seteguk, dua teguk, hingga beberapa tegukan. Aku melihatnya dengan sedikit heran. Tanpa sadar, kusentuhkan ujung jari telunjuk kananku ke permukaan cangkir di hadapanku sendiri.
“Auw!” pekikku lirih, seraya menarik cepat-cepat jari telunjukku itu
“Kenapa, Mbak?” tanya Bu Hanin yang langsung melihat ke arahku.
“Tidak apa-apa, Bu,” jawabku, tersipu, sambil mengusap ujung telunjuk yang tersengat panas dengan jari-jari tangan yang satunya. Kutatap cangkir teh Bu Hanin yang isinya tinggal separuh. Apakah minuman miliknya memang lebih cepat dingin daripada punyaku?
“Tehnya sudah tidak panas, ya, Bu?” Iseng, aku bertanya.
“Hmm? Teh?” tanyanya, sedikit bingung.
“Tadi, saya lihat, Bu Hanin minum tanpa meniupnya terlebih dahulu. Saya cek punya saya, ternyata masih panas. Apa punya Bu Hanin lebih cepat dingin?”
Bu Hanin memasukkan ujung jari telunjuknya ke dalam cangkir, menyentuh permukaan air teh yang masih tersisa di dalamnya.
“Belum dingin, Mbak. Masih panas,” katanya kemudian.
“Lalu, bagaimana bisa Bu Hanin meminumnya tanpa meniup terlebih dahulu?” Tak kusembunyikan keherananku.
“Ooo … itu? Setiap kali mengingat kejadian-kejadian menyakitkan itu, lidah saya memang mendadak mati rasa, Mbak. Bukan hanya soal panas atau tidak. Bahkan, asam atau pedas sekalipun, tak bisa saya rasakan. Yang ada hanya mual saja, Mbak. Mual yang amat sangat! Dan rasa mual itu hanya bisa reda setelah saya minumi teh manis hangat-sedikit panas.”
“Ooo ….” Aku manggut-manggut. Memang terdengar sedikit aneh penjelasan Bu Hanin itu, bahkan seolah tidak bisa masuk ke dalam logika. Namun, beberapa hal yang tadinya terasa janggal, menjadi kumengerti sekarang. Termasuk diantaranya: mengapa perempuan itu sedikit memaksa untuk mengobrol di dalam rumah daripada hanya di halaman, lalu meminta minum tanpa merasa canggung atau sungkan, dan mengapa minuman yang dimintanya justru teh panas, bukannya es teh atau minuman dingin yang lainnya. Padahal, siang begitu terik dan gerah. Rupanya, itu karena membicarakan perihal afair-afair Pak Herlambang selalu membuat perut Bu Hanin menjadi bermasalah.
Meskipun sudah meminum cukup banyak tehnya, kulihat ekspresi wajah Bu Hanin tak banyak berubah. Masih tampak tegang dan serius. Sungguh berbeda dari saat dia baru datang tadi. Tiba-tiba, hatiku jatuh iba dan khawatir. Apakah aku pun akan demikian nantinya, saat Mas Bram sudah benar-benar merealisasikan rencananya? Bisa jadi, justru aku akan lebih parah dari Bu Hanin saat ini. Sebab, aku tak mungkin bisa menghentikan Mas Bram, seperti perempuan itu mampu menghentikan suaminya.
“Kalau begitu, Bu Hanin ini termasuk orang yang sangat kuat dan tangguh,” pujiku, sengaja. Kuharap itu akan bisa menjadi sedikit oase baginya.
“Iya, dong, Mbak Imbi. Pastinya! Sebab, kalau bukan karena kuat dan gigihnya saya memperjuangkan, sudah pasti rumah tangga kami telah hancur dari dulu-dulu!”
Senyumku terkulum mendengarnya. Lalu kulihat, mendung di wajah perempuan itu perlahan-lahan terkikis. Binar-binar semangat kembali bisa kulihat pijarnya, meski masih begitu samar.
“Amit-amit, deh, kalau harus menggantikan perempuan itu, menjadi janda!” kata Bu Hanin kemudian. “Jangan sampaiii!”
Aku tersentak. Rasanya, bagai tersengat aliran listrik bertegangan tinggi, mendengar kata-kata perempuan di hadapanku itu.
“Enak saja, janda tak tahu diri itu mau merebut Mas Herlambang dan status istri yang sudah saya genggam selama bertahun-tahun lamanya!” tandas Bu Hanin, lagi.
Apa aku tidak salah dengar? Perempuan yang menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Bu Hanin dan Pak Herlambang waktu itu adalah seorang … janda?
‘Namanya Kartika, dia janda dengan dua orang anak.’ Kata-kata Mas Bram itu sontak saja terngiang-ngiang kembali di telinga. Seketika, angin p****g beliung menerpa ruang dadaku. Riuh, mendesau-desau, dan memporakporandakan.
“Makanya, Mbak Imbi hati-hatilah sama janda! Jangan sampai Mas Bram kenal dengan makhluk yang satu itu!”
Aku tak menyahut. Hanya menatap nanar perempuan di hadapanku itu. Apa yang baru saja dikatakannya tersebut membuat badai p****g beliung yang sedang menerjang ruang dadaku kian menjadi-jadi. Pikiranku melayang-layang tak tentu arah. Aku seperti kehilangan orientasi.
“Mbak Imbi … Mbak Imbi …, hallo …”
Aku tergeragap. Kulihat Bu Hanin menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajahku.
“Oh, eh, a… ada apa, Bu?” tanyaku gugup.
“Aduh, piye, to, Mbak, kok saya malah ditinggal melamun?”
“Me… melamun? Si… siapa? Saya?” tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri.
“Iya gitu, loh. Jadinya, saya ngoceh sendiri. Tak ada yang mendengarkan.” Bu Hanin bersungut-sungut.
“Ah, masa, sih?” tanyaku, pura-pura serius.
“Ih, dibilangin, kok!” Bu Hanin mencubit lenganku.
“Aduh!” jeritku, pura-pura kesakitan. Setelah itu, kami terkekeh bersama-sama.
“Tetapi, beneran, lho, Bu. Rasanya, saya tidak percaya kalau tadi sempat melamun.”
“Hmm ….” Bu Hanin mencebik. “Namanya juga melamun, mana ada orang yang menyadarinya?”
Aku tersenyum mendengarnya. Dalam hati membenarkan apa yang dikatakan oleh perempuan itu. Namun, rasanya gengsi sekali kalau harus mengakuinya.
“Mbak Imbi tadi diam saja. Matanya memang melihat ke sini,” kata Bu Hanin sambil menunjuk wajahnya, “tetapi pandangannya menerawang, entah ke mana. Lalu saat saya tanya, Mbak Imbi diam saja.”
“Sebenarnya bukan melamun, sih, Bu.” Kucoba untuk membela diri. “Lalu, apa namanya kalau bukan melamun?” sambarnya cepat.
“Hanya sedikit kepikiran saja.”
“Kepikiran tentang apa?”
“Tentang perempuan yang menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Bu Hanin dan Pak Herlambang itu. Di… dia … ja... janda?” tanyaku dengan suara bergetar saat menyebutkan kata terakhir.
“Iya. Perempuan itu janda. Anaknya dua.”
Aku kembali tersengat. Bertambah lagi kesamaan antara kekasih gelap Pak Herlambang dengan Kartika, perempuan yang menjadi pihak ketiga di antara aku dan Mas Bram. Entah, apakah Bu Hanin menyadari perubahan ekspresiku.
“Mengapa harus janda, sih?” gumamku, pada diri sendiri.
“Ah, itu, sih bukan hal yang mengherankan, Mbak!” sergah Bu Hanin dengan wajah serius. Ternyata, perempuan itu mendengar gumamanku.
“Sudah bukan rahasia lagi, mereka memang begitu, Mbak Imbi! Kegatelan! Suka menggoda suami orang! Tak mau mencari yang masih single!” cerocos Bu Hanin, tendendius.
“Mengapa bisa begitu, ya, Bu? Padahal, kalau mendapatkan yang masih single, justru tidak mendatangkan masalah baginya.”
“Karena mereka itu gak mau hidup susah, Mbak Imbi!” tukas Bu Hanin, sengit. “Sasarannya selalu laki-laki beristri. Sebab, rata-rata, laki-laki beristri sudah matang dan mapan secara finansial!”
“Uhuk … uhuk ….”
Aku langsung terbatuk. Apa yang disampaikan Bu Hanin dengan sangat emosional itu membuatku tersedak ludah sendiri.
“Minum, Mbak! Minum dulu!” tukasnya, panik.
Aku hanya mengangguk. Di antara sisa-sisa batuk yang belum juga berhenti, kuraih cangkir teh di hadapanku dan meneguk isinya. Lagi, lagi, dan lagi. Aku baru berhenti, saat mataku bersirobok dengan warna putih, dasar cangkir.
“Mbak Imbi pasti shock banget,” kata Bu Hanin, bernada yakin, setelah batukku mulai berhenti, dan napasku tenang kembali.
Aku menggeleng, “Tidak, kok, Bu! Biasa saja! Tadi saya cuma … cuma …”
“Cuma apa?”
“Eng … tersedak. Iya, tersedak ludah, Bu,” sahutku. Tiba-tiba saja ide itu muncul di kepala. “Habisnya, Bu Hanin bicaranya berapi-api dan emosional banget.”
“Gimana gak emosional, Mbak? Mereka itu sudah menabur badai yang membuat rumah tangga saya menjadi oleng. Sudah begitu, terjadi berkali-kali dan kesemuanya adalah janda!”
Aku menggigit bibir. “Saya tak bisa membayangkan, seperti apa rasanya menjadi Bu Hanin ketika itu!”
“Ooww, kacau balau, Mbak!” Perempuan itu menukas, Panas, perih, pedih, ngilu, marah, kesal, nelangsa, campur aduk jadi satu!”
“Tapi, kan, semuanya sudah berlalu, Bu. Biduk rumah tangga Bu Hanin dan Pak Herlambang telah selamat dari badai.”
Bu Hanin mengangguk, “Ya, Mbak Imbi. Pada akhirnya, setelah berkali-kali jungkir balik berjuang, Mas Herlambang bisa saya rebut kembali. Walaupun, di tengah perjuangan itu, saya mesti berdarah-darah.”
“Hingga berdarah-darah, Bu?”
“Ya.” Bu Hanin mengangguk tegas. Diraihnya kembali cangkir di hadapannya. Sekali teguk, sisa minuman perempuan itu pun turut tandas, seperti minumanku yang habis, tanpa sisa.
****